Mongabay.co.id

Dedikasi Jamaluddin Mencerdaskan Petani melalui Rumah Koran

 

Bangunan kayu itu berukuran sekitar 4×5 meter dengan dinding yang dipenuhi tempelan koran. Gubuk yang dulunya kandang bebek itu disulap menjadi rumah baca, tempat pemuda desa berdiskusi tentang apa saja, khususnya terkait pertanian. Karena dipenuhi banyak tempelan koran, oleh pemiliknya gubuk itu diberi nama Rumah Koran.

“Di sini kami sering berkumpul dan belajar bersama. Mulai dari anak-anak, pemuda dan orang tua. Mereka semua petani dari sekitar sini,” ungkap Jamaluddin (31), penggagas Rumah Koran, di Desa Kanreapia, Kecamatan Tombolo Pao, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, awal November 2019 silam.

Rumah Koran berawal dari ide yang sederhana. Sepulang dari studi pascasarjana di Universitas Muslim Makassar tahun 2014, Jamaluddin bertekad berbuat sesuatu untuk desanya. Tingkat pendidikan yang rendah dan pernikahan dini yang tinggi adalah masalah utama. Meski secara ekonomi berkecukupan, namun sebagian besar orang tua enggan menyekolahkan anak-anaknya.

Desa Kanreapia berada di kaki gunung Bawakareng yang berudara dingin, dikenal sebagai daerah dataran tinggi di Kabupaten Gowa, penghasil beragam macam sayuran. Sebagian besar warga merupakan petani sayuran.

Sebagai rumah baca, Rumah Koran lebih banyak mengajak warga untuk membaca koran. Jamaluddin beralasan dengan adanya bacaan koran, warga desanya bisa mengenal dunia luar dengan baik. Termasuk belajar tentang metode pertanian mutakhir.

“Ini juga sebuah strategi bagaimana warga mau membaca. Di dinding-dinding ditempeli artikel-artikel menarik. Mereka awalnya hanya tertarik huruf-huruf, lalu tertarik melihat lebih dekat dan akhirnya mau membaca. Ini tidak seperti memberi mereka bacaan berupa buku yang mungkin akan terasa berat,” tambahnya.

baca : Rumah Kompos, Harapan Baru Petani Aunupe Konawe Selatan. Seperti Apa?

 

Di Rumah Koran, yang dinding-dindingnya ditempeli klipingan koran, Jamaluddin mengedukasi warga. Ia berupaya mengentaskan rendahnya tingkat Pendidikan dan tingginya angka pernikahan dini di desanya. Foto : Jamaluddin/Mongabay Indonesia

 

Melalui Rumah Koran, Jamaluddin membuat program yang disebut Gerakan Cerdas Anak Petani. Tujuannya bagaimana menanamkan minat baca untuk anak-anak, belajar berorganisasi dan memanfaatkan media sosial untuk hal positif bagi petani muda, serta membangun kesadaran petani tua untuk menyekolahkan anak-anaknya.

“Kenapa harus ada tiga peserta didik? Karena kalau cuma anak petani yang kami dampingi, bisa saja terhambat dari orang tuanya. Kita memberikan penyadaran kepada orang tua pentingnya pendidikan,” ujarnya.

Pembelajaran untuk kelompok anak-anak ini cukup unik dan beragam. Selain mengajari anak-anak membaca dan menilai sebuah berita, mereka juga belajar di alam. Di hari minggu, mereka berkumpul belajar bersama-sama di bantaran sungai, gunung atau kebun-kebun.

Salah satu pembelajaran yang cukup unik adalah anak-anak tersebut mengumpulkan batu-batu di sungai lalu menghitungnya dan mencatat lokasi pengambilannya. Di akhir kegiatan mereka memaparkan temuannya masing-masing.

“Selain mengajari mereka menghitung dan melakukan observasi, mereka juga diajarkan kejujuran. Mereka hanya menyampaikan apa yang ditemukan di lapangan,” tambah Jamaluddin.

Untuk pemuda diajarkan bagaimana memperkuat kelembagaan di desa, belajar tentang organisasi. Salah satunya bagaimana kelompok tani bisa berdaya, dan menjadi penggerak di lingkungannya.

“Mereka foto selfie di kebun dengan hasil panennya lalu disebar di media sosial masing-masing dan di grup. Ini semacam media promosi dan komunikasi dengan calon pembeli.”

Pemanfaatan media sosial melalui Facebook dan Instagram ini ternyata cukup efektif. Para pembeli bisa mengetahui ketersediaan produk dan harga, dan melihat secara visual produk tersebut. Transaksi bahkan bisa dilakukan pada saat itu juga, atau dilanjutkan melalui komunikasi Whatsapp. Kegiatan ini bisa membangun rasa bangga para pemuda desa menjadi petani.

“Kadang ada yang malu mengaku sebagai petani, tetapi Rumah Koran hadir menanamkan kebanggaan kepada mereka bahwa menjadi petani di masa muda adalah kesempatan bisnis. Membuat kita mandiri secara ekonomi.”

baca juga : Sukses Patola, Ubah Kopi Kampung ke Starbucks

 

Pembelajaran dilakukan di alam terbuka, baik itu di kebun, gunung dan bantaran sungai. Anak-anak diajari cara menghitung dan observasi, sekaligus menanamkan nilai-nilai kejujuran kepada mereka. Foto : Jamaluddin/Mongabay Indonesia

 

Pertanian Organik

Potensi pertanian hortikultura di dataran tinggi Gowa, termasuk Desa Kanreapia cukup besar. Jamaluddin memperkirakan dalam sehari bisa menghasilkan 20-30 ton di tiga kecamatan yang ada di kawasan tersebut.

