Mongabay.co.id

Penguatan Industri Perikanan, Solusi untuk Natuna

Presiden Joko Widodo datang ke Pelabuhan Natuna, dan bertemu ratusan nelayan di Selat Lampa, Natuna, Rabu (8/1/2020). Foto: Laily Rachev/Biro Pers Sekretariat Presiden/Mongabay Indonesia

 

Pemerintah Indonesia harus bisa memperkuat industri perikanan yang sudah dibangun di Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau. Penguatan itu menjadi penting, karena potensi sumber daya ikan yang ada di kawasan peraian Laut Natuna dan sekitarnya yang masuk dalam wilayah pengelolaan perikanan (WPP) 711 masih sangat besar.

Demikian pernyataan Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan menyikapi perkembangan yang terjadi di kawasan Laut Natuna saat ini. Menurutnya, estimasi potensi ikan lestari yang ada di Laut Natuna Utara dan sekitarnya saat ini mencapai 767 ribu ton.

Estimasi potensi ikan yang masih banyak, katanya, harus dimanfaatkan optimal oleh kapal-kapal ikan yang beroperasi di kawasan perairan Natuna. Terlebih, saat ini sudah ada kapal-kapal ikan berukuran di atas 30 gros ton (GT) yang jumlahnya mencapai 811 unit.

“Belum lagi ditambah dengan izin yang dikeluarkan oleh daerah untuk kapal ukuran di bawah 30 GT. Jadi sebenarnya dari segi jumlah kapal sudah cukup banyak,” ungkapnya kepada Mongabay, Selasa (7/1/2020).

baca : Konflik Laut Natuna Utara, Bintang Utama di Laut Cina Selatan

 

KRI Tjiptadi-381 dari Gugus Tempur Laut (Guspurla) Koarmada I sedang menghalau kapal Coast Guard China saat berpatroli di Laut Natuna Utara, Kepulauan Riau pada Senin (30/12/2019). Foto : Koarmada 1

 

Selain cukupnya jumlah kapal ikan, Suhufan menyebutkan kalau sarana dan prasarana pelabuhan dan unit pengolahan ikan (UPI) juga sudah tersedia saat ini di Natuna, tepatnya di dalam kawasan sentra kelautan dan perikanan terpadu (SKPT) Natuna yang berlokasi di Selat Lampa.

“Ada dermaga, pabrik es, cold storage dan bengkel nelayan. Sarana dan prasarana sudah cukup lengkap,” tambahnya.

Dengan fasilitas yang lengkap itu, Suhufan mengatakan kalau penguatan industri perikanan di Natuna seharusnya bisa dilakukan dengan baik oleh Pemerintah bersama pelaku usaha. Semua fasilitas itu akan sangat bermanfaat bagi pelaku usaha dan juga nelayan skala kecil yang mencari ikan di sekitar Natuna.

Agar penguatan bisa berjalan, Suhufan meminta KKP menggiatkan promo sebanyak mungkin dan membuat mekanisme bagi pelaku usaha tentang bagaimana tata cara memanfaatkan fasilitas industri perikanan yang ada di area SKPT Natuna.

baca juga :  SKPT Natuna, Pusat Ekonomi Baru di Ujung Utara Indonesia

 

Tiga kapal ikan asing berbendera Vietnam ditenggelamkan di perairan Tanjung Datuk, Kalbar Sabtu (11/5/2019). Penenggelaman itu dilaksanakan serentak untuk 13 kapal di tiga lokasi yaitu Natuna (Kepulauan Riau), Belawan (Sumut) dan Pontianak (Kalbar). Foto : Humas KKP

 

Problem Bisnis Perikanan

Tentang usulan Menteri Politik, Hukum, dan HAM Mahfud MD untuk mengirimkan kapal ikan dari wilayah Pantai Utara (Pantura) Jawa ke perairan Natuna dan sekitarnya, menurut Suhufan itu mesti dianalisa dengan benar dan tepat.

Karena diprediksi bakal menambah masalah baru dan bukan jadi solusi terkait pertahanan kedaulatan Negara di wilayah zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia di Laut Natuna Utara.

“Nampaknya problem utama bukan kekurangan kapal, tapi bisnis proses perikanan yang belum berjalan. Apalagi, jika kapal-kapal yang mau dialihkan ke sana adalah kapal yang bermasalah dari segi perizinan dan alat tangkap yang digunakan,” jelas dia.

