Mongabay.co.id

Virus Corona, Mewabah di Wuhan Menyebar Cepat ke Penjuru Dunia

 

 

Virus corona atau novel Coronavirus [2019-nCoV] menyebar cepat ke penjuru dunia, sejak awal merebaknya 31 Desember 2019 di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China.

Berdasarkan data Komisi Kesehatan Nasional China [NHC], hingga Selasa malam [28/1/2020], sudah ada 4.682 kasus yang terdeteksi di sejumlah negara. Rinciannya, China [4.607 kasus, 106 meninggal], Hong Kong [8 kasus], Macau [7 kasus], Taiwan [7 kasus], Asia [38 kasus], Eropa [4 kasus], Amerika Utara [6 kasus], dan Australasia [5 kasus], sebagaimana dilaporkan South China Morning Post.

Atas kondisi tersebut, Organisasi Kesehatan Dunia [WHO] menyatakan, masa inkubasi virus mengerikan ini antara 2-6 hari. Untuk itu, hindari kontak langsung dengan orang yang terjangkit penyakit tersebut, yang menderita infeksi pernapasan akut, sebagaimana laporannya pada 27 Januari 2020.

Baca: Waspada, Ada Penyakit Zoonosis di Sekitar Kita

 

Warga Tapanuli, Sumatera Utara, menunjukkan kelelawar yang ditangkap untuk dijual. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Kehebohan virus corona bermula dari sebuah pasar makanan laut Huanan di Kota Wuhan. Sekitar 375 orang yang beraktivitas di pasar tersebut, terserang infeksi virus dengan gejala demam, lemas, batuk kering, dan sesak nafas.

Setelah diselidiki ahli kesehatan NHC, ternyata penderita tersebut terserang virus corona, yang menyerang sistem pernapasan manusia dan dapat menyebabkan kematian.

Virus ini awalnya dari hewan kemudian menular ke manusia melalui udara. Pasar makanan laut Huanan seluas 50.000 meter persegi itu memang terkenal dengan jual beli bahan makanan dari hewan liar. Bahkan menyediakan ular, kelelawar, hingga musang, tentu saja selain ikan, kepiting, dan udang.

Para ahli kesehatan sepakat, sumber wabah adalah virus yang melompat dari hewan liar yang dijual di pasar tersebut. Saat ini, pasar sudah ditutup, dan berada dalam pengawasan staf keamanan Pemerintah China.

Ahli paru-paru China, yang menemukan virus corona SARS pada 2003, Zhong Nanshan mengatakan, setelah dia berkunjung ke Wuhan, dapat dipastikan virus corona berasa dari hewan liar di sana.

“Wabah terkonsentrasi di dua distrik di Huwan, terutama di pasar makanan laut,” kata Zhong, dikutip South China Morning Post, pekan lalu.

China telah mengeluarkan aturan larangan terhadap perdagangan satwa liar. Tujuannya, agar virus pencabut nyawa ini tidak menyebar ke seluruh dunia.

 

Kelelawar sengaja ditangkap untuk dijual dan dikonsumsi bagi yang menyukainya di Tapanuli, Sumatera Utara. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Keluarga besar

Coronavirus merupakan keluarga besar virus yang menyebabkan penyakit dari yang ringan seperti pilek, hingga serius: MERS dan SARS. Coronavirus merupakan single stranded RNA [ssRNA], virus yang umum ditemukan pada sejumlah hewan yang berkeliaran di tanah seperti mamalia, burung dan reptil.

Beberapa jenis coronavirus, dapat menyebabkan infeksi akut pada saluran pernapasan bagian atas maupun bawah pada manusia. Di antaranya Severe Acute Respiratory Syndrome-related Coronavirus [SARS-CoV], kejadian luar biasa yang terjadi di China pada 2002, lalu Middle East Respiratory Syndrome Coronavirus [MERS-CoV] yang terjadi di Arab Saudi tahun 2012, akibat virus unta. Terbaru, novel Coronavirus [2019-nCoV] yang merebak di Wuhan, yang bersumber dari kelelawar.

Secara garis besar, potensi penyebaran penyakit dari satwa liar ke manusia, sebagaimana dijelaskan LIPI, dikenal dengan istilah zoonosis. Lima kelompok dominan pembawa penyakit ini adalah tikus, kelelawar, celurut, karnivora, dan primata.

