Mongabay.co.id

Maggot, Serangga Pengurai Sampah untuk Pakan Ikan

 

Seruan untuk mencari bahan baku alternatif untuk pembuatan pakan ikan, terus dilakukan Pemerintah Indonesia. Kampanye itu tak henti dilakukan, karena pakan ikan yang beredar di pasaran saat ini, bahan bakunya masih didominasi oleh bahan yang diproduksi di luar negeri alias harus didatangkan dengan cara impor.

Bahan baku alternatif yang direkomendasikan untuk dikembangkan oleh para pelaku usaha budi daya perikanan, di antaranya adalah Maggot atau larva (belatung) yang dihasilkan dari serangga bernama black soldier fly (BSF). Penggunaan bahan baku tersebut diserukan langsung oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo saat berada di Jakarta, pekan lalu.

Edhy yang berbicara di hadapan perwakilan Lembaga Pangan dan Pertanian Peserikatan Bangsa-Bangsa (FAO), menyebut kalau Maggot adalah salah satu serangga pemakan bahan organik seperti sayuran, limbah rumah tangga, dan limbah restoran. Dengan kemampuan tersebut, maka Maggot adalah serangga yang bisa mengurai sampah organik dengan baik.

“Protein yang ada pada serangga BSW ini berkualitas tinggi dan menjadi sumber protein yang baik bagi ikan. Untuk itu saya mendorong inovasi penggunaan pakan alternatif untuk budi daya ian menggunakan Maggot,” ucap dia.

baca : Ini Cara KKP Manfaatkan Limbah Sawit untuk Pakan Ikan

 

Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo saat menerima perwakilan FAO di Indonesia, Stephen Rudgard, di Kantor KKP, Jakarta, Senin (13/1/2020). Foto : Humas KKP/Mongabay Indonesia

 

Edhy menjelaskan, kemampuan unik yang dimiliki Maggot dalam mengurai sampah organik bisa berlangsung selama 14 hingga 20 hari. Kemampuan yang dimiliki serangga tersebut juga menjadi potensi untuk mendukung pengembangan ekonomi berbasis laut atau dikenal dengan sebutan ekonomi biru yang sudah populer di dunia dalam beberapa tahun terakhir ini.

Adapun, inovasi penggunaan pakan alternatif dengan memanfaatkan limbah rumah tangga dan restoran untuk memproduksi Maggot sendiri, saat ini sudah dikembangkan oleh sekelompok warga lokal di Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat. Inovasi seperti itu, akan terus didukung secara penuh oleh Pemerintah Indonesia.

Untuk informasi, pengembangan pakan mandiri yang dibuat dari bahan baku alternatif, sudah menjadi fokus dari KKP dalam beberapa tahun ini. Dorongan pengembangan itu terus dilakukan, karena pakan ikan masih didominasi oleh pakan impor dengan harga yang mahal. Sementara, biaya produksi budi daya perikanan itu hampir 70 persen digunakan untuk penggunaan pakan ikan.

baca juga : Susahnya Melepaskan Diri dari Bahan Baku Pakan Ikan Impor

 

Ilustrasi. Maggot atau larva lalat tentara hitam (Hermetia illucens) yang dipanen dan dijual sebagai penambah penghasilan warga Desa Tembokrejo, Kecamatan Muncar, Banyuwangi, Jatim. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Limbah Organik

Agar pengembangan pakan dari bahan altenatif bisa terus meningkat, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mendorongnya melalui Gerakan Pakan Ikan Mandiri (GERPARI). Salah satu inovasi yang dihasilkan dari GERPARI, adalah riset penyediaan bahan baku pakan ikan alternatif dari Maggot yang dihasilkan melalui proses biokonversi limbah organik.

Inovasi tersebut, merupakan hasil riset dari peneliti Balai Riset Budi daya Ikan Hias (BRBIH) KKP Melta Rini Fahmi yang sudah dimulai sejak 2005 atau 14 tahun lalu. Dari penelitian tersebut, diketahui kalau Maggot yang dihasilkan akan merombak, mengekstraksi, dan mengonversi nutrien yang masih tersimpan di dalam limbah organik.

Dengan demikian, berikutnya akan didapatkan nutrien dalam bentuk yang baru, yakni berupa pupuk organik dan Maggot sendiri yang dimanfaatkan untuk pakan ikan dan bahan baku ikan secara sekaligus. Pada tahapan uji coba di BRBIH, ikan Koi yang diberi pakan Maggot memperlihatkan hasil yang menakjubkan karena bisa memijah hingga empat kali dalam periode yang sama dibandingkan dengan ikan yang diberi pakan pelet.

Di sisi lain, biokonversi menggunakan Maggot diketahui bisa mendapatkan keuntungan karena bisa dilaksanakan dengan memakai nilai investasi yang rendah. Dengan kata lain, untuk memproduksi Maggot, tidak perlu air, listrik, bahan kimia, serta bisa menggunakan infrastruktur yang sederhana.