Adapun, bisnis proses perikanan yang dimaksud, adalah karena selama ini ikan hasil tangkapan tidak didaratkan langsung di Natuna. Melainkan langsung dibawa ke pulau Jawa dan Tanjung Balai Karimun. Alhasil, perdagangan dan kegiatan ekonomi akhirnya tidak bisa berputar di Natuna, namun justru di Jawa atau Tanjung Balai Karimun.

“Jadi yang paling penting saat ini adalah KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan) dan kementerian terkait membuat regulasi agar kegiatan penangkapan bisa dilanjutkan dengan proses pengolahan di Natuna,” tuturnya.

“Mendukung sikap Presiden dan Pemerintah Indonesia untuk menegakkan kedaulatan di laut Natuna. Kedaulatan menjadi penting, sebab tanpa kedaulatan penuh, upaya membangun kesejahteraan masyarakat menjadi sia-sia,” tambah Suhufan.

perlu dibaca : Laut Natuna Masih Disukai Kapal Asing Penangkap Ikan Ilegal. Kenapa?

 

Lokasi pembangunan Pelabuhan di Selat Lampa, Natuna, Kepulauan Riau pada awal September 2016. Pembangunan pelabuhan itu sebagai bagian dari pembangunan sentra perikanan dan kelautan terpadu (SKPT) dari program KKP. Foto : M Ambari

 

Potensi Polemik Kapal

Sementara, Direktur Eksekutif Pusat Studi Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim mengungkapkan bahwa ide untuk mengirimkan kapal ikan dari Pantura Jawa merupakan gagasan yang tergesa-gesa. Ide tersebut bisa menimbulkan polemik baru karena berkaitan dengan mobilisasi nelayan dari Pantura Jawa ke Laut Natuna Utara.

Halim menjabarkan, potensi polemik karena mobilisasi kapal ikan Pantura Jawa perlu melengkapi perizinan sebelum melaut di laut Natuna Utara

Kemudian, polemik juga bisa dipicu dari pemakaian alat penangkapan ikan (API) oleh kapal perikanan dari Pantura yang tergolong berkelanjutan atau tidak. Lalu, belum adanya nota kesepahaman antara Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau dengan Jawa Tengah berkaitan dengan status nelayan andon asal Jateng yang beroperasi di WPP 711 juga bisa menjadi pemicu polemik baru.

“Potensi konflik yang terjadi nelayan andon (asal Jateng) dengan nelayan Natuna dan Kepulauan Riau pada umumnya,” ucap dia.

Halim menilai mobilisasi kapal ikan dari Pantura Jawa tidak menyelesaikan masalah perang kedaulatan Negara di Laut Natuna Utara. Pemerintah Indonesia, lanjut Halim, justru harus memanfaatkan keberadaan SKPT Natuna di Selat Lampa. Pusat industri perikanan yang baru dibangun lima tahun terakhir itu, sampai saat ini dinilai masih belum banyak dimanfaatkan, karena masih minim kapal ikan yang beroperasi di WPP RI 715.

“Padahal potensi perikanannya masih sangat besar, mengacu pada Kepmen 50/2017 tentang Estimasi Stok Ikan,” sebutnya.

Dalam jangka pendek, Halim meminta Pemerintah Indonesia untuk mendorong nelayan Natuna dan Kepulauan Riau pada umumnya untuk aktif melakukan aktivitas penangkapan ikan dengan pendampingan dari Badan Keamanan Laut (Bakamla)/TNI Angkatan Laut/Kapal Pengawas Perikanan/dan Direktorat Kepolisian Air.

Sementara, untuk jangka panjang, Pemerintah harus bisa menata ulang kebutuhan armada penangkapan ikan di WPP-NRI 711 berdasarkan estimasi stok ikan, produktivitas alat tangkap yang boleh dipakai, dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan.

baca juga : Liputan Natuna : Beruntungnya Natuna Dibuatkan Fasilitas Berstandar Internasional (Bagian 3)

 

Presiden Joko Widodo, pada Rabu (8/1/2020), bertemu ratusan nelayan di Natuna sekaligus memastikan operasional SKPT Natuna  dirasakan manfaatnya oleh para nelayan dan menjadi pusat ekonomi baru.  Foto: Laily Rachev – Biro Pers Sekretariat Presiden

 

Presiden ke Natuna

Diketahui, permasalahan di Laut Natuna Utara terus meruncing setelah sikap Pemerintah Tiongkok tidak terlihat melunak dan justru mengklaim wilayah laut tersebut sebagai bagian dari sembilan garis putus (nine dash line) yang ada di peta mereka. Sikap Tiongkok tersebut bermula dari masuknya kapal ikan asing (KIA) berbendera Tiongkok ke wilayah Laut Natuna Utara dan mencari ikan di sana.

