Mongabay.co.id

Petani Muda Lombok Ini Pulihkan Lahan dengan Gaharu dan Buah-buahan

Para petani muda Lombok sedang menanam bibit gaharu di lahan yang tak dimanfaatkan. Lahan kritis menjadi sasaran Maharani untuk budidaya pohon gaharu. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

 

Tampak para petani duduk melingkar di teras rumah Desa Sapit, Kecamatan Suela, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB), sore itu. Dalam pertemuan itu satu persatu pegawai dari Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Dodokan Moyosari, NTB menyampaikan rencana penghijauan.

BPDAS menyiapkan bibit buah-buahan seperti durian, jeruk, alpukat. Bibit-bibit itu akan ditanam di hutan kemasyarakatan (HKm). Memasuki musim hujan, bibit itu harus mulai tanam.

Ikut dalam pertemuan itu Maharani, doktor pertanian yang memilih jadi petani. Lelaki memasuki 40 tahunan ini juga melatih para petani di sekitar hutan, melatih anak-anak muda agar mau jadi petani.

Usai penyampaikan dari BPDAS, Maharani berbicara dengan beberapa petani, termasuk pegawai BPDAS.

Maharani bersama teman-temannya dari Lombok Research Center (LRC) juga akan penghijauan di Sapit dan Bebidas, Kecamatan Suela. Dia ingin menggabungkan program itu, termasuk meminta dukungan tambahan bibit untuk petani HKm di blok lain.

Selain bibit buah-buahan, Maharani menawarkan gaharu kepada petani. Mengajak petani menanam gaharu, katanya, tak cukup dalam satu kali pertemuan. Pendekatan langsung kepada petani, tokoh masyarakat, pejabat pemerintah dusun, desa, hingga kecamatan dilakukan untuk meyakinankan warga.

Dia menawarkan gaharu itu ditanam di lahan-lahan kritis, tak produktif, yang ditumbuhi semak belukar termasuk lahan-lahan tandus di bagian selatan Pulau Lombok.

Selain meyakinkan dengan berbagai diskusi, Maharani juga membawakan contoh gubal (galih gaharu) yang jadi bahan dasar parfum. Maharani menunjukkan kalau harga benda berwarna hitam kecoklatan itu bisa Rp5-Rp10 juta perkg. Untuk lebih meyakinkan lagi, Maharani kadang mengajak petani melihat budidaya garahu yang sudah berhasil di kelompok binaannya.

“Karena keyakinan sebagian besar, gubal gaharu itu banyak mistisnya cara terbentuknya. Padahal, pembentukan gubal itu bisa rekayasa. Ini yang kami tekankan ke petani,’’ katanya.

Beberapa pengusaha gaharu dari Lombok mengambil gaharu dari hutan Kalimantan dengan jenis Acularia Sp. Gaharu di NTB banyak Gyrinop Sp.

Untuk mendapatkan gaharu di hutan Kalimantan, para pengusaha membayar orang untuk mencari. Para pencari gaharu ini dibekali modal, logistik, dan mendapatkan upah. Gaharu dicari dalam hutan itu biasa terjadi karena proses alam. Pohon tersambar petir, pohon tumbang, pohon patah. Pohon gaharu itu terserang penyakit. Ketika proses melawan penyakit itulah terbentuk gubal.

Nah, sekarang proses alam itu kita rekayasa, sudah ada caranya. Ini yang kami yakinkan ke petani,’’ kata Maharani.

 

Maharani menunjukkan cairan hasil pengembangbiakan jamur yang tumbuh di akar gaharu. Cairan inilah yang akan disuntikkan ke batang pohon gaharu. Setahun kemudian, bisa panen gubal (sejenis galih gaharu), Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Gubal yang terbentuk pada dasarnya “penyakit’, untuk menghasilkan gubal pada gaharu budidaya dengan menyuntikkan penyakit. Biasa mengambil jamur di sekitar tanaman gaharu. Jamur itu dikembangbiakkan di laboratorium, dan dibuat jadi cairan. Kemudian, gaharu diameter batang minimal 10 cm, dilubangi dengan bor kemudian menyuntikkan dengan cairan itu. Dalam setahun setelah penyuntikan itu, kalau berhasil, akan terbentuk gubal.

Dari proses belajar gaharu selama belasan tahun, Maharani menemukan cairan untuk suntikan ke batang garahu itu efektif dengan jamur yang tumbuh di akar gaharu. Dia sudah ujicoba dan berhasil. Cairan itu sudah mulai dijual, dan sedang proses pengurusan hak atas kekayaan intelektual (HaKi).

Petani gaharu juga makin kreatif. Kalau sebelumnya mereka hanya pakai teknik suntikan, kini juga mengembangkan teknik pemasangan plat baja. Plat baja atau menanam besi dalam pohon gaharu. Petani juga menyuntik dengan cairan yang mengandung jamur. Tingkat keberhasilan cara petani ini lebih tinggi dibandingkan sekadar menyuntik.

