Mongabay.co.id

Puisi Ajak Warga Jaga Laut dan Ramah Alam

Nelayan kecil di Pulau Daga, Kepulauan Widi, Malut. Foto: Faris Barero/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

“Pada cekungan karang, kerapu sedang menanti, persis di batas tampak dan tidak tampak. Arus Tubir, melompatlah ikan, yang dikirim arus utara dalam pusaran semalam. Sepagi ini telah masuk ke dalam bubu….Kau mungkin tidak percaya kakekku adalah karang yang menghimpun bayi kerapu.”

Begitu bunyi sebagian puisi Ibrahim Gibra, berjudul “Sungguh Kakekku Sudah Tahu” yang ada dalam buku berisi kumpulan puisi “Karang Menghimpun Bayi Kerapu.” Melalui bait-bait puisi ini, Ibrahim ingin berbagi bercerita dan memberi pesan tentang kakeknya yang dulu menangkap ikan pakai bubu atau Igi dalam bahasa Ternate. Puisi–puisi itu membawa pesan menjaga laut dan isinya.

Puisi-puisi Ibrahim yang ditulis sejak awal 2018 hingga akhir 2019 ini, merupakan pengalaman masa kecil sebagai anak laut yang selalu mengikuti kakeknya.

“Memang tidak semua sajak dalam buku puisi ini tentang laut. Ada juga tentang kegalauan, kota, melankolik tapi dirumuskan   untuk mendorong ke hal hal yang baik,” katanya.

Dia bilang, masa kecil di kelilingi laut dan pulau beserta isi, merupakan rahmat sang pencipta yang harus dijaga dan dilindungi. “Semua warisan yang perlu dijaga untuk anak cucu.”

Melalui puisi, dia ingin memberi pesan kepada semua untuk menjaga alam termasuk laut. “Mari merawat bersama.”

 

Pulau Maitara dan Pulau Tidore, juga terancam perubahan iklim. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Dia bilang, ada beberapa puisi, dia sampaikan secara sarkastik. Dia ingin menyampaikan, bertahun-tahun karang tumbuh perlahan dan jadi tempat berlindung ikan dan berbagai organisme, bisa berlindung dari panas dan hujan, tetapi tak bisa bersembunyi dari sampah plastik.

“Berabad- abad ikan-ikan berlindung dari terik dan hujan, tetapi tidak bisa bersembunyi dari ganasnya sampah plastik yang menghiasi laut kita saat ini,” kata Ibrahim, saat perluncuran buku di Ternate, belum lama ini.

Lewat pesan puisi, dia mengajak masyarakat Ternate, Maluku Utara dan semua tak sembarangan melemparkan sampah plastik maupun bekas popok ke laut maupun ke kali mati (barangka). Sampah plastik akhirnya merusak laut dan terumbu karang.

Pesan lain dari puisi ini soal perikanan berkelanjutan. Dari pengalaman sebagai anak laut yang menangkap ikan dengan alat tradisional dan tak merusak, seperti pakai igi atau bubu.

“Apa saja teknologi bisa digunakan dalam menangkap ikan, paling penting harus selalu ramah lingkungan seperti dipakai orangtua-orangtua kita dulu,” katanya.

Sastrawan Hasan Aspaharani, juga hadir dalam peluncuran buku itu bercerita soal pengalaman masa kecil yang berhubungan dengan kehidupan alam, laut dan pantai.

Baginya, sastra selalu selaras dengan berbagai isu dan berfungsi universal. “Sastera harus selaras dengan lingkungan. Artinya, kita tidak bisa terlepas dari lingkungan. Ini bagian dari kehidupan.”

Kritikan Ibrahim memang lekat dengan potret wilayah sekitar. Ambil contoh di Ternate, sampah plastik jadi masalah serius.

 

Nelayan di Pulau Daga selalu diskusi di rumah panggung sebelum melaut. Mereka membahas seputar kehidupan nelayan dan beragam kendala. Foto: Faris Barero/ Mongabay Indonesia

 

Sampah Ternate

Sampah plastik menghiasi laut, kali mati atau bekas jalur lahar dingin yang berdekatan dengan rumah penduduk. Hingga kini, masih ada warga Ternate membuang sampah ke laut. Sampah di barangka, kala musim hujan terbawa dan mengotori laut sekitar Ternate dan Tidore.

Data Dinas Lingkungan Hidup Kota Ternate menyebutkan, masyarakat Kota Ternate dalam sehari menghasilkan sekitar 60-80 ton sampah.   Sebagian besar sampah berasal dari pemukiman dan 60% berupa limbah makanan.

Dari produksi sampah sebesar itu pelayanan penanganan sampah belum maksimal. Selain minim armada sampah, partisipasi masyarakat juga kurang. Di Kota Ternate, hanya punya 17 truk sampah beroperasi dengan pelayanan berdasarkan zona atau wilayah. Satu kendaraan biasa melayani dua hingga empat kelurahan dengan pelayanan sekitar 72%.

Ada pulau belum terlayani. Dari sampah sekitar 20 ton tidak terangkut dan masuk ke barangka dan laut, akhirnya jadi masalah

Adita Agoes, praktisi pariwsata laut dan pengelola Nasijaha Dive Center di Ternate mengatakan, sampah cukup memprihatinkan di Ternate. Sampah-sampah itu terpusat di titik tertentu terutama barangka.

Di beberapa titik penyelaman seperti Taman Nukila, dan Taman Falajawa, kawasan reklamasi Ternate, sampah plastik dan popok cukup memprihatinkan. Untuk itu perlu langkah segera menutup aliran sampah dari barangka ke laut. Bukan tak mungkin, katanya, dasar laut di titik-titik itu sudah tertutup sampah.

Beberapa jenis ikan mengira plastik hanyut sebagai ubur-ubur alias makanannya. Ada juga ikan makan alga yang menempel di plastik di dasar laut hingga plastik ikut termakan.

Dia bilang, kalau ingin signifikan membersihkan laut dari sampah plastik harus ada dukungan sarana maupun prasarana dari pemerintah seperti menutup pintu-pintu barangka dari sampah yang mengalir ke laut.

Juga penanganan sampah pasar rakyat, sistem dan armada angkut sampah di darat, sosialisasi dan gerakan-gerakan kebersihan dan lain-lain.

“Yang sudah mulai pakai tumbler dan bawa tas belanja sendiri masih sedikit, hingga pengurangan [sampah] masih belum signifikan dibanding penambahan sampah plastik.”

 

 

Keterangan foto utama: Nelayan kecil di Pulau Daga, Kepulauan Widi, Malut, menangkap ikan dengan cara tradisional. Foto: Faris Barero/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version