Mongabay.co.id

Krisis Renegerasi Pasca Reklamasi, Nasib Nelayan Teluk Manado Kini [1]

 

“Anak kita harus sekolah sampai sukses. Jangan jadi nelayan. Jangan susah seperti bapaknya yang nelayan ini,”

Harapan itu diungkapkan Kebangkitan Pareda (49), seorang nelayan di pantai Malalayang, Kota Manado, Sulawesi Utara (Sulut). Pria yang lebih dari 20 tahun menjadi nelayan itu ditemui sedang memperbaiki jaring ikan di tempatnya parkir perahunya.

Lewat perbincangan sederhana di tepi pantai pada Selasa (10/12/2019), Pareda menjadi saksi sulitnya kehidupan nelayan, sehingga makin sedikit anak muda yang mau menjadi nelayan di Teluk Manado.

Berada di kawasan pesisir pantai, Kota Manado terdiri dari 11 kecamatan dihuni sekitar 400.000 penduduk. Enam kecaman di antaranya berbatasan langsung dengan pantai, yaitu Malalayang, Sario, Wenang, Tuminting, Bunaken, dan Bunaken Kepulauan. Hingga kini, masih bisa ditemukan nelayan beraktivitas di sepanjang pesisir Teluk Manado.

Berdasarkan data Dinas Pertanian Kelautan dan Perikanan (DPKP) Kota Manado, saat ini terdapat 117 kelompok nelayan tangkap pada 20 kelurahan. Masing-masing kelompok beranggotakan 10 orang, yang berarti ada 1.117 nelayan tangkap di Manado. Namun jumlah nelayan tersebut makin menurun.

baca : Kesejahteraan Nelayan Manado, Ironi di Tengah Perkembangan Ekonomi

 

Aktivitas reklamasi pantai Kota Manado, tepat di sebelah Sekertariat Komunitas Nelayan FNPPM Kelurahan Malalayang, Kota Manado. Foto : Ilona Esterina/Mongabay Indonesia

 

Penurunan jumlah nelayan juga dirasakan Ketua Kelompok Nelayan Bintang Laut di Kecamatan Sario, Kota Manado, David Latif (42). Dia mengkhawatirkan regenerasi nelayan, terlihat dari sekitar 40 nelayan yang biasa parkir perahu di Kawasan Megamas, hanya ada sekira lima anak nelayan yang mau ikut melaut.

“Di sini hanya ada sekira lima orang anak nelayan yang senang ke laut, itupun hanya ikut-ikutan, tidak serius mau menjadi nelayan. Anak-anak saya juga tidak suka menjadi nelayan dan memang tidak punya skill di bidang itu,” terangnya kepada Mongabay-Indonesia, Jumat (13/12/2019).

Seperti halnya kehidupan nelayan yang ditemui di pantai Malalayang, David turut merasakan sulitnya menjadi nelayan di Manado. Ia juga tidak ingin ketiga anaknya yang lulusan universitas melanjutkan profesinya. Pemikiran itu juga terjadi pada nelayan lainnya. Melihat fenomena itu, David memastikan regenerasi nelayan di wilayahnya tidak akan berlanjut.

Sedangkan Kepala Seksi Kenelayanan dan Kelembagaan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Pemprov Sulut Ellist Bawuno mengamini banyak nelayan di wilayah Kota Manado yang berkurang, baik dari jumlah maupun tradisi melautnya.

“Saya dulu tinggal di Sindulang. Bapak dan ibu saya juga nelayan. Dulu masih sempat menyaksikan tradisi soma dampar (menjaring ikan secara kolektif). Bahkan saat saya berdinas di DKP Kota Manado, tahun 1990-an sampai awal tahun 2000 masih banyak nelayan,” jelasnya pada Selasa (17/12/2019).

baca juga : Rignolda Djamaludin: Terjadi Pelanggaran HAM Luar Biasa terhadap Nelayan Manado

 

Istri nelayan melepas kepergian suami mencari ikan di Teluk Manado, Sulut. foto oleh Ilona. Foto : Ilona Esterina/Mongabay Indonesia

 

Sulitnya Regenerasi Nelayan

Berbagai persoalan melatarbelakangi berkurangnya regenerasi nelayan. Sejumlah nelayan yang ditemui menjelaskan sulitnya regenerasi nelayan menyangkut kesejahteraan. Kebanyakan nelayan Kota Manado memang masuk kategori nelayan kecil sesuai Undang-undang No.7/2016 tentang Perlindungan Nelayan, Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam.

Menurut Kepala Jaga (RT) V di Kelurahan Bitung Karangria, Prama Bangsuil, yang ditemui Kamis (19/12/2019) mengatakan pada umumnya nelayan tradisional Kota Manado hanya memiliki kapal ikan di bawah 10 Gross Ton (GT) atau bekerja pada pemilik pajeko (kapal besar) di wilayah pelelangan ikan kawasan Calaca.

Para nelayan miskin itu, lanjut Prama, harus bekerja lebih keras untuk bertahan hidup di Kota Manado, menghidupi keluarga dan menyekolahkan anaknya bahkan sampai ke perguruan tinggi.