“Kalau teknik suntik 50:50, kalau teknik yang dikembangkan petani ini bisa 93% keberhasilannya,’’ katanya.

Secara ekonomis, harga gaharu tak pernah anjlok. Pembeli juga tak pernah kurang. Malahan, kadang pengusaha tak bisa memenuhi setok permintaan konsumen. Negara-negara Timur Tengah, Eropa, bahkan Tiongkok perlu gaharu. Harga gaharu alam dan budidaya juga sama. Yang membedakan, adalah kualitas.

Dari beberapa kali percobaan dan hasil riset, gaharu di lahan kritis hasil gubal lebih bagus. Secara sederhana, gubal gaharu itu terbentuk karena gaharu “tersakiti” oleh proses-proses alam.

Dalam kondisi lahan kritis, misal, kering dan berbatu, pohon gaharu yang tumbuh itu lebih “menderita” dibandingkan gaharu di lahan subur. Gaharu lahan kritis perlu perjuangan keras bisa tumbuh, dan perkembangan lebih lambat. Karena kondisi “tersiksa” inilah kualitas gubal lebih bagus.

“Misi kami sekaligus menghijaukan lahan-lahan kritis,’’ kata Maharani.

Hingga kini, Maharani bersama teman-temannya telah menanam gaharu di Lombok Utara 350 hektar, Lombok Barat 200 hektar, Lombok Tengah 100 hektar, dan Pulau Sumbawa sekitar 500 hektar. Penananam gaharu ini ada mandiri, dukungan pemerintah, tanggung jawab sosial perusahaan.

Dalam setiap penanaman ini, Maharani juga mengajari petani skema bisnis. Memberikan akses ke pasar, dan melatih untuk pengembangan produk olahan.

Gubal paling tinggi harga Rp5-Rp10 juta per kg, dan daun gaharu juga bisa jadi teh. Ekstrak daun gaharu bisa jadi minyak gaharu. Batang gaharu (bukan gubal) jadi tasbih, dupa, kosmetik, dan sabun. Begitu juga gubal sisa bisa jadi bahan campuran kosmetik.

“Tidak ada yang terbuang dari gaharu ini,’’ katanya.

 

Gubal gaharu setelah panen dan dibersihkan. Satu kilogram dijual Rp5-Rp10 juta. Untuk kategori “king”, harga bisa Rp50–Rp75 juta per kilogram. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Ketika berbicara kepada petani, Maharani menekankan gaharu ini memiliki manfaat ekonomis tinggi. Selain pohon bernilai ekonimi, misi lain Maharani adalah menghijaukan lahan kritis.

Kalau berbicara kepada petani sekadar penghijauan, bisa jadi mereka kurang mendukung. Ketika menjelaskan manfaat ekonomis, mereka akan tergerak menanam sendiri. Tak pelak, setiap tahun makin banyak permintaan bibit. Untuk bibit gaharu, Maharani menanam di halaman rumah di Desa Lendang Nangka, Kecamatan Masbagik, Lombok Timur.

Dia juga menyediakan bibit di kebun milik keluarganya. Kalau ada petani mau menanam gaharu, bisa meminta gratis. Ada juga yang dijual, biasa dalam jumlah banyak.

“Kami latih juga petani bagaimana cara pembibitan,’’ katanya.

Maharani menunjukkan kepada saya foto-foto lahan yang kini rimbun oleh gaharu. Dulunya, lahan kritis, hanya semak belukar. Ada juga lahan masuk HKm, tetapi banyak terbabat untuk tanaman semusim. Kini, lahan-lahan itu kembali hijau. Para petani siap panen gaharu.

Selain gaharu, petani juga menanam buah-buahan. Ada nangka, durian, alpukat, dan jenis tanaman keras lain. Gaharu ditanam di tempat kritis, tempat yang tak dimanfaatkan. Kalau ingin membuat kebun gaharu khusus, petani juga diajar tentang pola pengaturan panen agar tak semua pohon ditebang bersamaan.

“Penyuntikan itu bertahap, jangan langsung semua. Misal, kalau tahun depan ingin panen 10 batang, suntik sejumlah yang diinginkan.”

 

 

Dari dosen, ke petani

Setelah menyelesaikan pendidikan sarjana pertanian, Maharani mendapatkan beasiswa S2 dan berlanjut beasiswa S3 pertanian. Saat pendidikan master dan doktor, Maharani fokus kakao dan kopi. Saat itu, dia juga aktif pendampingan petani kopi dan kakao. Melatih petani dan mengajar di Universitas Mataram. Maharani sempat mengajar di program pascasarjana.

Saat melakoni tugas sebagai dosen, Maharani tetap turun membina masyarakat. Hingga suatu hari diajak oleh dosennya mengembangkan gaharu. Budidaya gaharu dan berhasil.

