Mongabay.co.id

Habitat Tergerus, Macan Tutul di Muria Makin Terancam

Lebih dua pekan lalu, Dukuh Beji, Desa Plukaran, Kecamatan Gembong, Pati, Jawa Tengah, petani temukan satu macam tutul mati tak jauh kandang sapi warga. Foto: BKSDA

 

 

 

 

Habitat menyusut beralih ke berbagai keperluan, memicu konflik macan tutul dan manusia makin parah di Pulau Jawa. Satu contoh, di Gunung Muria, tepatnya, Dukuh Beji, Desa Plukaran, Kecamatan Gembong, Pati, Jawa Tengah, lebih dua pekan lalu, petani temukan satu macam tutul mati tak jauh dari kandang sapi warga.

Ceritanya, sebuah unggahan di media sosial memperlihatkan macan tutul Jawa (Panthera pardus melas) berbaring tak bergerak di semak-semak. Konten postingan Minggu, 12 Januari itu masuk ke handphone Shokib, Ketua Paguyuban Masyarakat Pelindung Hutan (PMPH) Gunung Muria. Lalat terlihat mengerubungi kepala macan tutul dalam video berdurasi 15 detik itu.

Keesokan harinya, Senin, bersama anggota PMPH mencari lokasi dan menemukan di kebun Sekar Gading, di Desa Plukaran di kaki Gunung Muria. Warga sebagian besar adalah petani, antara lain, menggarap lahan Perhutani.

Dari penggalian informasi PMPH diketahui pada Minggu itu sekitar pukul 9.00 pagi, warga bernama Siti mencium bau busuk. Tak berapa lama sumber bau itupun diketahui berasal dari bangkai macan tutul. Sekitar 50 meter dari bangkai itu ada kandang sapi.

Bangkai macan tutul itupun dikubur. Diperoleh keterangan, Darto, warga yang turut menyaksikan penguburan mengatakan, dari mulut si macan tutul keluar belatung, anus tampak berdarah. Melihat bekas darah keluar dari bagian belakang, warga mengira macan tutul betina dan baru melahirkan. Ada warga yang mendokumentasikan penguburan macan ini baik lewat foto maupun video.

Temuan itu dilaporkan ke petugas Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA) Resort Konservasi Wilayah (RKW) Pati. BKSDA kemudian menggali kuburan macan ini.

“BKSDA Jawa Tengah baru mendapat informasi kematian satwa pada Senin 13 Januari 2020 pukul 4.30 sore dan langsung evakuasi,” tulis Darmanto, Kepala BKSDA Jateng dalam rilis kepada media.

Petugas memperkirakan, umur macan tutul itu satu setengah tahun, berjenis kelamin jantan. Ini berbeda dengan asumsi warga sebelumnya. Shokib dan petugas RKW Pati membawa bangkai macan tutul itu ke Semarang dan tiba di Kantor BKSDA Jawa Tengah Senin, menjelang tengah malam. Selanjutnya, bangkai dibawa ke Semarang Zoo, lalu ditangani dokter hewan, Hendrik.

Dari pemeriksaan dengan rontgen dan uji laboratorium lambung dan usus di klinik hewan Griya Satwa Lestari, menyatakan, tak ada proyektil atau benda asing maupun luka baru di tubuh macan tutul itu. Selain itu, struktur tulang tak mengalami perubahan.

“Untuk mengetahui penyebab kematian lain akan uji laboratorium lambung dan usus di Departemen Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlanga,” kata Darmanto.

 

Macam tutul yang mati kala diperiksa. Foto: BKSDA

 

 

Konflik dan habitat terancam

Kematian macan tutul di sekitar Gunung Muria, bukan kali pertama. Lima tahun lalu, satu macan tutul bahkan masuk ke rumah warga di Sidokerto, Pati.

Gunung yang tak aktif ini sebagai habitat macan tutul di Jawa. Di sekitar Kaki Muria juga hunian manusia. Sebelah utara berbatasan dengan Jepara, Pati di sebelah timur, Kudus di sebelah selatan.

Pengamatan Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) akhir tahun lalu menyebut, setidaknya masih ada 13 macan tutul di Gunung Muria.

Dari pemasangan kamera pengintai pada Agustus hingga November 2018 teridentifikasi ada 13. Luasan pengamatan di 53,32 kilometer persegi.

Budi Santoso, Pejabat Pengendali Ekosistem Hutan BKSDA Jateng kepada Mongabay mengatakan, belum memiliki perkiraan populasi macan tutul di Gunung Muria. Kalau memakai survei The Nature Conservacy pada 2019 diperkirakan ada 12-19 macan tutul.

“BKSDA Jateng belum mempunyai perkiraan angka populasi macan tutul valid di Muria,”katanya, Selasa lalu.

Soal satwa masuk wilayah warga, katanya, bisa sebab beragam, seperti pakan. “Bisa karena pakan, salah satunya, tapi tidak ada laporan masyarakat sebelumnya tentang kehadiran macan tutul di desa itu,” katanya.

Budi bilang, wilayah ini dekat hutan lindung kelolaan Perhutani hingga untuk mengantisipasi kejadian serupa BKSDA akan berkoordinasi dengan pengampu wilayah.

“Selanjutnya, masih menunggu hasil nekropsi macan tutul untuk mengetahui detil penyebab kematian untuk menentukan langkah,” katanya. Dia tidak mau berspekulasi soal penyebab kematian karena akan ditangani dokter yang berpengalaman.

