Mongabay.co.id

Kasus Matinya 28 Penyu di Bengkulu, Begini Hasil Uji Laboratorium

Tim Dokter Hewan BKSDA Bengkulu melakukan nekropsi pada empat bangkai penyu sisik yang ditemukan di Pantai Teluk Sepang, Bengkulu. Foto: Ahmad Supardi/Mongabay Indonesia

 

 

Balai Konservasi Sumber Daya Alam [BKSDA] Bengkulu-Lampung mengumumkan penyebab matinya 28 penyu dalam tiga bulan terakhir di sejumlah pantai Bengkulu. Utamanya, karena infeksi bakterial suspect salmonellosis dan clostridiosis, selain mati karena terjerat jaring nelayan dan makan sampah di laut.

Dokter Hewan BKSDA Bengkulu-Lampung drh. Erni Suryanti Musabine mengatakan, jawaban itu berdasarkan hasil uji laboratorium Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor. Tentunya, setelah dilakukan pemeriksaan sampel hati, ginjal, dan saluran pencernaan bangkai penyu yang mati terdampar di sekitar limbah air bahang pembangkit listrik tenaga uap [PLTU] batubara di Pantai Teluk Sepang, Bengkulu.

“Kami sudah melakukan pemeriksaan dengan membedah bangkai penyu, hasilnya ditemukan sampah plastik, rokok, dan tali pada rongga perut dan saluran pencernaannya. Sedangkan pada penyu yang lain, kami mengirim sampelnya ke laboratorium veteriner dan laboratorium IPB,” kata Erni yang didampingi Kepala BKSDA Bengkulu-Lampung Donal Hutasoit, Asisten II Sekda Provinsi Bengkulu Yuliswani, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan [DLHK] Provinsi Bengkulu Sorjum Ahyar, Kepala Badan Meteorologi Klimatologi, dan Geofisika [BMKG] Provinsi Bengkulu Kukuh Ribudiyanto, di Media Center Pemerintah Provinsi Bengkulu, Jumat [31/1/2020].

Meski demikian, Erni mengatakan perlu investigasi lebih lanjut. Sebab, infeksi bakterial suspect salmonellosis dan clotridiosis dipengaruhi spesimen sudah mengalami autolysis atau membusuk.

Baca: Putusan Majelis Hakim Tidak Berpihak pada Masyarakat Teluk Sepang [Bagian 1]

 

Tim Dokter Hewan BKSDA Bengkulu melakukan nekropsi empat bangkai penyu sisik yang ditemukan di Pantai Teluk Sepang, Bengkulu, beberapa waktu lalu. Foto: Ahmad Supardi/Mongabay Indonesia

 

Berdasarkan surat Kepala Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor, Nomor: B-/16/PK.310/H.5.1/01/19/538 tanggal 20 Januari 2020 perihal Pemeriksaan Laboratorium, diagnosa umum mikroskopis dari spesimen penyu yang dikirimkan menunjukkan hepatik nekrosis parah, hepatitis, enteritis [radang usus] parah, haemoneehagi [pendarahan], hemosiderosis [kerusakan sel darah merah], myopathy [pelemahan otot], dan myosis [peradangan otot kronis].

Sedangkan hasil pengujian Nomor: LB.19/538 Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian tanggal 10-11 Desember 2019 menjelaskan, dari pemeriksaan 11 spesimen organ penyu diketahui, hasil pengujian toxicologi tidak menunjukkan nilai yang mempengaruhi mortalitas penyu. Artinya, bukan karena tercemar zat kimia.

BMKG Bengkulu juga menganalisis kondisi laut di Bengkulu, hasilnya diketahui adanya penyimpangan [anomali] dingin pada suhu muka laut di perairan barat Bengkulu pada September, Oktober, November dan Desember. Penurunan suhu itu sebesar 0,5 derajat hingga 3 derajat Celcius, dan mulai menghangat pertengahan Desember 2019 hingga saat ini.

“Anomali ini tentu ada pengaruh pada biota laut jika daya tahan tubuhnya sedang dan lemah,” terang Kepala BMKG Provinsi Bengkulu, Kukuh Ribudiyanto.

Dia juga mengatakan, kondisi ini juga menyebabkan angin mengarah ke daratan, sehingga ketika ada biota laut mati akan terbawa gelombang lalu menepi ke darat.

Baca: PLTU Teluk Sepang, Sudah 19 Penyu Mati di Sekitar Pembuangan Limbah [Bagian 2]

 

Empat bangkai penyu sisik yang ditemukan mati di Pantai Teluk Sepang dikuburkan setelah dilakukan nekropsi. Foto: Ahmad Supardi/Mongabay Indonesia

 

Polemik kematian karena limbah PLTU

Sebelumnya Senin [13/1/2020], Kepala BKSDA Bengkulu Donal Hutasoit mengatakan, pesisir Bengkulu memang tempat penyu mendarat dan bertelur, seperti penyu sisik, penyu hijau, penyu lekang, dan penyu belimbing.

