Mongabay.co.id

Potret “Kecemasan” Nelayan Bagan di Sungai Banyuasin

 

 

Sungai Banyuasin merupakan wilayah estuari Sungai Musi, selain Sungai Upang, Sungai Lalan, dan Sungai Sembilang yang membentuk ekosistem estuari dan terhubung langsung dengan perairan Selat Bangka.

Estuari adalah tipe peralihan antara perairan laut dan tawar, sehingga biota serta organisme yang hidup sangat beragam. Hal inilah yang membuat Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan [Sumsel], menjadi salah satu sentra perikanan tangkap yang cukup potensial.

Tapi itu dulu. Bagaimana saat ini?

Baca: Berbenah, Musi Banyuasin Ingin Jadi Laboratorium Ekologi, Ekonomi dan Budaya

 

Bagan yang berada di Sungai Banyuasin. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Sungai Banyuasin, yang secara kasat mata lebarnya terlihat melebihi Sungai Musi yang melintasi Kota Palembang [sekitar 300 meter], sampai saat sulit didapatkan data lengkapnya. Belum diketahui panjang, lebar, dan jumlah anak sungainya secara detil.

Berdasarkan penelusuran Google Earth, hulu dari sungai yang bermuara ke Selat Bangka tersebut bercabang dua. Satu cabang ke lahan pertanian dan perkebunan di Kecamatan Pulau Rimau, Kabupaten Banyuasin, dan satunya ke Suaka Margasatwa Dangku dan Bentayan, Kabupaten Musi Banyuasin. Namun, sepanjang aliran Sungai Banyuasin terlihat hamparan perkebunan sawit dan pertanian.

Baca: Desa Danau Cala, Sentra Ikan Tapah yang Mulai Langka

 

Ikan lais yang diasinkan. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Kawasan hutan mangrove hanya ditemukan di sekitar pertemuan Sungai Banyuasin dengan Sungai Lalan, kawasan Sembilang dan Sungsang.

“Dulu, sekitar tiga atau empat tahun lalu, kami bisa mendapat hasil tangkapan satu ton sehari, baik ikan, kepiting maupun udang. Sekarang, harus menunggu satu tahun, baru dapat satu ton,” kata Arifin [45], nelayan yang menyewa bagan di Sungai Banyuasin, kepada Mongabay Indonesia, akhir 2019 lalu.

Baca juga: Ikan Gabus yang Terusir dari Rawa dan Sungai

 

Udang yang dijemur. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Merosotnya hasil tangkap nelayan di sepanjang Sungai Banyuasin, diduga nelayan karena pencemaran limbah yang dihasilkan industri perkebunan di hulu Sungai.

“Terlebih saat penghujan, sekitar Desember hingga April. Limbah dari hulu yang berasal dari perkebunan sawit mengalir mencemari aliran Sungai Banyuasin hingga ke muara. Bahkan, kami melihat ikan mati, terutama saat musim hujan,” lanjut Arifin, yang sejak usia 10 tahun menangkap ikan di sepanjang Sungai Banyuasin.

 

Proses pemisahan udang dengan ampas kulitnya. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Disebabkan pencemaran

Berdasarkan Journal of Marine And Aquatic Sciences Vol. 5, Desember 2019, Yulianto Suteja, Anna Ida Sunaryo, dan Fitri Agustriani dalam laporan berjudul “Merkuri [Hg] di Permukaan Perairan Muara Sungai Banyuasin, Sumatera Selatan, Indonesia”, menjelaskan konsentrasi logam merkuri di perairan muara Sungai Banyuasin berkisar 0.001- 0.032 mg/L dengan pola distribusi yang secara umum semakin meningkat ke arah lautan.

Konsentrasi merkuri di muara Sungai Banyuasin, rata-rata berada pada batas maksimal dan melampaui baku mutu untuk biota laut. Meskipun, masih memenuhi baku mutu jika berdasarkan KepMenLH No 51 Tahun 2004.

 

Penjemuran ikan dan udang hasil tangkapan nelayan. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Penelitian ini juga menyebutkan, sumber pencemaran merkuri pada Sungai Banyuasin diduga kuat berasal dari berbagai aktivitas ekonomi. Sumber pencemaran merkuri yang paling besar diduga berasal dari kegiatan pertanian dan perkebunan. Luasan pertanian [padi] dan perkebunan di Banyuasin, menurut Badan Pusat Statistik [BPS] Sumatera Selatan [2016] masing-masing sekitar 298.231 hektar.

