Mongabay.co.id

Menyiasati Dampak Perubahan Iklim dengan Lebah Madu. Seperti Apa? 

 

Sebenarnya menjadi petani atau peternak itu menguntungkan, bila dikerjakan sesuai ilmu dan teknologi terkini.

Hal itu yang diyakini Marlis Nawawi. Sejak lulus kuliah, dia aktif di The Local Enablers, komunitas anak muda bergerak di bidang sosial enterpreuner. Baru setahun Marlis mendalami seluk beluk pertanian.

Bersama komunitasnya, mereka kerap mendiskusikan siasat terbaik di tengah pertanian dan peternakan masa kini yang tidak menentu karena berbagai sebab. Diskusi yang menentukan masa depan dan hidup mereka pula.

“Selain keutungan, kami menginginkan usaha yang dapat berdampak bagi sosial dan lingkungan,” tutur pemuda berusia 28 tahun itu.

Meski pemula, dia tertarik pada usaha hasil hutan bukan kayu terutama lebah madu. “Karena banyak keliling ke peternak lebah madu. Dari situ tergugah untuk usaha lebah,” paparnya.

baca : Hebatnya Lebah Madu, Bisa Pecahkan Soal Matematika

 

Seekor lebah dari peternakan lebah madu di Bandung Bee Sanctuary (BBS) di Dago Atas, Kota Bandung, Jawa Barat. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Ide itu juga dilatarbelakangi keluhan para petani. Mereka mengeluh soal musim yang semakin sering bergeser. Pola dan intensitas hujan juga berubah, yang kerap memicu ledakan hama pertanian. Hal ini menuntut perubahan adaptasi petani, terutama dalam menentukan saat awal tanam dan komoditas pertanian yang sesuai.

Mereka memahami bahwa penyebabnya adalah anomali cuaca dan perubahan iklim. Apalagi kondisi itu kian memburuk seiring masifnya penebangan pohon serta pemakaian pestisida secara sporadis. Keprihatinan akhirnya memunculkan pemikiran yang akan bermanfaat bagi sekitarnya.

baca juga : Perubahan Iklim, Lebah Madu Hengkang dari Sentarum

“Berbudidaya lebah merupakan salah satu upaya konservasi dan memperbaiki habitat,” ucap Marlis. Ternak lebah patut dicoba, katanya. Selain demi meningkatkan kesejahteraan, keberadaan lebah juga jadi indikator mutu lingkungan. Serangga seperti lebah, merupakan salah satu komponen tak terpisahkan dalam ekosistem.

Berangkat dari pengetahuan itu, mereka meresmikan Bandung Bee Sanctuary (BBS) di Dago Atas, Kota Bandung, Jawa Barat, Jumat (7/1/2019) lalu. Diinisiasi bersama Universitas Padjadjaran (Unpad), rencananya akan dibangun pusat pembudidayaan lebah berbasis teknologi.

Di pusat lebah seluas 7 hektare itu, Marlis berhitung. Satu kotak kayu berukuran 60×40 cm, tinggi 30 cm terdapat 8 sisir sarang lebah dengan kisaran harga Rp300–Rp600 ribu. Setiap satu sisirnya bisa dihuni 600 -1.000 ekor lebah. Mereka mendiami lubang di sisi kiri dan kanan sisir untuk membuat sarang dan bertelur.

Kotak lebah didesain khusus. Ukurannya dibuat proposional. Tak terlalu kecil juga tak terlalu besar. Hal itu perlu diperhatikan karena ada keterkaitan antara kapasitas populasi dan produksi agar memudahkan pengembangan koloni dan pemanenan madu.

Satu koloni lebah jenis Trigona yang dibeli seharga Rp400 ribu, diproyeksi dapat menghasilkan madu sampai 1 kg/bulan. Supaya optimal, kotak lebah dimodernisasi melalui sensor pemantau seharga Rp4 juta untuk memonitoring perkembangan koloni yang terdiri dari lebah ratu, pejantan dan pekerja tersebut.

“Jika punya 10 kotak madu, taksiran profitnya bisa Rp3 juta dalam sebulan. Pendekatan teknologi membuat kerja lebih efisien. Pembaharuan dalam pertanian harapannya bisa memancing minat petani muda,” jelas Marlis.

menarik dibaca : Ini Lebah Traveler dari Sukaresmi, Penghasil Madu Laduni

 

Lebah madu dalam sarang di peternakan lebah madu di Bandung Bee Sanctuary (BBS) di Dago Atas, Kota Bandung, Jabar. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia.

 

Potensi lebah menarik minat Acep Jaenudin (22), Mahasiswa Perikanan Unpad. Mengaku berkenalan lebah selama tujuh bulan terakhir, Acep kepincut ingin membuat wisata edukasi lebah di BBS.

BBS juga menyediakan platfrom yang dikembangkan untuk pemuda yang tertarik menerapkan Green and Sustainable Business Model atau model usaha berkelanjutan. Platform tersebut dinamai Eco-Oriented Social Enterprise yang berorientasi pada People, Planet, Profit.

Kebutuhan masyarakat akan produk bergizi seperti madu, menjadi potensi bisnis yang tidak hanya menguntungkan, namun juga bisa berperan menyelesaikan masalah lingkungan. Ina Sawitri (27) Formulator Madu Sehat Bergizi (Masagi), berhasil memformulasikan 18 produk berbahan dasar madu. Setidaknya, 3 diantaranya diminati konsumen.