Masalahnya, peristiwa kematian ini banyak terjadi di pantai Teluk Sepang, tempat PLTU batubara yang sedang uji coba operasi. Dengan demikian, menimbulkan pendapat liar bahwa kematiannya akibat limbah.

Dari catatan Mongabay Indonesia, 25 penyu mati di Pantai Teluk Sepang, 1 individu di Pantai Panjang, 1 individu di Pantai Tapak Paderi, dan 1 individu di Pantau Kungkai, Seluma.

Penasaran dengan suhu air di Pantai Teluk Sepang, tim dari Jurusan Biologi Universitas Bengkulu [Unib] mengambil dua sampel air laut pada Ahad [1/12/2019] lalu. Sampel pertama dari kolam limbah air bahang dan sampel kedua sebagai kontrol, diambil sejauh dua kilometer dari kolam limbah.

“Kami ambil bersamaan. Di lokasi berjarak dua kilometer dari limbah, suhu air laut terdata 24 derajat Celcius, sedangkan di air buangan PLTU yang masuk ke laut 32 derajat Celcius. Perbedaan dua tempat itu 8 derajat,” terangnya Sekretaris Jurusan Biologi Unib, Abdul Rahman kepada Mongabay Indonesia beberapa waktu lalu.

Hasil sampel Unib ini menguatkan uji yang dilakukan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan [DLHK] Bengkulu, Rabu [20/11/2019]. Dari temuan DLHK, tercatat temperatur air di kolam air bahang sekitar 35 derajat Celsius.

“Sekitar limbah ada kenaikan suhu signifikan,” ujarnya.

Mongabay Indonesia juga beberapa kali melakukan pemantauan di sekitar kolam air bahang. Tampak air limbah itu mengeluarkan busa tebal berwarna cokelat disertai bau menyengat.

Baca juga: PLTU Teluk Sepang, Penolakan Dilakukan karena Keadilan Ekologis Diabaikan [Bagian 3]

 

Pantai Teluk Sepang yang tercemar. Foto: Rusdi/Mongabay Indonesia

 

Yayasan Kanopi menolak

Penjelasan kematian penyu karena faktor alam diragukan Yayasan Kanopi. Manajer Kampanye Yayasan Kanopi, Olan Sahayu menyatakan, jika dugaan kematian karena anomali cuaca seharusnya penyu mati bisa terdampar di pantai mana saja, di sepanjang 345 kilometer Pantai Barat Sumatera di Bengkulu.

“Faktanya, di Pantai Panjang hanya satu bangkai ditemukan. Di Pantai Tapak Paderi satu dan di Seluma juga satu. Sisanya, terdampar di sekitar kolam air bahang PLTU batubara Teluk Sepang,” tegasnya.

Dia mengatakan PLTU ini telah melakukan dua kali uji coba yakni 19-26 September 2019 dan pada 8-15 Oktober 2019. Pada tahap ini, ditemukan buih kecokelatan dan berbau menyengat, yang keluar dari saluran pembuangan tersebut.

Setelah uji coba, bangkai penyu mulai ditemukan terdampar, terutama di Pantai Teluk Sepang. Diawali, penemuan dua ekor bangkai pada 10 November 2019 oleh warga setempat.

Olan tidak membantah, bila bangkai penyu yang luka itu diduga karena terjerat jaring. “Masalahnya, dari data yang dimikili bersama antara Kanopi dan BKSDA, yang terluka itu hanya sebagian kecil saja,” katanya.

Namun, Olan mempermasalahkan izin pembuangan limbah PLTU Teluk Sepang yang dianggap DLHK akan diurus setelah operasi. Sebab, hal itu melanggar Peraturan Permen Lingkungan Hidup Nomor 8 Tahun 2009, Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004, dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 12 Tahun 2006 tentang Persyaratan dan Tata Cara Perizinan Pembuangan Air Limbah ke Laut.

“Pembuangan limbah uji coba PLTU Teluk Sepang melanggar peraturan menteri,” katanya.

 

PLTU Teluk Sepang. Foto: Rusdi/Mongabay Indonesia

 

Tak hanya itu, menurutnya, pembuangan limbah uji coba ke laut secara langsung juga melanggar Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009, Pasal 60 yaitu setiap orang dilarang melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin. Pasal 104, yakni setiap orang yang melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin sebagaimana dimaksud Pasal 60, dipidana paling lama 3 [tiga] tahun dan denda paling banyak 3 miliar Rupiah.

Dumping [pembuangan] adalah kegiatan membuang, menempatkan, dan/atau memasukkan limbah dan/atau bahan dalam jumlah, konsentrasi, waktu, dan lokasi tertentu dengan persyaratan tertentu ke media lingkungan hidup tertentu.

Yayasan Kanopi juga menemukan fakta, dalam dokumen adendum amdal tidak dijelaskan bahwa Teluk Sepang merupakan habitat satwa dilindungi, yaitu penyu. “Artinya, pihak yang mengeluarkan izin lingkungan PLTU ini gagal mengindentifikasi habitat satwa dilindungi. Kami menilai kegiatan ini cacat amdal,” tegas Olan.

 

 

Exit mobile version