Mongabay.co.id

Dua Tahun Terakhir, Korban Meninggal akibat Gigitan Ular Meningkat

 

 

Kasus gigitan ular berbisa yang menimbulkan korban jiwa terus terjadi di Indonesia. Terbaru, seorang warga di Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat, yang dikenal sebagai pawang ular, meninggal akibat gigitan king kobra [Ophiophagus hannah] dalam sebuah atraksi. Peristiwa ini bukanlah yang pertama dan satu-satunya.

“Dalam kurun dua tahun terkahir, jumlah korban tewas akibat gigitan ular berbisa di Indonesia mengalami peningkatan. Tahun 2017 terdapat 35 korban, pada 2018 sekitar 47 korban, dan 2019 melesat menjadi 54 korban. Awal 2020, tercatat sudah 5 orang dilaporkan meregang nyawa,” ungkap Tri Maharani, dokter spesialis Emergency dan penasehat untuk badan kesehatan dunia [WHO/World Health Organization] tentang gigitan ular.

Kepada Mongabay Indonesia, Tri menjelaskan, data terkini itu berdasarkan laporan yang dia terima dari instansi kesehatan seperti puskesmas, UGD di rumah sakit, dan dinas kesehatan daerah. Itu belum termasuk yang tidak terlaporkan seperti halnya korban tewas di rumah bahkan di praktik pengobatan tradisional.

Tri mengatakan, kasus gigitan ular di Indonesia seperti puncak gunung es, hanya sebagian kecil yang mencuat ke permukaan. “Namun di balik itu, banyak yang tidak terkonfirmasi atau bahkan tidak diketahui,” jelasnya, baru-baru ini.

Baca: Urusan King Kobra dan Kobra, Amir Hamidy Pakarnya

 

Nathan Rusli, pendiri Ciliwung Reptile Center, Bojong Gede, Bogor, berkampanye pentingnya ular bagi ekosistem lingkungan. Jangan ditiru adegan ini, bila bukan ahlinya. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

Indonesia merupakan negara di Asia Tenggara yang paling tinggi dengan kasus gigitan ular. Malaysia, misalnya, hanya 2 korban sepanjang 2019. Sementara Thailand, tidak ditemukan lagi korban tewas sejak 2016 hingga 2019.

“Meningkatnya jumlah korban di Indonesia, membuat saya prihatin,” ujar perempuan tangguh yang mengabdikan diri untuk penyelamatan korban gigitan ular berbisa.

Tri menuturkan, mengatasi gigitan ular bukan hanya pada masalah ketersediaan antivenom atau antibisa, tetapi kondisi ini belum menjadi prioritas nasional. Artinya, belum menjadi perhatian penuh.

Padahal, untuk mendapatkan serum anti-bisa ular [SABU] bukan hal mudah. Selain harganya mahal, sampai saat ini Indonesia juga baru memproduksi satu jenis SABU yang mencakup 3 jenis ular yaitu kobra jawa [Naja sputatrix], welang [Bungarus fasciatus], dan ular tanah [Calloselasma rhodostoma]. Kenyataannya, ular berbisa yang tersebar di wilayah Indonesia sekitar 76 jenis.

“Jika dibandingkan Thailand yang sudah lengkap antivenom dan memprioritaskan program penanganan ular, Indonesia butuh jalan dan riset panjang. Minimal, jika belum menjadi prioritas program nasional, Indonesia harus sudah punya plan dan strategi matang. Edukasi pertolongan pertama penanganan korban gigitan ular harus dilakukan,” tutur pakar gigitan ular berbisa ini.

Baca: Nyawa Taruhannya, Kenapa King Kobra Dipelihara?

 

Spesimen ular yang dikumpulkan di Ciliwung Reptile Center untuk penelitian dan pendataan. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

Menurut Tri, selama ini kita salah kaprah jika terus memikirkan ketersediaan antivenom. Berdasarkan pengalamannya yang hampir 10 tahun menangani kasus gigitan ular, dia menyimpulkan, hal terpenting adalah edukasi komprehensif guna merubah pola pikir dan perilaku masyarakat dalam melakukan pertolongan pertama [first aid].