Selain Tiongkok, Vietnam juga diketahui dengan sengaja mengirimkan kapal perikanan mereka bertonase besar ke wilayah Laut Natuna Utara yang sepi dari kapal ikan Indonesia. Baik Tiongkok maupun Vietnam, sama-sama mengirimkan kapal pengawas laut (coast guard) mereka untuk mengawal kapal perikanan mereka selama mencari ikan di Indonesia.

Pada Selasa (7/1/2020), Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo berkunjung ke Natuna bersama sejumlah pejabat penting di lingkungan KKP. Kedatangan Edhy ke sana, untuk meredam gejolak isu kedaulatan yang semakin menguat setiap harinya.

Di Natuna, Edhy meninjau SKPT Natuna di Selat Lampa dan bertemu dengan nelayan dan masyarakat Natuna untuk menyerap banyak aspirasi di sektor kelautan dan perikanan. Kepada masyarakat Natuna, dia berjanji untuk menjaga kestabilan harga ikan dengan menjanjikan pembangunan tempat penyimpana ikan (cold storage).

 

Presiden Joko Widodo di Pelabuhan Natuna, Rabu (8/1/2020) dijelaskan mengenai kapal asing termasuk peristiwa kapal coast guard Tiongkok yang berada di ZEE Indonesia di Laut Natuna Utara
Foto: Laily Rachev/Biro Pers Sekretariat Presiden

 

Sehari setelahnya yaitu pada pada Rabu (8/1/2020), Menteri KKP mendampingi Presiden Joko Widodo yang bertemu dengan ratusan nelayan di Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu (SKPT) Selat Lampa, Pelabuhan Perikanan Selat Lampa Natuna, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau,

“Saya ke sini ingin memastikan SKPT yang telah beroperasi sejak Oktober 2019 dapat dirasakan manfaatnya oleh para nelayan dan menjadi pusat ekonomi baru, utamanya untuk sektor kelautan dan perikanan di Natuna. Pemerintah ingin agar sumber daya alam laut kita di Natuna dan sekitarnya ini dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk rakyat di sini,” kata Jokowi.

Setelah itu, Jokowi kemudian meninjau dua Kapal Perang RI (KRI), yaitu KRI Usman Harun 359 dan KRI Karel Satsuit Tubun 356 di Pangkalan Angkatan Laut Terpadu Selat Lampa , Rabu (8/1) siang. “Saya ke sini juga ingin memastikan penegakan hukum atas hak berdaulat kita, hak berdaulat negara kita Indonesia atas kekayaan sumber daya alam laut kita di zona ekonomi eksklusif (ZEE). Kenapa di sini hadir Bakamla dan Angkatan Laut? Untuk memastikan penegakan hukum yang ada di sini,” kata Presiden seperti dikutip dari laman Sekretariat Kabinet RI.

 

Presiden Joko Widodo meninjau KRI Usman Harun 359 dan KRI Karel Satsuit Tubun 356 di Pangkalan Angkatan Laut Terpadu Selat Lampa, Rabu (8/1/2020). Foto: Laily Rachev/Biro Pers Sekretariat Presiden

 

Jokowi mengatakan ZEE bukanlah laut teritorial Indonesia, sehingga kapal asing dapat melintas di perairan ZEE Indonesia. Tetapi Presiden menegaskan, di ZEE tersebut Indonesia memiliki hak atas kekayaan alam di dalamnya dan berhak menggunakan kebijakan hukumnya.

Karena  itu, apabila terdapat kapal asing yang memanfaatkan kekayaan alam di dalamnya secara ilegal, maka Indonesia memiliki hak berdaulat untuk menangkap atau menghalau kapal asing tersebut.

Presiden yang didampingi Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, dan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto kemudian menaiki KRI Usman Harun dan berlayar meninjau situasi di Perairan Natuna sekitar 10 menit.

***

Keterangan foto utama : Presiden Joko Widodo datang ke Pelabuhan Natuna, dan bertemu ratusan nelayan di Selat Lampa, Natuna, Rabu (8/1/2020). Foto: Laily Rachev/Biro Pers Sekretariat Presiden/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version