Selain macan tutul, hutan Lindung Gunung Muria dengan luas 6.769 hektar ini juga habitat antara lain, landak, lutung, merak, elang Jawa, elang bido, ular sanca, dan kijang.

Dari data, macan tutul Jawa diketahui memiliki dua corak warna, yaitu, hitam legam dan tutul hitam. Kalau mengamati lebih dekat, yang hitam legam bercorak tutul juga. Jenis ini oleh masyarakat lokal disebut macan kumbang.

Perilaku macan tutul cenderung menghindari manusia, dan sangat jarang ada laporan macan tutul menyerang manusia. Mereka diketahui beberapa kali melukai hewan ternak di kandang terbuka dan dekat dengan kawasan mereka mencari makan. Kontak manusia dengan macan tutul beberapa kali terjadi, dan tak jarang macan tutul yang masuk perangkap buatan manusia.

Kasus terakhir, macan tutul masuk perangkap di hutan Gunung Lawu, Karanganyar. Sayangnya, macan tutul betina berusia 2,5 tahun itu harus di kandang peraga, Taman Satwa Taru Jurug, Solo.

Kematian macan tutul di Pati itu tentu saja menambah daftar panjang kabar sedih keberadaan spesies unik ini di tengah habitat macan tutul di pulau Jawa yang makin menyempit.

 

Macan tutul mati kala pengecekan oleh BKSDA. Foto: BKSDA

 

Tunggu autopsi  

Hendra Gunawan, peneliti konservasi keragamanhayati berharap, dari hasil autopsi nanti bisa diketahui penyebab kematian macan tutul ini.

“Dari hasil autopsi itulah diharapkan dapat melacak penyebab kematian, dan bisa dilakukan langkah antisipasi ke depan agar tidak terulang,” katanya ketika dihubungi Mongabay.

Dia berharap, bisa memperoleh akses mendapatkan hasil autopsi agar bisa menjadi bahan kajian selanjutnya.

“Saya dan teman-teman pengurus Formata belum bisa berkomentar karena belum tahu hasil autopsinya. Saya akan meminta akses untuk mendapat hasil autopsi guna kepentingan penelitian. Mungkin perlu beberapa hari pemeriksaan laboratorium.” Hendra sebelumnya adalah ketua Formata.

Hendra pernah menerangkan macan tutul keluar dari hutan bisa karena sebab tunggal atau akumulasi. Faktor penyebab itu biasa terkait habitat atau terkait dengan populasi.

“Dalam hal ukuran populasi tak bertambah, namun terjadi degradasi kualitas habitat, hilangnya ruang habitat atau terfragmentasinya habitat, maka macan tutul bisa saja keluar dari habitat sebagai respon terhadap daya dukung habitat menurun.”

Penyebab degradasi kualitas habitat, katanya, bisa kerusakan hutan akibat penebangan liar, kebakaran, kemarau panjang dan penggarapan hutan yang mengurangi luas dan kualitas habitat satwa mangsa.

Luasan habitat menyusut, katanya, kemungkinan karena konversi hutan menjadi penggunaan lain melalui proses perubahan peruntukan kawasan hutan, berupa tukar-menukar kawasan hutan maupun pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan nonkehutanan.

Selain itu, perambahan hutan masif yang menghilangkan pohon hutan dan mengganti dengan tanaman semusim juga menyebabkan habitat macan tutul rusak.

“Ini antara lain terjadi di hutan-hutan produksi yang digarap untuk budidaya pertanian. Dampaknya, sudah sering diberitakan, seperti baru-baru ini kasus macan tutul mati, keluar hutan, maupun berkonflik dengan manusia. Umumnya, terjadi di sekitar hutan-hutan produksi yang telah digarap,” katanya.

 

Potensial terus terancam

Mirisnya, kata Hendra, 50% populasi macan tutul di Pulau Jawa berada di hutan produksi, hingga berpotensi terus berhadapan dengan persaingan penggunaan ruang dengan manusia.

“Fragmentasi habitat umumnya oleh pembangunan infrastruktur berbentuk jalur memanjang yang memotong kawasan hutan seperti jaringan jalan, terutama jalan raya dan jalan tol, jaringan irigasi, dan jaringan listrik saluran udara tegangan extra tinggi.” Selain itu, katanya, fragmentasi juga oleh genangan waduk yang lebar dan memanjang.

Saat ini, katanya, penyebab itu sudah terjadi di Pulau Jawa dan ada kecenderungan meningkat seiring pertumbuhan penduduk maupun pembangunan wilayah yang memerlukan ruang.

Bisa juga, katanya, macan tutul keluar hutan karena populasi meningkat baik karena, keberhasilan menekan perburuan satwa mangsa maupun peningkatan kesadaran masyarakat berpartisipasi dalam konservasi satwa liar.

Peningkatan populasi yang tak diikuti luasan dan kualitas habitat, katanya, bisa mendorong macan tutul keluar atau memperluas daerah jelajahan dalam mendapatkan mangsa. Macam tutul bisa juga mencari teritori baru karena di habitat lama, seluruh ruang sudah dikuasai beberapa macan tutul jantan yang lebih kuat.

 

Keterangan foto utama: Lebih dua pekan lalu, Dukuh Beji, Desa Plukaran, Kecamatan Gembong, Pati, Jawa Tengah, petani temukan satu macam tutul mati tak jauh kandang sapi warga. Foto: BKSDA

 

Exit mobile version