Jika tidak ada perubahan mindset, bukan tidak mungkin korban terus bertambah. Laporan kematian akibat gigitan ular yang dia dapati selama ini juga, semuanya disebabkan penanganan yang tidak tepat.

“Banyak yang belum menerapkan first aid sebagaimana rekomendasi WHO. Selama ini, justru banyak yang menggunakan cara-cara lama dan klenik untuk mengobati korban gigitan ular seperti membuat sayatan atau mengikat hingga menyedot luka untuk mengeluarkan bisa ular. Kenyataannya, semua itu belum terbukti ilmiah oleh penelitian manapun,” jelas Tri yang juga ahli toksinologi, keilmuan yang mempelajari zat kimiawi makhluk hidup.

Baca: Ular Muncul di Perkebunan Sawit, Fenomena Apakah Ini?

 

 

Tri menuturkan, pertolongan pertama yang tepat adalah melakukan imobilisasi. Sesaat setelah tergigit ular, bawa segera korban ke tempat aman. Jangan panik. Jika terkena ular laut, pindahkan korban ke daratan agar tidak tenggelam.

Imobilisasi dilakukan dengan membuat penyanggah dari kayu pada bagian tubuh yang terkena gigitan ular, untuk tidak bergerak. Tujuannya, agar racun tidak menjalar luas ke bagian organ tubuh lain. Pada fase lokal itu, kemungkinan besar korban bertahan hingga mendapat pertolongan medis lebih lanjut.

“Sederhananya, otot yang bergerak hanya akan mempercepat reaksi bisa. Karena itu harus dilakukan imobilisasi. Hasil penelitian terbaru menyebutkan, bisa tidak menjalar lewat pembuluh darah melainkan melalui kelenjar getah bening. Artinya, anggapan menyedot darah dan membuat sayatan untuk mengeluarkan bisa itu tidak relevan,” tambahnya.

Bila bisa dapat dipertahankan pada daerah lokal yang tergigit, sistem metabolisme tubuh akan dengan sendirinya mengeluarkan racun. Bila tidak dilakukan imobilisasi, dan bisa telah menjalar ke seluruh bagian tubuh, penanganannya akan sulit. Hanya antivenom yang dapat mengikat racun untuk keluar dari tubuh.

Tri menegaskan, ular sebagai penyeimbang ekosistem, dalam hal ini pengendali hama di lingkungan, pada prinsipnya takut manusia. Ular hanya menyerang apabila terusik. Untuk itu, dia menghimbau, apabila bertemu ular jangan takut apalagi memprovokasi ular.

Prinsip STOP [silent, thingking, observation dan prepare] dapat dilakukan. Empat prinsip ini digambarkan sebagai sikap mematung, meneliti apakah berbisa atau tidak, memperhatikan lingkungan sekitar dan mencari alat bantu. Tentunya, mempersiapkan langkah lanjutan.

“Selain itu, untuk menghindari ular bersarang di rumah atau di sekitar tempat tinggal, kita harus memperhatikan kebersihan lingkungan,” tuturnya.

Baca: Tri Maharani Cerita soal Tangani Korban Ular Berbisa sampai Darurat Antivenom

 

Tri Maharani menunjukkan bagaimana memberikan pertolongan pertama pada kasus gigitan ular berbisa, dengan cara imobilisasi. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Fenomena kobra jawa

Satu jenis ular berbisa yang tiga bulan tekahir berkeliaran hingga bersarang di permukiman masyarakat Pulau Jawa adalah kobra jawa [Naja sputatrix]. Ular dari suku Elapidae ini persebarannya ada di Jawa, Bali, Lombok, Komodo, Rinca, Sumbawa, dan Flores.

Terhadap kejadian ganjil tersebut, Helen Kurniati, Peneliti Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia [LIPI] di Cibinong, menuturkan sekarang telur-telur kobra banyak yang menetas. Jenis ini, biasanya bertelur awal musim hujan, seperti Oktober, dengan masa inkubasi 3 bulan.

“Jadi, bila Desember banyak anak kobra berkeliaran ini memang fenomena alam,” jelasnya.