Tak hanya orang tua, anak-anak pun berpikiran sama. Hiskia Karoles (14), seorang anak nelayan di Kelurahan Bitung Karangria, Kecamatan Tuminting, mengatakan semakin jarang menemukan anak muda yang mau jadi nelayan. Kalau pun ada yang mau meneruskan profesi nelayan, pada umumnya anak yang putus sekolah atau memang tidak sekolah.

Ketika ditanya cita-citanya, Siswa SMPN 5 Manado itu pun menolak tegas bakal meneruskan profesi ayahnya sebagai nelayan, karena menurutnya hidup nelayan seperti ayahnya susah.

Selain tingkat hidup yang miskin, Peneliti Shaad Research Development, Nono S. A. Sumampouw menjelaskan regenerasi nelayan di Teluk Manado juga terkait erat dengan eksistensi nelayan, yaitu tradisi pengetahuan melaut yang diturunkan dari orang tuanya. Pengetahuan tentang teknik menangkap, membaca arus mengetahui spot ikan, memprediksi arah angin, dan waktu yang tepat menangkap ikan kebanyakan didapatkan bukan dari bangku sekolah.

Nono menyebutkan pada awal kehidupan sosial masyarakat nelayan di Kota Manado, banyak hal dilakukan secara kolektif dan mandiri tanpa bantuan pemerintah, seperti tradisi soma dampar dan menentukan napo (spot ikan).

Dia menjelaskan asal etnis juga berpengaruh. Masyarakat nelayan di pesisir Manado kebanyakan berasal dari etnis Sangihe yang mendiami Teluk Manado sejak tahun 1500-an. Awalnya masyarakat nelayan itu hidup di pulau Manado Tua.

“Berbeda dengan etnis Minahasa yang umumnya tinggal di pegunungan (sehingga tidak mempunyai tradisi sebagai nelayan), masyarakat Sangihe yang erat dengan tradisi baharinya menetap di pesisir. Merekalah yang diyakini sebagai penduduk awal Kota Manado,” terang Nono saat ditemui Kamis (19/12/2019).

baca juga : Gelar Konsolidasi, Nelayan Sulut Ungkapkan Berbagai Persoalan

 

Masyarakat nelayan di Kelurahan Bahu, Kota Manado, umumnya berasal dari etnis Sangihe. Itu sebabnya wilayah ini dikenal dengan nama LOS, Lorong Orang Sangir. Foto : Ilona Esterina/Mongabay Indonesia

 

Sementara Ketua Forum Nelayan Pesisir Pantai Malalayang II (FNPPM) Sudirman Hililo (61) juga merasakan hal yang serupa. Meski telah menurunkan skill nelayan pada anak-anaknya, tetapi sama seperti sebagian besar anak nelayan di Malayayang II, mereka tidak tertarik mendalami profesi nelayan. “Minat untuk menekuni profesi nelayan masih kurang. Ada anak nelayan yang suka ikut kelaut tapi hanya sekedar karena tertarik bukan untuk diseriusi,” katanya saat ditemui Sabtu (14/12/2019).

Sudirman menilai anggapan hidup sebagai nelayan yang sudah dan tidak sejahtera kadung melekat di benak anak-anak muda, bahkan nelayan sendiri. Bagi nelayan Kota Manado bertahan hidup di tengah berdirinya gedung-gedung bertingkat adalah sebuah perjuangan. Anak pertamanya bahkan sempat meminta Sudirman untuk berhenti karena tak tega melihat ayahnya harus berurusan dengan kepolisian akibat mempertahankan tambatan perahu, atau menolak reklamasi.

Pemerintah dinilai tidak memperhatikan berbagai kesulitan nelayan seperti mengakses ke pantai pascareklamasi dan kesulitan bahan bakar untuk melaut. “Kami nelayan kalau bawa galon mau beli minyak di pompa bensin sulit, sering tidak dikasih. Padahal perahu butuh bahan bakar untuk bisa jalan. Kalau mobil-mobil beli dalam jumlah banyak bisa, padahal kami sudah tunjukan kartu nelayan. Tidak mungkin kalau kami harus tarik perahu ke pom bensin untuk beli minyak,” keluhnya.

perlu dibaca : Begini Dampak Merusak Reklamasi Pantai Malalayang Dua Manado

 

Wilayah parkir perahu nelayan di kawasan bisnis Megamas, Kecamatan Sario, Kota Manado, Sulut. Foto : Ilona Esterina/Mongabay Indonesia

 

Kemana Bantuan Nelayan Berlabuh?                                    

Selama tahun 2019, Pihak DKP Pemprov Sulut dan DPKP Kota Manado mengklaim mempunyai program pemberdayaan untuk memperhatikan nasib nelayan, seperti telah penyaluran sejumlah bantuan kepada individu dan kelompok nelayan di Manado.

