Mongabay.co.id

Kesejahteraan Nelayan Manado, Ironi di Tengah Perkembangan Ekonomi

 

“Bicara sejahtera untuk nelayan, barangkali hanya untuk yang sudah memiliki kapal ikan atau pemilik pajeko, kalau yang tradisional seperti kami masih jauh,” kata Benyamin Loho, nelayan dari Kampung Bahowo, Desa Tongkaina, Kecamatan Bunaken, Kota Manado, Sulawesi Utara.

Kata-kata Benyamin Loho, ketua kelompok nelayan Sengkanaung, Bahowo Tongkaina, membuka kondisi sebenarnya nelayan tradisional di Manado, sebagai kota yang justru terletak di pesisir pantai.

Nelayan yang berasal dari wilayah paling utara Kota Manado itu mengatakan kemajuan ekonomi Kota Manado belum menyentuh nelayan, sehingga mereka harus nyambi profesi lain, supaya bisa tetap menafkahi keluarga.

“Sekarang rumah-rumah ada yang dijadikan penginapan bagi wisatawan yang mau berwisata ke pantai, tetapi di desa nelayan, justru kami hidup tetap susah, padahal wisata berkembang bagus di Manado ini,” katanya.

Senada dengan Benyamin, Sekretaris Asosiasi Nelayan Tradisional (Antra) Kota Manado, Sudirman Sudiro mengatakan, dalam 37 tahun terakhir, atau sejak 1982, nelayan di pesisir pantai Manado terus terpinggirkan dan tidak diprioritaskan dalam pembangunan dan pengelolaan pantai Manado.

Hal itu terasa dengan sejak adanya reklamasi untuk pembangunan boulevard, yang menyebabkan pantai dari sepanjang Bahu sampai belakang Kampung Texas atau Pinaesaan hilang. Berbagai kesulitan menimpa nelayan, seperti tertutupnya akses ke pantai dan kesulitan menambatkan perahu, hingga akhirnya kesulitan untuk melaut.

“Reklamasi yang mulai dilakukan pada awal tahun 1991, dan sampai saat ini, membuat nelayan kehilangan tempat menambatkan perahu, ikan semakin sulit ditemukan di Teluk Manado, sehingga harus melaut lebih jauh bahkan sampai bermil-mil bisa ke belakang pulau Manado Tua atau Nain, kalau mau dapat tangkapan banyak dan bagus,” kata Sudirman.

baca : Gelar Konsolidasi, Nelayan Sulut Ungkapkan Berbagai Persoalan

 

Reklamasi yang terus berlangsung di pantai Manado. Foto : Wisuda

 

Dia mengatakan, pada 20-35 tahun lalu di Teluk Manado, nelayan bisa memancing tuna, namun sekarang itu hanya tinggal cerita kepada anak-anak tentang kejayaan orang tua saat menjadi nelayan yang saat itu menggunakan layar untuk melaut.

Bahkan kata Sudirman, nelayan di sepanjang pesisir pantai Sario terpaksa alih profesi menjadi pedagang BBM karena tertutupnya akses ke pantai dengan portal dan hilangnya tambatan perahu. Belum lagi jika cuaca buruk kerusakan perahu menjadi risiko yang harus ditanggung sendiri.

“Pantai dibangun menjadi pertokoan dan didirikan hotel-hotel berbintang sehingga orang berbelanja di pertokoan bahwa mal yang dulunya adalah laut, dan nelayan jadi sulit ke pantai untuk sekadar melihat perahu yang ditambatkan diatas bebatuan,” katanya.

Sekarang, kata Sudirman, nelayan tradisional tidak punya banyak harapan. Permintaan pun hanya satu, yaitu perahunya tidak bertabrakan dengan batu-batu reklamasi, dan bisa melaut nyaman di teluk Manado, meskipun menyadari itu ibarat pungguk merindukan bulan.

Akibatnya, meskipun harga ikan sudah membaik, tetapi nelayan bisa tekor dengan biaya melaut yang semakin tinggi karena jarak melaut yang makin jauh.

“Pembangunan dan kemajuan Manado tak membuat nelayan tradisional sejahtera, masih jauh itu dari kami, karena semakin terhimpit dengan kebijakan yang tak berpihak pada kami. Nelayan tak butuh batu reklamasi hanya perlu pantai luas dan laut untuk hidup dan meningkatkan perekonomian supaya tidak punah,” katanya.

baca juga : Begini Dampak Merusak Reklamasi Pantai Malalayang Dua Manado

 

Suasana sepi di pesisir pantai Malalayang, Kota Manado. Foto : Joyce Hestyawatie/Mongabay Indonesia

 

Kehilangan Banyak

Kondisi nelayan tradisional Manado, yang memiriskan itu, menurut Pakar Kelautan Universitas Sam Ratulangi yang juga ketua Antra Dr. Rignolda Djamaludin, adalah akibat tidak hadirnya pemerintah membela nelayan tradisonal saat para pemodal besar “merampas” pantai dan laut yang menjadi sumber kehidupannya.

Rignolda mengatakan, dalam semua perencanaan pembangunan reklamasi dan lainnya, nelayan tidak masuk sebagai prioritas pertimbangan, dengan berkilah sudah memiliki Amdal, memegang izin dan mendapatkan hak mengelola dari pemerintah, para pengembang mereklamasi pantai dan tak meninggalkan sejengkal pun akses bagi nelayan.