Hanya yang menjadi pertanyaan mendasar adalah, kenapa baru sekarang terjadi ledakan? Padahal, tahun-tahun sebelumnya kobra selalu bertelur setiap musim hujan.

Baca: Ular Kobra Masuk Rumah Warga, Fenomena Apa?

 

Ular kobra yang juga agresif dan bisa menyemburkan racun hingga dua meter. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Helen menuturkan, kobra sebenarnya merupakan satwa yang diekspor, terutama kobra jawa. Selama tiga tahun ke belakang, bila kita lihat pemanfaatannya, ekspor kulit kobra dari Indonesia anjlok. Dari kuota tangkap di alam sebanyak 150 ribu ekor per tahun, turun drastis hanya menyisakan 30 persen.

Anak-anak kobra yang tumbuh besar, dalam jangka waktu tiga tahun itu, sudah matang secara dewasa kelamin untuk berkembang biak. “Saat ini, justru yang banyak diburu adalah saingan kobra itu sendiri, jenis-jenis ular tidak berbisa yang statusnya non Apendiks CITES. Sebut saja ular jali atau sapi lanang. Sementara kobra jawa, statusnya Apendiks II CITES,” terangnya.

Ular saingan kobra yang banyak diburu ini sifat dan perilaku berkembangbiaknya mirip kobra. Akibatnya, saingan kobra alias kompetisi sesama ular jauh berkurang. “Selain fenomena alam, perburuan ular pesaing kobra dan menurunnya kuota ekspor membuat kondisi ini saling melengkapi. Jadi, kita harus melihat ini semua secara lengkap, menyeluruh, sebagai satu kesatuan ekosistem, demi perbaikan kondisi lingkungan ke depan,” ujar perempuan yang juga meneliti buaya.

Harus dipahami, persaingan sesama ular ini bisa dilihat dari perebutan tempat bersarang hilang saling memakan telur. Ular yang diburu saat ini, selain kobra, biasanya diekspor untuk dikonsumsi yang sebagian besar ke China. “Aturan ekspor kobra sudah ada sejak 10 tahun lalu dan statusnya bukan satwa dilindungi,” tutur Helen yang terus mencermati angka kuota kobra.

 

King kobra [Ophiophagus hannah], ular sangat berbahaya. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Terkait maraknya kobra yang masih saja berkeliaran di permukiman warga, Helen menyatakan, memang harus disikapi secara baik dan waspada. Ini dikarenakan racun pada jenis yang dikenal dengan sebutan ular sendok itu sungguh berbahaya.

“Saya pribadi, tidak akan membunuh. Baiknya ditangkap oleh ahlinya lalu dilepaskan lagi di habitat yang sesuai, jauh dari kehidupan masyarakat.”

 

Serum antivenom untuk gigitan ular. Foto: Rhett Butler/Mongabay.com

 

Bagaimana cara menghindari gigitan kobra, apalagi bila rumah kita terendam banjir? Ini saran Helen. Pertama, gunakan sepatu boots selalu saat membersihkan rumah, demi keselamatan. Dengan begitu, kobra ataupun anakannya tidak akan mematuk kaki. Lengkapi juga dengan tongkat ular, jika tidak ada bikin dari kayu. Ingat, kobra itu jago berenang.

Kedua, untuk sekitar rumah, bersihkan segala kotoran ataupun sampah yang disukai tikus. Tikus adalah mangsa utama kobra di permukiman yang terus dikejar hingga dapat.

Ketiga, kobra umumnya menyukai habitat persawahan, pekarangan, padang rumput, maupun hutan terbuka. Ini alasannya kenapa kobra muncul di lingkungan kita: di gorong-gorong kering atau rumah tidak terawat yang ada lubang untuk bersarang.

“Bila tidak ada makanan biasanya ia hanya melintas sebentar. Andaipun kobra menaikkan badan, itu pertanda hidupnya terancam dan kita harus menjauh karena kobra dapat menyemburkan racun. Meskipun, sifat alami ular menghindar manusia,” tegasnya.

 

 

Exit mobile version