Mongabay.co.id

Hukuman Terlalu Ringan, Orangutan Jadi Sasaran Empuk Pemburu

Bukan hanya perburuan, ancaman kehidupan yang dihadapi orangutan saat ini adalah rusaknya habitat yang dijadikan perkebunan dan tambang. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

 

Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Wilayah Sumatera, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK], menangkap seorang pemburu orangutan sumatera [Pongo abelii] di Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Aceh, pada 22 Januari 2020.

Pelaku DP [23 tahun], diamankan di Jalan Pining – Pasir Putih, Jembatan Pasir Putih, Dusun Aruldeng, Desa Pining, Gayo Lues, beserta barang bukti satu individu orangutan beserta celurit dan parang. Seorang pelaku lagi masih dalam pengejaran petugas.

Kepala Balai Gakkum Sumatera, Eduward Hutapea, Sabtu [25/1/2020] mengatakan, pelaku telah telah dibawa ke Polda Aceh di Kota Banda Aceh, untuk dimintai keterangan sekaligus mempertanggungjawabkan perbuatannya.

“Orangutan yang kondisinya lemah dan stres langsung dibawa ke Karantina Orangutan Sumatera, di Batu Mbelin, Sibolangit, Provinsi Sumatera Utara, untuk dirawat. Orangutan sumatera merupakan satwa dilindungi dan terancam punah karena populasinya terus menurun,” ujarnya.

Eduward menambahkan, pelaku dikenakan Pasal 21 Ayat 2 Huruf a jo Pasal 40 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya jo Peraturan Pemerintah Republik Indonesia  Nomor 7 Tahun 1999 jo Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 106 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Perubahan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.20 /MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi.

“Pelaku terancam penjara 5 tahun dan denda maksimal Rp 100 juta,” jelasnya.

Baca: Kisah Orangutan Paguh, Mata Buta dengan Belasan Peluru di Kepala

 

Bukan hanya perburuan, ancaman kehidupan yang dihadapi orangutan saat ini adalah rusaknya habitat yang dijadikan perkebunan dan tambang. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Hukuman ringan

Pada 20 November 2019, BKSDA Aceh Bersama The Human-Orangutan Conflict Response Unit [HOCRU] Yayasan Orangutan Sumatera Lestari – Orangutan Information Centre [YOSL-OIC] mengevakuasi satu individu orangutan sumatera terluka di perkebunan kelapa sawit di Gampong Teungoh, Kecamatan Trumon, Kabupaten Aceh Selatan.

Ketua Yayasan YOSL-OIC, Panut Hadisiswoyo mengatakan, orangutan jantan 25 tahun itu terluka akibat 24 peluru senapan angina bersarang di tubuhnya. Kondisinya memprihatinkan.

“Ditemukan berjalan di tanah, tidak bisa manjat pohon karena matanya buta kena peluru. Orangutan itu dibawa ke pusat karantina di Sibolangit, dan berdasarkan pemeriksaan dari 24 peluru, 16 peluru bersarang di kepala,” jelasnya.

Baca: Sudah Saatnya Pemelihara Orangutan Diproses Hukum

 

Evakuasi orangutan dilakukan untuk menyelamatkan satwa dilindungi ini dari konflik atau habitatnya yang rusak. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Sekretaris Forum Orangutan Aceh [FOR A] Idir Ali mengatakan, perburuan orangutan yang terjadi Kawasan Ekosistem Leuser tetap berlangsung karena hukuman yang rendah.

“Orangutan diperjualbelikan kepada orang kaya, yang suka memelihara. Ketika pemelihara bosan karena orangutan sudah besar dan banyak menghabiskan biaya, mereka menyerahkan Balai Konservasi Sumber Daya Alam [BKSDA], masalah dianggap selesai. Harusnya, pemelihara diperiksa juga, dari mana dia mendapatkan orangutan,” ujarnya.

Namun, hal tersebut tidak pernah terjadi. Para pemelihara orangutan tidak pernah ditangkap, bahkan mendapat ucapan terima kasih karena sudah mengembalikan satwa dilindungi ke negara.

“Kalau ini masih terjadi, jangan harap perburuan berhenti, karena pelanggaran ini belum dianggap kejahatan besar,” terang Idir.

Baca: SRAK Orangutan 2019-2029 Diluncurkan, Strategi Apa yang Diutamakan? 

 

Orangutan sumatera yang hidup di hutan Leuser. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Senada, Panut menambahkan, perburuan dan perdagangan orangutan sumatera terus terjadi karena lemahnya penegakkan hukum. Pada Januari 2020, menurut catatan YOSL-OIC telah ditemukan tiga orangutan korban perburuan; satu di Gayo Lues dan dua di Bahorok, Sumatera Utara.

“Selain lemahnya hukum, mudahnya akses pemburu keluar masuk hutan adalah persoalan utama yang harus diselesaikan. Masalah lain, pemelihara orangutan tidak pernah ditindak, belum lagi perdagangan dan perburuan yang melibatkan oknum penegak hukum.”

Selain itu, pembukaan kebun atau pertanian ilegal di hutan, selain mengurangi habitat orangutan juga telah meningkatkan perburuan, karena satwa tersebut makin mudah didapat.

“Misal, saat masyarakat di kebun, ketika melihat orangutan dengan bayinya, timbul keinginan untuk mengambil bayi itu. Tak jarang, bayi tersebut dijual ke orang lain, sementara nasib induknya mati dibunuh,” tegasnya.

 

 

Exit mobile version