Keberhasilan itu melambungkan nama dosennya, Maharani ikut kecipratan. Mereka diundang ke Malaysia untuk mengisi seminar tentang budidaya gaharu. Melatih para pengambil kebijakan dan petani Malaysia bagaimana cara mengembangkan bahan jamur untuk suntikan ke batang gaharu.

Maharani juga ikut mendampingi dosennya keliling Indonesia. Dia diundang melatih petani untuk budidaya gaharu. Lambat laun, Maharani mulai memperdalam gaharu.

Sebelumnya, mendampingi petani kopi dan kakao, Maharani mulai mengajak menanam gaharu. Lahan-lahan kritis dia bidik. Kelompok-kelompok tani HKm dengan lahan kritis diajak menanam gaharu dan buah-buahan.

Merasa hidup total untuk petani, Maharani melepaskan status PNS sebagai dosen. Maharani total jadi petani.

 

Maharani menunjukkan deretan pohon gaharu budidaya. Gaharu adalah tanaman bernilai ekonomis tinggi dan bisa sebagai penghijauan di lahan-lahan kritis. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Awalnya, banyak cibiran. Kuliah tinggi sampai doktor tetapi jadi petani. Ketika mengajak petani, khusus anak-anak muda, lebih meyakinkan mereka kalau bertani tak identik dengan miskin.

Maharani juga menanam sayur-mayur. Dia melatih petani untuk menanam sayuran, dan membuka jalur pemasaran ke hotel-hotel. Hasil jualan sayuran ini mampu menghidupi keluarga. Bahkan, hasil bertani ini juga mampu menggerakkan roda lembaga yang dia dirikan, Lombok Research Center (LRC). Sebuah lembaga riset fokus pada isu-isu pertanian dan pengembangan masyarakat.

Di Lombok Barat, Maharani mengajak anak-anak muda usia 20-an tahun untuk bisnis gaharu. Tak sekadar menanam gaharu, mereka juga ikut menjadi penjual. Para pemuda itu boleh dibilang anak-anak muda yang sejahtera. Mereka bisa memperoleh penghasilan puluhan juta rupiah, bahkan ada yang ratusan juta rupiah hanya dari bertani gaharu.

“Kalau mau mengajak anak-anak muda bertani, maka ajaklah di komoditas yang bagus,’’ katanya.

Maharani resah melihat anak-anak muda yang tak mau lagi jadi petani. Padahal, bertani itu profesi abadi. Secanggih apapun perkembangkan teknologi, petani tetap dibutuhkan. Pertanian, katanya, selalu bisa mengikuti perkembangan zaman. Anak-anak muda itulah yang jadi haparan pertanian ke depan.

 

***

Maharani menunjukkan kepada saya cendana yang tumbuh di halaman rumahnya. Selain gaharu, Maharani juga mencoba mengembangbiakkan cendana. Tanaman khas Nusa Tenggara Timur (NTT) ini salah satu pohon bernilai ekonomis tinggi. Galih cendana Rp500.000 per kilogram.

“Satu batang pohon itu bisa belasan sampai puluhan kilogram. Tinggal kalikan saja,’’ katanya.

Cendana adalah tanaman yang melambungkan nama Nusa Tenggara Timur. Sayangnya, di daerah asalnya itu cendana mulai berkurang. Padahal, permintaan kayu cendana tetap tinggi.

Begitu juga gaharu, dulu terkenal dari Kalimantan dan Papua, keberadaan di alam sudah berkurang. Alih fungsi hutan, dan tak ada budidaya intensif.

Maharani menghitung, kalau dibandingkan tambang, hasil gaharu dan cendana jauh lebih besar. Tambang hanya dinikmati segelintir pihak, sementara gaharu dan cendana bisa para petani.

Sayangnya, gaharu dan cendana ini bukan jadi kebijakan politik pertanian. Padahal, kalau pemerintah mengembangkan gaharu dan cendana, bisa jadi komoditas ekspor dengan nilai tinggi.

“Saya membayangkan NTB menjadi provinsi gaharu dan NTT kembali menjadi cendana,’’ katanya.

Dia bilang, manfaat terbesar gaharu dan cendana ini adalah menghijaukan lahan-lahan kritis. Tanaman ini bisa tumbuh di lahan kritis, bahkan kualitas makin bagus.

“Lahan kering, berbatu, lahan yang tak bisa ditanamani tanaman semusim, dua pohon ini solusinya.”

Tak perlu membabat lahan produktif. Cukup ditanam di lahan-lahan terlantar.

 

Keterangan foto utama: Para petani muda Lombok sedang menanam bibit gaharu di lahan yang tak dimanfaatkan. Lahan kritis menjadi sasaran Maharani untuk budidaya pohon gaharu. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version