Salah satu daerah yang sudah berhasil mengembangkan Maggot sebagai bahan baku untuk pembuatan pakan mandiri, adalah Kabupaten Garut. Di sana, Kelompok Leles Lestari berhasil mengolah sampah organik dari limbah kulit nangka, kulit pisang, dan yang lainnya. Limbah-limbah tersebut dikumpulkan dari masyarakat hingga mencapai tujuh ton.

Setelah itu, limbah yang sudah terkumpul tersebut bisa menghasilkan Maggot hingga mencapai 3,5 ton dan menjadi bahan baku pakan ikan dengan protein yang tinggi. Keberhasilan tersebut diapresiasi langsung oleh Edhy saat berkunjung ke Garut beberapa waktu lalu. Dengan pakan altenatif, maka pembudi daya sudah berhasil mengurangi ketergantung pada pakan impor yang harganya mahal.

“Ini capaian luar biasa yang memegang prinsip zero waste (tanpa limbah) dan ini saya kira wajib menjadi rekomendasi bagi pembudi daya ikan lainnya. Bisa dibayangkan jika semua mampu menghasilkan inovasi serupa, maka bukan hanya nilai ekonomi yang didapatkan, tapi secara langsung kita berperan dalam penyelamatan bumi dari masalah sampah,” jelas dia.

perlu dibaca : Lalat Tentara Hitam sebagai Satu Solusi Penanganan Sampah, Seperti Apa?

 

Ilustrasi. Larva atau maggot lalat tentara hitam dari hasil budi daya di Dusun Larangan, Cilongok, Banyumas, Jateng. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Konversi Sampah

Pimpinan Kelompok Leles Lestari Yosep Purnama mengatakan bahwa kelompoknya sudah berhasil melaksanakan biokonversi limbah organik menjadi sumber daya material industri hulu untuk budi daya perikanan. Selain itu, kelompoknya juga bergerak untuk pemberdayaan dan kemandirian masyarakat melalui pelestarian lingkungan hidup.

“Tujuan saya mendirikan kelompok ini yakni untuk mengurangi volume sampah serta membangun pola penanganan sampah yang lebih aman bernilai edukasi dan ekonomi,” tutur dia.

Selain membuat pakan ikan mandiri dari Maggot, kelompok Leles Lestari juga berhasil mengembangkan usaha budi daya perikanan dengan komoditas ikan mas, nila, gurame, koi, dan komoditas lain di luar perikanan.

Perwakilan FAO untuk Indonesia dan Timor Leste Stephen Rudgard mengatakan, pengembangan ilmu pengetahuan dan akses teknologi menjadi fokus yang selama ini dilaksanakan oleh FAO saat menjalankan program kerja di Indonesia. Kedua item tersebut mendukung rencana Pemerintah Indonesia untuk mengembangkan program perikanan secara nasional.

“Termasuk juga dalam praktik untuk meningkatkan kapasitas sumber daya manusia,” ucap dia.

Lebih detil, Stephen mengungkap empat ruang lingkup kegiatan kerja sama yang dilakukan FAO bersama dengan Indonesia. Pertama, adalah pengembangan pengelolaan perairan umum daratan yang difokuskan pada pengembangan budi daya spesies ikan belida, arwana, dan sidat.

Kedua, dilakukan pengelolaan perikanan tangkap berdasarkan prinsip Ecosystem Approach Fisheries Management (EAFM). Ketiga, meningkatkan penanganan dan pengendalian penyakit ikan dengan mengembangkan antimicrobial resistance. Keempat, meningkatkan prinsip ketertelusuran (traceability) produk perikanan dan sertifikasi produk perikanan untuk meningkatkan daya saing produk ekspor perikanan.

“Itu menjadi bagian dari rantai produk perikanan,” jelas dia.

 

Ilustrasi. Kandang budidaya lalat tentara hitam di Dusun Larangan, Cilongok, Banyumas, Jateng. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

National Project Office Program The Indonesian Sea Large Marine Ecosystem (ISLME) FAO Moh Lukman memberikan apresiasinya untuk Indonesia yang sudah mengembangkan pakan ikan yang dibuat dari bahan baku alternatif seperti Maggot. Pengembangan tersebut mendukung kegiatan ekonomi biru yang sedang dikampanyekan oleh dunia dalam beberapa tahun ini.

Apa yang dilakukan Pemerintah Indonesia tersebut, bagi FAO terasa bernilai tinggi, karena itu akan membantu nelayan ataupun pembudi daya ikan untuk bisa mengembangkan kapasitas dirinya masing-masing. Itu juga akan membawa mereka untuk mencapai tingkat kesejahteraan yang diharapkan sejak lama.

“FAO akan mencoba mendorong inisiasi-inisiasi seperti ini dan mendukung program-program KKP,” tutur dia.

 

Exit mobile version