Mongabay.co.id

Ini Upaya Pemerintah Bebaskan Nelayan dari Jeratan Hukum Negara Tetangga

 

Janji Pemerintah Indonesia untuk memberikan perlindungan kepada para pekerja perikanan yang terlibat masalah hukum di luar perairan Indonesia, dibuktikan pada Minggu (19/1/2020). Hari itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berhasil membebaskan 15 nelayan yang ditangkap oleh aparat hukum Malaysia.

Seluruh nelayan yang dibebaskan itu, adalah awak kapal perikanan (AKP) yang bekerja pada KM Abadi Indah dan dipimpin nakhoda kapal Gonardi. Kapal tersebut ditangkap pada Minggu (5/1/2020) oleh Agensi Penguatkuasaan Maritim Malaysia (APMM), karena diduga melakukan penangkapan sotong (Sepiida) secara ilegal di wilayah perairan Malaysia.

Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) KKP Nilanto Perbowo mengatakan bahwa pembebasan ke-15 nelayan tersebut dilakukan melalui jalur diplomasi yang persuasif dan tidak melalui proses hukum di Malaysia.

“Ini merupakan bukti kerja nyata Pemerintah dalam perlindungan nelayan, yang saat ini menjadi salah satu prioritas KKP,” ucapnya di Jakarta, Minggu.

baca : Indonesia Butuh Peta Jalan Perlindungan ABK di Luar Negeri

 

Proses pembebasan 15 nelayan Indonesia yang ditangkap oleh aparat maritim Malaysia. Foto : Ditjen PSDKP KKP/Mongabay Indonesia

 

Bagi KKP, lanjut Nilanto, keberhasilan memulangkan 15 nelayan Indonesia dari Malaysia sangat bernilai karena berhasil menyatukan mereka dengan keluarga kembali yang sempat terpisahkan selama hampir dua pekan lebih.

Pemerintah Indonesia harus melakukan komunikasi dan koordinasi yang intens dengan Malaysia untuk pemulangan mereka. Cara itu dilakukan, karena Pemerintah ingin melindungi mereka dari kemungkinan jeratan hukum Malaysia.

Komunikasi yang intesif itu dilakukan oleh Direktorat Jenderal PSDKP KKP, berbekal perjanjian Memorandum of Understanding on Common Guidelines antara Indonesia dengan Malaysia. Dengan landasan kuat tersebut, pihak APMM Malaysia bersedia melepaskan 15 nelayan yang masuk perairan Malaysia.

Diketahui, MoU yang menjadi landasan komunikasi tersebut adalah kesepakatan aparat penegak hukum di bidang maritim antara Indonesia dengan Malaysia. Perjanjian tersebut menyepakati langkah-langkah penanganan terhadap nelayan kedua negara yang melakukan kegiatan penangkapan ikan di wilayah yang berstatus unresolved maritime boundaries atau wilayah laut yang belum ditentukan batas maritim.

“MoU tersebut merupakan kerangka hukum yang membuat upaya persuasif dapat dilakukan oleh Ditjen PSDKP dengan mengedepankan prinsip saling menghormati kedua Negara,” ungkap Nilanto.

Untuk saat ini, 15 nelayan yang berprofesi sebagai AKP itu sudah kembali beraktivitas melakukan penangkapan ikan seperti biasa, setelah sebelumnya diserahterimakan kepada Pangkalan PSDKP Batam di Kepulauan Riau. Seluruh nelayan tersebut dijemput oleh Kapal Pengawas Hiu Macan Tutul 02 dan langsung dibawa ke Batam.

“(Penjemputan) ini menjadi hal yang penting bagi kami sebagai bentuk langkah nyata kehadiran KKP untuk selalu melindungi nelayan dan masyarakat kelautan perikanan,” tuturnya.

baca juga : Benarkah Perlindungan Pemerintah pada ABK Indonesia Masih Tidak Maksimal?

 

Proses pembebasan 15 nelayan Indonesia yang ditangkap oleh aparat maritim Malaysia. Foto : Ditjen PSDKP KKP/Mongabay Indonesia

 

Perlindungan dan Pengawasan

Di sisi lain, Nilanto menjelaskan bahwa keberadaan kapal-kapal pengawas yang disebar ke berbagai wilayah perairan Indonesia, menjadi penanda bahwa perlindungan kepada nelayan sedang dilakukan secara rutin. Kapal-kapal pengawas juga memiliki tugas lain, yakni untuk membina dan meningkatkan kesadaran nelayan Indonesia tentang tata krama dan tata tertib saat melaut.

Jika memang setelah dilakukan pembinaan dan penyadartahuan, ternyata masih ada nelayan dan kapal ikan yang melanggar, maka Pemerintah dengan tegas akan memberikan sanksi berupa peringatan. Hal itu, kata dia, sebagai bentuk tanggung jawab Indonesia sebagai negara berbendera (flag state responsibility).

Adapun, sepanjang 2019 lalu Ditjen PSDKP KKP sudah berhasil memulangkan sebanyak 127 nelayan Indonesia yang tertanggkap di berbagai perairan negara lain. Selain Malaysia, nelayan tertangkap di wilayah perairan seperti Myanmar, Timor Leste, Thailand, Australia, dan India.