 

Kelelawar merupakan hewan yang juga membawa virus yang menyebabkan terjadinya penyakit. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Peneliti Bidang Mikrobiologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesi [LIPI], Sugioyono Saputra menuturkan, kecepatan laju mutasi virus corona ini lebih kencang dibandingkan virus lain, seperti double stranded DNA [dsDNA], yang datang tiba-tiba dan tak terduga.

Selain itu, faktor cepatnya penyebaran virus corona ke penjuru Bumi karena mobilitas manusia yang tinggi.

“Penelitian menunjukkan tiga jenis virus corona yang bersifat mematikan manusia itu, semuanya berasal dari kekelawar yang berperan sebagai perantara alami,” terangnya kepada Mongabay Indonesia, Senin [27/1/2019].

Sugiono mengakui, meski kemungkinan interaksi langsung antara manusia dengan kekelawar minim, namun tetap saja virus tersebut dapat menginfeksi hewan lainnya sebagai perantara. “Hewan perantara tersebut sering berinteraksi dengan manusia secara langsung,” ujarnya.

Dia mencontohkan fenomena kasus sebelumnya. SARS-CoV tahun 2002, hewan perantara virus ini adalah mamalia kecil seperti kekelawar, musang dan rakun. Sedangkan pada MERS-CoV tahun 2012, hewan perantaranya adalah unta. “Untuk kasus terbaru 2019-nCoV, material genetiknya merupakan rekombinasi virus yang berasal dari kekelawar dan ular,” jelas dia.

 

Potensi penyebaran penyakit dari satwa liar ke manusia, dikenal dengan istilah zoonosis. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Menurut Sugiono, hipotesis ini berdasarkan data terbaru yang dipublikasikan pada Journal of Medical Virology. Intinya, kode-kode protein atau material genetik 2019-nCoV memiliki kesamaan dengan material genetiknya dari ular. Data ini didapat setelah dibandingkan dengan lebih dari 200 jenis virus corona dari sejumlah hewan.

“Rekombinasi yang dimaksud adalah gabungan antara bagian selubung virus dari coronavirus kekelawar yang dikenal dapat menginfeksi manusia dan dari material coronavirus ular,” jelas Sugiono.

Adapun jenis ular tersebut adalah ular belang taiwan yang sering disebut the many-banded krait [Bungarus multicinctrus] dan kobra china [Naja atra].

Secara rinci, Sugiyono mengatakan, selubung virus atau viral spike merupakan bagian yang akan menempel atau menginfeksi sel inang jika memiliki reseptor sesuai. “Mutasi bagian inilah yang menjadi penyebab virus corona dari ular tersebut, sehingga dapat menginvasi sel-sel saluran pernafasan manusia,” katanya.

Penelitian mendalam sangat diperlukan untuk menyimpulkan asal virus 2019-nCoV ini, yang merupakan bagian dari sub-kelompok kecil betacoronavirus. “Meski demikian, para ilmuwan menduga kuat, mamalia adalah kandidat paling mungkin sebagai penyebabnya, seperti yang telah tervalidasi pada kasus SARS dan MERS sebelumnya,” jelasnya.

 

 

 

Interaksi satwa liar dan manusia terlalu tinggi

Peneliti satwa liar dari Pusat Biologi LIPI, Taufiq P. Nugraha menjabarkan, para ilmuan menduga kemunculan zoonosis baru [new emerging infectious disease] sebagaimana kasus 2019-nCoV ini, sebagai bentuk tingginya frekuensi interaksi satwa liar dengan manusia.

“Dari pengalaman kasus ebola di Afrika, menurunnya lahan pertanian berperan besar terhadap ekspansi kelelawar di luar habitatnya. Sebaliknya, berkurangnya hutan untuk dijadikan perkebunan membuat manusia masuk ke habitat kelelawar. Keduanya berinteraksi bebas dengan risiko tinggi dalam penyebaran penyakit baru,” jelasnya.

 

Lima kelompok dominan pembawa penyakit ini adalah tikus, kelelawar, celurut, karnivora, dan primata. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Pada kasus virus corona, Taufik menjelaskan, kemungkinan orang yang berinteraksi langsung di pasar hewan di Wuhan itu adalah yang pertama terjangkit penyakit tersebut. “Interaksi dapat melalui makanan maupun proses pengelohan hewan, baik hewan perantara maupun perantara alaminya,” tuturnya.

Untuk itu, satwa liar yang secara alami dapat menyeberang lintas negara ataupun dibawa dan dimanfaatkan manusia untuk tujuan tertentu, harus menjadi fokus bersama, sebagai upaya antisipasi zoonosis.