“Kalau potensi ini bisa dikelola maka mata rantai tengkulak bisa diputus. Petani bisa mendapatkan keuntungan jauh lebih banyak karena pembeli bisa membeli langsung ke petani.”

Pembelajaran untuk petani tua tidak hanya soal membaca, tetapi juga memberi penyadaran agar peduli dengan pendidikan anak-anak mereka.

“Dari segi ekonomi pendapatan masyarakat bagus. Hanya saja karena ekonomi bagus jadi mereka berpikir untuk bertani saja, sehingga melupakan pendidikan. Padahal seharusnya karena ekonomi bagus maka itu bisa digunakan untuk pendidikan. Ini masalah pola pikir.”

Bagi Jamaluddin petani harus berpendidikan agar bisa membaca dan memahami takaran dosis pupuk atau pestisida yang mereka gunakan. Ketidaktepatan dosis maka akan berdampak pada tanaman. Secara ekonomi akan merugikan, lebih-lebih pada masa depan pertanian mereka sendiri.

“Dulu petani menggunakan dosis berlebihan untuk pestisida. Ketika kami masuk kami ubah menjadi pertanian organik. Karena pola pikir mulai berubah dan berdiskusi serta menerima tamu dari luar, akhirnya perlahan-lahan mulai berubah. Kami sekarang berubah ke pertanian organik.”

Rumah Koran sendiri memiliki program yang disebut Kampung Sayur, seperti label yang diberikan untuk kawasan dataran tinggi Gowa. Melalui program ini, Rumah Koran berupaya memperbaiki lahan yang rusak melalui pertanian organik. Tujuannya untuk pertanian bisa berkelanjutan, ekosistem bisa tetap terjaga, dan sayur yang dihasilkan segar dan sehat.

Tak hanya melalui Facebook dan Instagram, Jamaluddin sedang mengintegrasikan program itu melalui perdagangan online, dengan merancang aplikasi jual beli sayuran bernama ‘Sayurku’.

menarik dibaca : Hidroponik, Solusi Pertanian Lahan Sempit di Perkotaan

 

Untuk memutus mata rantai tengkulak, Jamaluddin mengagas jual beli sayuran dengan sistem online, memanfaatkan media sosial. Kini ia berupaya mengembangkan aplikasi sendiri. Foto : Wahyu Chandra /Mongabay Indonesia

 

Penghargaan dari Astra

Perjuangan Jamaluddin bersama anggota komunitasnya berbuah hasil ketika mendapat penghargaan Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards dari Astra untuk bidang Pendidikan tahun 2017.

Jamaluddin dinilai mampu membangun gerakan dari desa, khususnya dalam meningkatkan tingkat pendidikan anak petani. Ia mendapat plakat penghargaan dan uang sebesar Rp60 juta.

“Penilaian Astra antara lain dilihat dari segi original kegiatan, bukan rekayasa dan ada penggeraknya, bersinergi dengan pemerintah lokal, serta keberlanjutan program setelah mendapat penghargaan. Kami yakin bisa berjalan karena kami punya usaha yang bisa menjamin keberlanjutan.”

Hadiah dari Astra ini kemudian digunakan untuk modal usaha komunitas dan membangun demplot untuk lahan pertanian organik. Dalam mendukung kegiatan Rumah Koran, Jamaluddin memang menjual pupuk organik dan mengembangkan wisata pertanian organik.

Setelah mendapat penghargaan ini, aktivitas Jamaluddin yang sempat dicemooh masyarakat berbuah apresiasi lainnya. Bupati Gowa memberi penghargaan sebagai Pemuda Berprestasi. Secara nasional ia juga mendapatkan banyak penghargaan seperti dari HKTI Award, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Bank Mandiri, finalis Frank Seda Award.

baca juga : Melirik Kopi jadi Tanaman Konservasi

 

Melalui Rumah Koran, Jamaluddin membangun gerakan literasi untuk petani di desanya di Desa Kanreapia, Kecamatan Tombolo Pao, Kabupaten Gowa, Sulsel. Tidak hanya anak-anak dan pemuda, namun penyadaran tentang pentingnya pendidikan untuk petani tua. Foto : Wahyu Chandra /Mongabay Indonesia

 

Jamaluddin juga menjadi inspirasi bagi pemuda-pemuda desa. Keluarga yang dulu tidak yakin dengan jalan hidup yang ditempuhnya, kini berbalik mendukung dan bangga dengan berbagai capaian tersebut.

“Dulu di awal-awal memang banyak yang mencibir, sekolah tinggi-tinggi tapi kerjaannya hanya gunting-gunting dan tempel koran. Berbagai penghargaan ini membuka mata mereka bahwa apa yang saya lakukan selama ini tidak sia-sia.”

Jamaluddin hingga saat ini masih fokus dalam mengembangkan program Rumah Koran dan berharap kelak bisa memiliki Mobil Perpustakaan. Wisata pertanian organik yang dikelolanya berkembang dengan baik. Ia bahkan bisa memberdayakan masyarakat sekitar, memberi penghasilan tambahan.

“Warga menyiapkan rumahnya sebagai homestay untuk tamu-tamu yang datang. Warga juga terlibat dalam berbagai aksi penanaman yang kami lakukan,” pungkasnya.

 

Exit mobile version