Pencemaran lainnya, diduga berasal dari penambangan batubara. Menurut BPS Sumatera Selatan [2016], produksi batubara semakin meningkat dari 2012 hingga 2015. Proses transportasi batubara di Sumatera Selatan yang masih dominan melalui sungai dan proses penyimpanan sementara [stockpile] batubara di sepanjang sungai, juga memberikan sumbangan terhadap logam berat di perairan sungai.

Perubahan kualitas air di Sungai Banyuasin, kata Sapti [49], yang menetap di sebuah bagan di Sungai Banyuasin bersama istri dan dua anaknya, menyebabkan mereka mulai sulit mendapatkan ikan bernilai ekonomi tinggi. Sebut saja, kakap [Lates calcarifer] dan udang galah [Macrobracium rosenbegii].

 

Proses penumbukan terasi, menggunakan alat tradisional. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Jenis ikan yang saat ini sering mereka dapatkan sekarang adalah gulamo [Panna microdon], sembilang [Paraplotosus albilabris], belanak [Liza melinoptera], selontok kuning [Glossogobius biocellatus], dan parang-parang [Chirocentrus Dorab]. Sedangkan udang, hanya jenis udang burung [Penaeus merguiensis] dan udang rebon [Acetes].

Berapa jenis ikan yang ada di Banyuasin? Berdasarkan penelitian Moh. Rasyid Ridho dan Enggar Patriono pada 2017 yang berjudul “Keanekaragaman Jenis Ikan di Estuaria Sungai Musi, Pesisir Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan”, terdapat 438 jenis ikan yang hidup di pesisir barat Kabupaten Banyuasin hingga Sungai Banyuasin.

 

 

 

Tuguk tancap

Dari puluhan nelayan yang menetap di sejumlah bagan di sepanjang Sungai Banyuasin, alat tangkap ikan tuguk tancap paling dominan digunakan, selain pancing dan lainnya. Tuguk tancap dipasang memanjang, memotong badan sungai.

Berdasarkan pantauan Mongabay Indonesia, terdapat puluhan tuguk tancap di sepanjang Sungai Banyuasin, sehingga perahu, kapal tongkang, atau perahu cepat banyak melaju di pinggiran Sungai Banyuasin.

Pondasi tuguk tancap dari kayu nibung, bersifat pasif dan permanen. Dioperasikan dengan memanfaatkan arus air pasang atau surut, terutama pada arus air pasang, menghadang ikan dan udang yang hanyut terbawa arus.

 

Terasi yang sudah dikeringkan dan siap dipasarkan. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Alat tangkap tuguk tancap tergolong tidak selektif. Ikan besar maupun anakan ditangkap. Bahkan, udang rebon yang berukuran sangat kecil bisa terjaring.

“Hasil dari menuguk biasanya banyak, namun terus berkurang dari tahun ke tahun. Akhirnya, kami memaksimalkan hasil tangkapan udang rebon untuk dijadikan terasi. Namun, dulunya bisa menghasilkan 10 kilogram terasi dalam satu hari, sekarang butuh waktu empat hari. Terasi dijual dengan harga Rp30 ribu per kilogram, itupun belum tentu laku. Kami juga mengasinkan ikan,” jelas Sapti, sembari menemani istrinya menumbuk terasi.

 

Sapti, nelayan yang sedang memasang tugu tancap. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Nelayan itu tidak gratis menetap di bagan-bagan ikan tersebut. Mereka membayar biaya sewa sebesar Rp2 juta per tahun untuk setiap rumah berukuran tiga kali empat meter.

Rumah-rumah di bagan sepanjang Sungai Banyuasin dikelola pemerintah desa dan perorangan. Setiap bagan rata-rata memiliki enam rumah.

 

Selain mencari ikan, nelayan bagan Sungai Banyuasin juga membuat perahu sebagai penghasilan tambahan. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Buruh perkebunan sawit

“Kondisi kami di bagan kian sulit. Biasanya, dalam setahun bisa membawa uang 10-15 juta Rupiah. Sekarang, syukur-syukur bisa nabung, terkadang hanya cukup untuk kebutuhan harian,” kata Sapti.

Kondisi ini membuat mereka mencari pekerjaan sampingan, seperti menjadi pembuat perahu, atau sebagian memutuskan kembali ke desa dan menjadi buruh di perkebunan sawit.

“Kalau kondisinya seperti ini terus, saya mungkin juga akan mengikuti jejak teman nelayan lain, mencari pekerjaan lebih jelas. Bisa saja membuka warung kecil-kecilan atau menjadi buruh perkebunan sawit,” jelas Sapti, yang berasal dari Tanjung Lago, Kabupaten Banyuasin.

 

 

Exit mobile version