Ina mengatakan, dalam sebulan, dia bersama 5 rekannya mampu mengolah 20 – 30 kilogram madu. Omset penjualannya mencapai belasan juta dan model bisnis mampu memberdayakan peternak lebah madu.

baca juga : Unyai, Lebah Madu Hutan Unggulan Berau Barat

 

Berbagai produk turunan madu dari Bandung Bee Sanctuary (BBS). Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Tentang Lebah

Lebah bukan satu-satunya hewan yang membantu penyerbukan. Ada juga kupu-kupu, kelelawar, hingga burung. Namun, lebah berperan paling vital. Data FAO, lebih dari 75 persen tanaman pertanian di seluruh dunia penyerbukannya tergantung pada lebah, seperti dikutip dari Kompas.id.

Lebah diketahui mempengaruhi evolusi tanaman berbunga. Serangga ini merupakan kunci regenerasi beragam jenis tanaman dengan menyebarkan serbuk sari, dan kerapkali membantu terjadinya perkawinan secara alami. Jadi, lebah tidak hanya membantu bunga bermekaran, namun juga elemen penting bagi keberagaman tanaman.

Ada lebih dari 16.000 spesies lebah yang dikelompokkan ke dalam tujuh keluarga di bumi. Namun, keberagaman dan populasi lebah kini menyusut dengan cepat. Kekhawatiran tentang kepunahan lebah pun menggema.

Salah satu fenomena terbaru adalah terjadinya colony collapse disorder (CCD) yang menghancurkan koloni lebah ternak. Wabah CCD dikenali dari gejalanya, yaitu sarang-sarang yang ditinggalkan lebah pekerja dan menyisakan sang ratu serta bayi lebah yang kelaparan dan akhirnya mati.

Sejumlah peneliti menduga, CCD dipicu hilangnya kemampuan navigasi lebah akibat perubahan iklim dan cemaran pestisida sehingga serangga ini tidak mampu menemukan jalan pulang ke sarang. Padahal, lebah serangga genius yang memiliki navigasi canggih. Kehilangan kemampuan navigasi bisa jadi akhir bagi lebah.

Sulit membayangkan jika lebah benar-benar menghilang di dunia. Bunga-bunga tak akan lagi bermekaran. Tanaman tak lagi berbuah, berujung pada ekosistem yang terganggu.

Atau, kehidupan bakal seperti kata Albert Einstein, “Kalau lebah menghilang dari permukaan bumi, manusia hanya punya sisa waktu hidup empat tahun. Tak ada lagi lebah, tak ada lagi penyerbukan, tak ada lagi tumbuhan, tak ada lagi hewan, tak ada lagi manusia.”

Barangkali, ungkapan Fisikawan itu terlalu menyederhanakan, tetapi sebenarnya sangat masuk akal. Tanpa lebah, tak akan ada penyerbukan. Artinya, tiada penyerbukan berarti tiada makanan.

perlu dibaca : Mangrove Lestari, Madu Lalan-Sembilang Terjaga Sepanjang Tahun

 

Lebah madu dalam sarang di peternakan lebah madu di Bandung Bee Sanctuary (BBS) di Dago Atas, Kota Bandung, Jawa Barat. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Peneliti Fakultas Teknologi Industri Pertanian (FTIP) Unpad, Dwi Purnomo, berpandangan, dari lebah kita bisa membaca, perubahan iklim benar-benar telah hadir. Tak hanya lebah yang terancam, perubahan iklim dampaknya makin jelas menjadi ancaman paling serius terhadap pertanian.

Agaknya, kondisi kurang menguntungkan juga sedang terjadi. Saat ini di Indonesia boleh dikatakan krisis petani muda dan tenaga kerja tani muda. Lihat saja data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2013 yang menyebutkan bahwa 62% petani di Indonesia berusia lebih dari 45 tahun. Adapun jumlah petani muda, yakni berusia kurang dari 35 tahun hanya 12%.

“Paradigma anak muda bertani lebah itu menarik. Selain berkontribusi menjadikan lingkungan bagus tapi ekonominya juga berkelanjutan,” papar Dwi.

 

Perubahan

Sementara itu, Debi Bustomi (47), Ketua Kelompok D-bee’s Apiari, Desa Sindangkerta, Kabupaten Bandung Barat, resah. Dia menyebut permintaan akan madu acapkali tinggi di tengah paceklik bunga.

Berbagai jalan pintas ditempuh untuk dapat menggejot produksi. Salah satunya dengan memberi ‘pakan’ berupa cairan gula yang disebar di sekitar koloni lebah.

Cara itu bisa memangkas waktu panen jadi lebih cepat. Tapi, aroma, rasa dan warna madu yang dihasilkan berbeda dengan madu yang dipanen secara alami. “Itu merusak keunikan madu,” ujarnya. Debi yang memiliki 100 kotak lebah mampu menghasilkan 100 – 500 kilogram sebulan.

Pengalaman 10 tahun menjadi petani lebah, Debi mafhum. Menurutnya, keunikan madu terletak di aroma, warna dan rasa yang berbeda. Ketiga unsur itu tergantung pada protein dan nektar yang dibawa lebah ke sarang.

Masalahnya, kini sulit menemukan lingkungan ideal. Lahan pertanian atau perkebunan bukanlah tempat yang nyaman untuk lebah Apis cerena miliknya, karena sebagian besar sudah dibuat sistem monokultur dan umumnya hanya memperbolehkan satu jenis tanaman. Tanaman lain disingkirkan karena tidak berguna secara ekonomis.

Jika seperti itu, lebah akan kekurangan nustrisi dan cepat mati. Lebah yang selamat akan bermigrasi mencari tempat yang tanamannya lebih beragam meninggalkan lebah ratu dan anak – anaknya kelaparan.

Ia berharap, ada pemahaman yang sama. Jika membudidayakan madu harus dengan upaya memulihkan lingkungan. “Peluang madu tetap menjanjikan,” pungkas Debi.

 

 

Exit mobile version