Upaya perlindungan yang dilakukan Pemerintah kepada para pekerja perikanan, menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum yang akan terus meningkatkan kesadaran warganya yang berprofesi di sektor perikanan. Dengan demikian, diharapkan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan juga bisa terus meningkat dari waktu ke waktu.

“Tidak melakukan pelanggaran seperti penangkapan ikan di perairan negara lain,” tegasnya.

Menurut Nilanto, Pemerintah Indonesia akan terus mendorong program-program yang bisa meningkatkan kesadaran nelayan di seluruh Nusantara terhadap aturan hukum yang berlaku di dalam dan luar negeri. Tujuan dari penyadartahuan, di antaranya adalah untuk meningkatkan kesejahetraan profesi nelayan.

Sementara Gonardi, nakhoda KM Abadi Indah tak bisa menutupi kebahagiaannya karena bisa bebas dari jeratan hukum yang berlaku di Malaysia. Dia merasa terharu karena Negara sudah memberikan perhatian besar kepadanya dan awak kapalnya.

Selama berada di Malaysia, dia menyebut kalau Pemerintah Indonesia terus memberikan pendampingan dan perlindungan untuk menciptakan rasa aman dan nyaman. Perhatian yang sangat besar itu, memberikan ketenangan dan kenyamanan kepada para awak kapal dan dirinya sendiri yang harus berhadapan dengan aparat APMM.

“Saya mewakili semua awak kapal dan keluarga, mengucapkan terima kasih kepada Ditjen PSDKP-KKP yang sudah membantu proses pembebasan kami sehingga kami bisa kembali ke Indonesia dan tidak diproses hukum di Malaysia,” tutur Gonardi.

perlu dibaca : Kenapa Praktik Perdagangan Manusia dan Perbudakan Belum Hilang dari Kapal Perikanan?

 

Proses serah terima 15 nelayan Indonesia yang ditangkap oleh aparat maritim Malaysia. Foto : Ditjen PSDKP KKP/Mongabay Indonesia

 

Dokumen

Saat Pemerintah Indonesia berupaya membebaskan para nelayan di Malaysia, Forum Awak Kapal Perikanan Bersatu (FORKAB) Kota Bitung, Sulawesi Utara juga sedang berjuang untuk mendapatkan kembali dokumen para pekerja perikanan dari Bitung yang sebelumnya bekerja di kapal perikanan yang ada di Tiongkok.

Menggandeng Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, FORKAB akhirnya berhasil memfasilitasi pengembalian dokumen tiga orang pekerja perikanan yang ditahan oleh PT Cahaya Kemilau Indah (CKI) yang menjadi perusahaan perekrut untuk kapal di Tiongkok. Dokumen yang ditahan, mencakup paspor, kartu tanda penduduk (KTP), kartu keluarga (KK), akta kelahiran, dan buku pelaut.

Adapun, menurut Koordinator Nasional DFW Indonesia Moh Abdi Suhufan, proses pengajuan pengembalian dokumen mulai dilakukan setelah kasus tersebut dilaporkan ke Kepolisian Daerah Sulawesi Utara. Setelah itu, Polda Sulut memfasilitasi pengembalian dokumen pada Rabu (15/1/2020) lalu di Markas Polda Sulut.

Ketiga orang pekerja perikanan yang ditahan dokumennya itu, adalah Adrianus Kawengian Tonda, Jufrianus Bogar, dan Habibi Awumbas. Ketiganya sebelumnya terlebih dahulu melaporkan penahanan dokumen yang dilakukan PT CKI kepada FORKAB.

“Atas aduan tersebut kami melakukan pendataan dengan melakukan screening awal tentang kejadian dan peristiwa yang dialami oleh korban,” kata Suhufan.

Setelah melakukan screening, terungkap bahwa selain penahanan dokumen, pihak perusahaan juga tidak membayarkan gaji ketiga orang tersebut selama tujuh bulan bekeja di kapal asing berbendera Tiongkok. Peristiwa ini diketahui terjadi antara November 2018 hingga Mei 2019.

“Dari screening awal terdapat indikasi praktik perdagangan orang sehingga aduan ini diteruskan oleh FORKAB Bitung ke Polda Sulut,” jelas dia.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menegaskan, Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk memberikan perlindungan kepada awak kapal perikanan yang bekerja di atas kapal perikanan. Untuk itu, Negara akan terus memperbarui standar keamanan awak kapal perikanan untuk lebih baik lagi.

Salah satu upaya untuk meningkatkan standar keamanan itu, adalah dengan mengesahkan dan memberlakukan Peraturan Presiden No.18/2019 tentang Pengesahan International Convention on Standards of Training Certification and Watchkeeping for Fishing Vessel Personnel, 1995 (Konvensi Internasional tentang Standar Pelatihan, Sertifikasi, dan Dinas Jaga Bagi Awak Kapal Penangkap Ikan, 1995).

Luhut menjelaskan, lahirnya Perpres tersebut menegaskan bahwa Pemerintah Indonesia terus berkomitmen untuk menjaga keselamatan awak kapal perikanan yang bekerja di atas kapal perikanan. Perlindungan itu dimulai dari proses persiapan awak kapal untuk memiliki kemampuan bekerja sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh industri sektor kelautan dan perikanan.

 

Exit mobile version