Kepala DPKP Kota Manado, Marrus Nainggolan bahkan masih mengingat jumlah individu nelayan penerima bantuan. “Bantuan terbaru di tahun ini (2019) ada dari Dirjen Migas, untuk konversi bahan bakar minyak ke gas. Kami juga sudah menyalurkan bantuan lain berupa mesin dan itu diserahkan langsung ke individu nelayan. Ada 282 orang yang sudah menerima,” terang Marrus ketka dihubungi Rabu (18/12/2019).

Meski mengaku sudah menerima bantuan, sejumlah nelayan yang berhasil ditemui mengeluhkan adanya bantuan yang tidak tepat sasaran. Misalnya Marlon Amemo (66), nelayan di Kelurahan Bahu, Kota Manado, mengaku baru menerima satu kali bantuan berupa mesin kapal selama menjadi nelayan. Tetapi dia kaget saat mendapat informasi ada warga yang mendapatkan bantuan mesin, bahkan ada yang dapat lebih dari sekali. Padahal tidak lagi menjadi nelayan.

Seorang nelayan Kelurahan Bahu yang tak ingin disebutkan namanya bahkan dengan gamblang mengatakan ada oknum warga yang bukan nelayan membentuk kelompok hanya untuk mendapatkan bantuan. Sementara itu nelayan di Kawasan Megamas mengatakan dari 80 orang yang terdaftar pada empat kelompok nelayan wilayah itu, setengahnya bukan nelayan.

Hal serupa juga terjadi di Malalayang. Nelayan Malalayang Alfian Gamis (65) mengaku dirinya jarang mendapatkan bantuan karena tidak tergabung di kelompok nelayan. “Sudah pernah bilang ke mereka (kelompok nelayan di wilayah tersebut) untuk dimasukkan, tapi sampai sekarang belum juga. Tapi saya tidak masalah, kami masih bisa tetap cari ikan dan dapat duit tambahan dari membuat perahu,” katanya saaat ditemui Rabu (11/12/2019).

Untuk mendapatkan bantuan nelayan berupa mesin, gas, dan lain-lain, DKP menyarankan nelayan harus membentuk kelompok. Begitu penuturan salah seorang ketua kelompok nelayan di Sario.

Sedangkan Kasie Kenelayanan DKP Pemprov Sulut Ellist Bawuno, mengatakan pihaknya bertugas melakukan monitoring terhadap kegiatan DKP di kota dan kabupaten di seluruh Sulut. Dirinya mengakui tidak memungkiri ada nelayan yang mengadu tidak mendapat bantuan, sementara yang bukan nelayan justru mendapatkan.

“Biasanya ulah mereka yang ingin dapat dengan memasukkan nama. Tapi kalau kedapatan kami akan lakukan pendekatan sosial agar dilepaskan bantuan, seperti misalnya mesin perahu, agar diserahkan kepada yang benar-benar nelayan,” katanya.

 

Alfian Gamis, Nelayan Malalayang, Kota Manado dengan istri dan anaknya tinggal di rumah tepi pantai. Foto : Ilona Esterina/Mongabay Indonesia

 

Evaluasi Bantuan

Akademisi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Unsrat, Rignolda Djamaluddin menilai metode penyaluran bantuan perlu dievaluasi agar tepat sasaran. Ketika ditemukan ketidaktepatan bantuan, DKP Kota Manado seharusnya menarik bantuan tersebut. Setelah itu baru disalurkan kembali kepada mereka yang benar-benar nelayan.

Bantuan pemerintah itu seharusnya bisa membuat masyarakat nelayan mandiri. “Polanya seharusnya diberikan kepada nelayan yang butuh, sampai dia bisa berusaha sendiri, lalu berikan ke yang lain juga yang benar-benar nelayan. Kalau penyalurannya tepat, seorang nelayan asli menerima sebuah perahu yang merupakan sarana penghidupannya, pasti senang sekali dan benar-benar dimanfaatkan dengan baik,” kata Rignolda yang juga Ketua Asosiasi Nelayan Tradisional (Antra) Kota Manado, Sabtu (21/12/2019)

Sementara itu sejak lima tahun belakangan keluarga besar nelayan di komunitas FNPPM memutuskan tidak menerima bantuan DKP. Hal ini dianggap sebagai bentuk keseriusan nelayan untuk tetap mandiri. Pada kenyataannya nelayan kecil di kawasan ini bisa bertahan meski tanpa bantuan. Rignolda menyaksikan bagaimana nelayan di Komunitas nelayan FNPPM saling membantu dalam kehidupan bernelayan di laut maupun di darat. Ada nilai dan tradisi nelayan yang terus terjaga.

Senada dengan Rignolda, Peneliti Nono Sumampow menyebutkan tradisi tradisi soma dampar dan menentukan napo (spot ikan) pada awal kehidupan sosial masyarakat nelayan di Kota Manado, merupakan bentuk kemandirian nelayan dan nilai kolektif sosial masyarakat nelayan., sehingga tidak membutuhkan bantuan pemerintah untuk tetap melakukan kerjanya.

***

*Ilona Esterina Piri, jurnalis Koran Sindo Manado. Artikel ini didukung oleh Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version