“Hewan yang dominan berpotensi membawa penyakit adalah tikus, kelelawar, celurut, karnivora, dan kelompok primata seperti monyet,” ujar Kepala Bidang Zoologi Pusat Penelitian Biologi LIPI, Cahyo Rahmadi dalam pernyataan tertulis.

 

Untuk novel Coronavirus yang merebak di Wuhan, sumber penularannya dari kelelawar. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Persiapan Pemerintah Indonesia

Presiden Jokowi, terhadap antisipasi wabah virus corona yang sudah menyebar di 16 negara, menyatakan hal paling penting adalah waspada dan hati-hati terhadap gejala-gejala yang ada. “Pengawasan di semua bandara, terutama penerbangan yang berhubungan dari dan ke Tiongkok [China] telah dilakukan,” terangnya, dikutip dari Sekretariat Presiden, 27 Januari 2020.

Presiden menegaskan, Kedutaan Besar Republik Indonesia di China terus memantau warga Indonesia yang ada di sana. “Hal paling rumit adalah terkait logistik, karena aturan yang ada sangat ketat. Semoga semua bisa ditangani dan berjalan baik,” terang Jokowi.

 

Pasar hewan di Wuhan, China, pada 5 Januari 2020. China telah mengeluarkan aturan larangan terhadap perdagangan satwa liar. Foto: Simon Song/South China Morning Post

 

Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto, sebelumnya mengatakan, pemerintah telah memperketat pintu masuk negara dengan menyiagakan alat deteksi thermo scanner. Melalui alat ini, para penumpang bisa dideteksi sejak dini apakah memiliki potensi terjangkit virus tertentu.

“Semua alat yang ada di bandara, pelabuhan dan jalan darat ini beroperasi 24 jam,” ujarnya.

Tercatat, ada 135 thermo scanner diaktifkan di 135 pintu masuk negara, baik darat, laut dan udara. “Antisipasi harus kita lakukan terus. Hidup sehat harus diterapkan, kalau batuk ditutup, kalau flu pakai masker. Jangan sampai menulari orang lain,” ujar Terawan, dikutip dari laman Kemenkes.

 

Satwa liar yang diperdagangkan di pasar Asia. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kementerian Kesehatan, dr. Anung Sugihantono, dalam keterangan pers [21/1/2010] mengatakan, pihaknya langsung menjadikan kasus ini sebagai fokus utama.

Kebijakan telah diambil dengan mengaktifkan kembali 100 rumah sakit rujukan flu burung yang sudah ada dalam SK Menkes Nomor 414 tahun 2017. Satu ruma sakit yang dirujuk adalah Sulianti Saroso.

Kemenkes juga mewanti masuknya virus corona dengan memantau 30 penerbangan dari China baik langsung maupun transit. Total penumpang, antara 4.500 hingga 6.000 orang.

 

 

Hentikan konsumsi satwa berbahaya

Pasar hewan hidup tanpa pengelolaan baik yang berbaur dengan perdagangan satwa liar, merupakan tempat subur berkembangnya virus yang menyebar dari inang satwa liar ke manusia.

Christian Walzer, Direktur Eksekutif Program Kesehatan Wildlife Conservation Society [WCS] menyatakan, penyakit zoonosis yang mengancam kesehatan masyarakat dunia harus mendapat perhatian semua pihak.

Sudah saatnya, pasar hewan hidup yang memperdagangkan satwa liar ditutup, perdagangan hewan liar diperangi dan, perilaku mengkonsumsi satwa liar berbahaya dihentikan.

“Ilmuwan China percaya, coronavirus bersumber dari satwa liar yang dijual di pasar hewan hidup. China menutup pasar Wuhan, asal virus ini, tetapi pasar serupa masih bertebaran di kota-kota lain di seluruh China dan negara-negara Asia lain. Jika pasar yang ada tetap ada, masyarakat dunia akan diresahkan dengan risiko munculnya virus baru, yang tidak hanya mengancam kesehatan tetapi juga mengguncang stabilitas ekonomi dan merusak tatanan ekosistem,” terangnya.

 

 

Walzer menyatakan, tujuh puluh persen dari semua penyakit menular yang muncul, berasal dari satwa liar, dan perambahan berkelanjutan dan perusakan habitat satwa liar sangat meningkatkan peluang untuk terjadinya penularan penyakit tersebut kepada manusia.

“Virus zoonosis merupakan penyebab penyakit pada manusia yang paling sering muncul, membentuk kurang dari 15% dari semua spesies yang diketahui. Lebih dari 65% patogen, ditemukan sejak 1980,” tegasnya.

 

 

Exit mobile version