Mongabay.co.id

Babak Baru Pengelolaan Wilayah Kelautan di Nusantara

 

Pemerintah Indonesia mengejar target penambahan kawasan konservasi dari total luas 23,14 juta hektare menjadi minimal 30 juta ha pada 2030. Luasan kawasan konservasi yang sudah ada itu mencakup 196 kawasan konservasi yang dikelola bersama oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), serta Pemerintah Provinsi.

Dari semua kawasan yang sudah ada itu, terdapat potensi keragaman hayati laut yang harus senantiasa dijaga dan dilindungi. Untuk pengelolaannya, lautan yang luas dengan beragam keanekaragaman hayati laut itu dilakukan dengan implementasi berbasis wilayah, baik regional, nasional, ataupun global.

Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut (PRL) KKP Aryo Hanggono mengatakan, potensi keanekaragaman hayati laut yang ada di Nusantara saat ini menyebar di atas lautan seluas 325 juta ha dan harus dijaga kelestariannya.

baca : Bertemu LSM Lingkungan, Menteri Kelautan Tegaskan Perikanan Berkelanjutan dan Kawasan Konservasi

 

Maluku Utara, baru saja memiliki tiga kawasan konservasi perairan. Kawasan konservasi ini guna memastikan ekosistem laut terjaga dan sumber laut dapat terkelola berkelanjutan oleh masyarakat, salah satu mencegah pengeboman ikan. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Untuk menjaga seluruh potensi tersebut, KKP melibatkan berbagai pihak yang kompeten pada bidangnya masing-masing, termasuk salah satu lembaga non Pemerintah yang fokus pada isu lingkungan, Wildlife Conservation Society (WCS). Pelibatan WCS, menjadi bagian upaya mengelola kawasan berbasis wilayah namun dalam bentuk non kawasan konservasi.

Menurut Aryo, pengelolaan dengan metode tersebut dikenal dengan sebutan Other Effective area-based Conservation Measures (OECM) dan menjadi bagian dari target 11 yang sudah disepakati oleh negara anggota Konferensi Para Pihak (COP) The Convention on Biological Diversity (CBD) yang diselenggarakan pada 2010.

Dia mengungkapkan, pengelolaan OECM menjadi bagian dari target 11 untuk melindungi (konservasi) 10 persen wilayah pesisir dan laut, serta menjadikannya sebagai bagian dari kerangka kerja keanekaragaman hayati (biodiversity framework).

“OECM sendiri merupakan area selain dari Kawasan Lindung yang secara geografis ditetapkan, diatur dan dikelola melalui suatu cara/measure, dan dalam jangka panjang mencapai hasil yang positif dan berkelanjutan untuk konservasi keanekaragaman hayati,” ungkap dia pekan lalu di Jakarta.

Sebelum mengelola kawasan OECM, Aryo menyebutkan bahwa Indonesia sudah memiliki kawasan konservasi yang dikelola bersama antara KKP, KLHK, dan Pemprov. Namun dengan luas 23,14 juta ha yang ada sekarang, maka luas kawasan konservasi milik Indonesia baru mencapai 7,12 persen.

Untuk mencapai target 10 persen atau mencapai 30 juta ha, maka Indonesia memerlukan waktu minimal 10 tahun lagi dari sekarang. Pada tahun tersebut, diharapkan kawasan konservasi wilayah laut yang ada di Indonesia luasnya sudah mencapai target yang ditetapkan dari sekarang.

baca juga : Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan Harus Dilakukan Tepat, Seperti Apa?

 

Keindahan Kawasan Konservasi Laut di Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Foto: The Nature Conservancy

 

Konservasi

Dengan target yang ditetapkan itu, Aryo merasa yakin dan optimis bahwa Indonesia bisa melakukannya pada 2030 mendatang. Terlebih, saat ini banyak masyarakat lokal, tradisional, dan adat yang sudah memiliki wilayah dan perangkat pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil yang termasuk adalah pengelolaan perikanan.

“Selain itu, lokasi-lokasi pengelolaan wisata bahari, kawasan konsesi migas di laut, dan wilayah latihan militer yang tertutup untuk publik juga memiliki dampak positif bagi keanekaragaman hayati laut,” jelas dia.

Di sisi lain, Aryo melihat sebelum ini pembahasan OECM di Indonesia sampai 2019 masih banyak terfokus pada kawasan darat. Sementara, untuk wilayah laut sampai 2019 tidak ada pembahasan yang jelas. Untuk itu, KKP merasa harus ikut serta untuk melaksanakan inisiasi proses pengelolaan keanekaragaman hayati laut berbasis wilayah dengan pendekatan OECM.

“Inisiasi dilakukan melalui diskusi dan sekaligus untuk menjaring masukan dan rekomendasi untuk modifikasi atau penyesuaian kriteria penilaian kelayakan OECM yang sesuai dengan konteks Indonesia,” tutur dia.

Sementara, Fisheries Program Manager WCS Indonesia Irfan Yulianto menjelaskan bahwa pengelolaan dengan pendekatan OECM adalah pengelolaan wilayah yang tidak masuk dalam kawasan konservasi kelautan, namun masih memiliki dampak yang signifikan terhadap konservasi yang sudah ada di sekitarnya.