“Kalau tidak diprotes berkali-kali oleh nelayan, tambatan perahu tidak ada, dan untuk melihat laut saja harus membayar, karena sempat ada larangan duduk berlama-lama di kawasan reklamasi hanya untuk sekadar memandang laut atau melihat dan mengamati kondisi cuaca di laut,” katanya.

Pakar dari Universitas Sam Ratulangi yang sudah bertahun-tahun melakukan penelitian terhadap laut di Manado itu, mengatakan, reklamasi yang mendorong peningkatan perekonomian Kota Manado, dalam dua dekade karena pantai berubah menjadi kawasan bisnis, tidak menyentuh kesejahteraan nelayan.

“Nelayan tradisional tetap miskin, tidak menikmati kemajuan perekonomian yang terjadi karena pantai dan laut tempat hidup nelayan dirampas, dan dari sekitar 1.500-1.800 nelayan tradisional di Manado, lebih dari separuhnya, masih hidup biasa, belum mampu mencapai tingkatan sejahtera,” katanya.

Dia mengatakan proses pengembangan pantai di Manado meminggirkan nelayan dengan hilang tempat mencari nafkah karena terampas pemodal besar yang menggunakan tangan pemerintah lewat perizinan yang diterbitkan.

“Kalau mau jujur hilangnya pasir adalah kehilangan besar bagi nelayan, karena tak ada lagi ruang selamat bagi perahunya yang menjadi sarana mencari nafkah dan pemerintah tak bisa hadir membela kepentingan mereka,” katanya.

Apalagi reklamasi itu justru adalah ancaman yang baru, karena perubahan di pantai akan menyebabkan perubahan tak terduga pada alam, karena arus jadi berubah dan ancaman bahaya besar mengintai.

perlu dibaca : Rignolda Djamaludin: Terjadi Pelanggaran HAM Luar Biasa terhadap Nelayan Manado

 

Nelayan tradisional Karang Ria, Kota Manado memindahkan ikan ke ember dari hasil melaut. Foto : Joyce Hestyawatie/Mongabay Indonesia

 

Posisi Pemerintah

Kepala Dinas Pertanian Perikanan dan Kelautan (DPKP) Manado, Marus Nainggolan, mengakui pemerintah belum maksimal memberi perhatian kepada masyarakat nelayan karena keterbatasan anggaran yang membuat banyak program untuk nelayan tidak bisa dilaksanakan.

Bahkan untuk tahun 2019, kata Nainggolan, DPKP Manado, tidak ada anggaran bantuan bagi nelayan tradisional. “Tahun ini belum ada anggaran untuk bantuan bagi nelayan, terakhir yang diberikan pada 2018 lalu, itupun sedikit, karena tak disetujui oleh DPRD jadi tak berjalan,” katanya.

Dia mengatakan, bantuan yang diterima kelompok nelayan tradisional di Manado hanya yang berasal dari Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Sulawesi Utara, yakni sarana dan prasarana, serta dari Pemerintah Pusat melalui KKP yakni kartu nelayan, yang sekarang digabung dengan asuransi nelayan menjadi program Kusuka. Sepanjang 2019 ada 300 nelayan Manado yang dapat kartu nelayan.

Sementara Kepala DKP Sulut, Tineke Adam, mengatakan, banyak langkah yang sudah dilakukan pemerintah untuk meningkatkan taraf hidup dan menolong nelayan tradisonal.

“Diantaranya adalah masih berlakunya moratorium perizinan kapal asing, berdasarkan Peraturan Menteri KKP No.10/2015, dan masih berlaku sampai saat ini, jadi tak ada kapal asing yang beroperasi di lautan Indonesia, termasuk di Sulawesi Utara dan Manado,” katanya.

Sehingga katanya, tidak ada lagi yang mengganggu nelayan lokal terutama yang tradisional dalam melaut, dan bisa dengan leluasa mencari nafkah di laut.

 

Seorang nelayan siap melaut di pesisir pantai Kota Manado.

 

 

Sedangkan untuk bantuan, kata Tineke, ada yang diberikan dalam bentuk sarana dan prasarana seperti bantuan peralatan tangkap, perahu pelang, katinting hingga kartu Kusuka yang diberikan kepada nelayan di Sulut termasuk Manado.

Sementara Wakil ketua DPRD Manado, Adrey Laikun, yang berasal dari Dapil Tuminting-Bunaken dan Bunaken Kepulauan, terkejut mendengar tak ada bantuan sama sekali bagi nelayan di Manado.

Sebab menurutnya nelayan di Manado masih susah kehidupannya, sehingga perlu mendapatkan perhatian dan bantuan pemerintah jangan sampai diabaikan.

“Apalagi Manado ini adalah kota pantai dengan posisi sebagian besar adalah berada di pesisir, seharusnya masyarakat yang didominasi nelayan itu mendapatkan perhatian besar, meskipun tidak menjadi prioritas utama, tetapi harus terus diperhatikan,” tegasnya.

Dia bakal menanyakan hal itu kepada DPKP karena nelayan sebagai bagian dari warga berperan dalam perkembangan perekonomian kota Manado.

“Kalau memang alasan anggaran, tahun depan saya sendiri selaku pimpinan DPRD Manado akan mendorong dinas pertanian kelautan dan perikanan untuk menganggarkan hal itu, jika tak bisa diinduk maka harus dilakukan pada perubahan APBD,” tegasnya.

***

*Joyce Hestyawatie, jurnalis Kantor Berita Antara Sulawesi Utara. Artikel ini didukung oleh Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version