“Tujuan awalnya itu bisa konservasi atau tidak, namun dia bukan wilayah konservasi yang legal. Itu adalah sebuah wilayah yang dikelola bukan untuk konservasi, tapi berdampak pada konservasi,” papar dia.

Namun demikian, Irfan mengaku kalau sampai saat ini pembahasan OECM masih terus dilakukan dengan KKP dan pihak-pihak lain yang terlibat. Pembahasan itu, mencakup juga tentang penetapan definisi OECM untuk wilayah laut di Indonesia dengan lebih jelas dan detil.

perlu dibaca : Kewenangan Beralih, Bagaimana Pemda Mengelola Kawasan Konservasi Perairan?

 

Terumbu karang di Olele yang telah dijadikan kawasan konservasi laut daerah. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Selain WCS, masih ada LSM lain yang tergabung dalam Forum Komunikasi Konservasi Indonesia (FKKI) yang ikut memberikan sumbangan pemikiran terhadap rencana konservasi kawasan laut di Nusantara. Mereka itu, adalah Burung Indonesia, Conservation International Indonesia, Greenpeace Indonesia, Pusat Transformasi Kebijakan Publik, The Nature Conservancy, Wetlands International Indonesia, World Resources Institute Indonesia, WWF Indonesia, dan Yayasan KEHATI.

Seluruh LSM tersebut ikut memberikan sumbangan pemikiran, karena salah satu fokus pembangunan ekonomi kelautan dan kemaritiman di Indonesia untuk rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) 2020-2024 adalah peningkatan pengelolaan kemaritiman dan kelautan.

 

Fokus

Untuk mewujudkannya, Pemerintah Indonesia akan melaksanakan program kerja melalui peningkatan ekosistem kelautan dan pemanfaatan jasa kelautan; peningkatan pengelolaan wilayah pengelolaan perikanan (WPP) RI, penataan ruang laut dan rencana zonasi pesisir; peningkatan produksi, produktivitas, standardisasi mutu dan nilai tambah produk kelautan dan perikanan.

Kemudian, ada juga program kerja melalui peningkatan fasilitasi usaha, pembiayaan, dan akses perlindungan usaha kelautan dan perikanan; dan peningkatan sumber daya manusia (SDM), riset kemaritiman, dan kelautan, serta database kelautan dan perikanan.

Diketahui, konservasi menjadi bagian dari komitmen global dalam Aichi Target dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SGDs) butir 14 yang menargetkan luas kawasan konservasi 10 persen dari luas perairan Indonesia pada tahun 2020.

Vice President CI Indonesia Ketut Sarjana Putra mengungkapkan bahwa saat ini sedang terjadi perubahan aturan perizinan pengelolaan kawasan konservasi yang berdampak secara lokal dan global. Tak hanya dari sisi konservasi, perubahan aturan akan memengaruhi ekonomi sebuah negara, seperti Indonesia yang merupakan negara kepulauan.

baca juga : Indonesia Hadapi Tantangan Besar Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut, Seperti Apa?

 

Perairan Raja Ampat, salah satu Kawasan Konservasi Laut di Indonesia. Foto: Dmitry Telnov

 

Sebelumnya, Sekretaris Direktorat Jenderal PRL KKP Agus Dermawan menyatakan bahwa Indonesia akan terus berkomitmen untuk ikut menjaga keberlanjutan laut dunia dengan terlibat dalam kerja sama regional yang melibatkan banyak negara. Komitmen itu termasuk dengan menjaga wilayah segitiga karang dunia yang meliputi enam negara di kawasan Asia Pasifik.

Selain Indonesia, lima negara lain yang juga ikut terlibat adalah Filipina, Malaysia, Timor Leste, Papua Nugini, dan Kepulauan Solomon. Kerja sama dengan negara-negara tersebut meliputi upaya pengelolaan sumber daya, lautan berkelanjutan, perlindungan terumbu karang, dan ketahanan pangan.

Untuk keterlibatan dalam pengelolaan wilayah segitiga karang dunia, Indonesia diberikan target untuk melaksanakan national plan of action (NPOA) hingga sebanyak 40 aksi. Dari jumlah tersebut, 30 aksi diketahui sudah berhasil diselesaikan dengan baik sampai 2019 ini.

“Sementara, sepuluh aksi lain masih berjalan dan optimis pasti dapat selesai pada tahun 2020 mendatang,” tuturnya.

Sementara, Direktur Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut KKP Andi Rusandi menyatakan bahwa Pemerintah Indonesia siap untuk bekerja sama dengan negara berkembang lain di dunia. Kerja sama tersebut, bertujuan untuk meningkatkan kapasitas fisik dan kemanusiaan untuk mengeksplorasi laut.

“Melalui kerja sama itu, diharapkan kemandirian ketahanan pangan bisa terwujud sesuai dengan tujuan pembangunan berkelanjutan (TPB) pada 2030,” jelas dia.

 

Exit mobile version