Mongabay.co.id

Turun Temurun Jaga Madu Sialang

 

 

 

 

 

Langkah kaki Baihaki, melambat ketika mengajak saya menuju pohon kedundung di halaman rumahnya. Lelaki 51 tahun ini berinisiatif menanam pohon sialang, biasa tempat lebah madu hutan bersarang.

Tak sampai 20 langkah, kami sudah tiba di pohon berdahan banyak, tinggi baru 2,5 meter, daun rapat dan lebat. “Kedundung ini, pohon duit kalau ado tuahnyo,”katanya.

Baihaki mengitari pohon sejenak lalu duduk di balai-balai rumah. “Pohon ini sengaja saya tanam untuk anak cucu nanti, ini di hutan makin langka.”

Di sana sudah duduk Juri, ayah Baihaki yang mulai pikun. Kakek 80 tahun ini megulang-ulang tentang kejayaan masa lalu panen besar madu dari pohon sialang yang mereka miliki.

Juri punya satu sialang yang dia wariskan pada Baihaki. Juri punya lima anak. Dia memilih Baihaki yang mengelola sialang karena anak laki- lakinya itu mampu memanjat.

Desa Suo-suo, Kecamatan Sumay, Kabupaten Tebo, Jambi, pemanjat sialang diberi gelar juaro. Baihaki Juaro di kampungnya.

Juri tak bisa memanjat. Dulu, Juri berbagi hasil dengan tim pemanjat dan teman-teman lain yang menunggu di bawah sialang saat panen madu berlangsung.

Baihaki nekat saja memanjat sialang milik ayahnya, karena sejak kecil hobi memanjat. Dia tidak pernah ragu atau takut saat pertama kali memulai.

Dia bilang, kalau memanjat sialang hanya satu kuncinya, harus yakin bisa dan fokus. “Itu saja.”Sejak lima tahun terakhir, Baihaki tak lagi mampu memanjat. Tubuh menua dan kaki yang kerap sakit membuat Baihaki berdamai dengan keinginan.

Sialang pun berpindah ke tangan Sumarji, anak laki-laki nomor duanya juga mengikuti jejak Baihaki jadi juaro.

Baihaki generasi pemanjat lama, biasa panjat sialang di malam hari. Mereka 5-7 orang sekali panjat. Ada tiga juaro memanjat pohon setinggi 30-50 meter. “ Ini tergantung sarang lebah di dahan.. Kalau banyak yang manjat bisa bertiga selebihnya nunggu di bawah,” katanya.

Diameter bagian bawah sialang bisa mencapai tujuh meter, bagian tengah pohon rata-rata tiga meter. Dahan tempat lebah bersarang bisa hanya berdiameter satu meter.

“Ada hanya 50 cm besar lingkarannya. Kami harus ambil, tidak ada pilihan kalau sudah di atas.”

Dulu, katanya, para juaro memanjat di malam hari dan beramai-ramai. Mereka menggunakan tunam, tali kelat, tembalang, lantak dan saluran.

Tunam adalah obor terbuat dari kulit kayu gaharu untuk menggiring ratu lebah dan pasukan menjauhi sarang dan ke bawah. Tali kelat akan mengikat kayu lias yang disusun memanjang ke atas pucuk sialang.

Kayu lias berada di tengah antara lantak bambu yang ditancapkan ke batang sialang. Semacam pegangan mempermudah juaro naik ke atas.

“Tembalang ini diikat dengan tali dan naik serta turun dioperasikan oleh penunggu di bawah. Langsung disaring dalam saluran terbuat dari bambu untuk menyaring madu dari lebah yang tertinggal dan lilin.”

Semua orang bersuka cita menyambut ember berisi madu. Madu dibagi rata beberapa bagian, buat juaro, pemilik pohon dan para pendamping yang menunggu di bawah.

Seiring waktu, tradisi memanjat sialang berubah sekitar lima tahun terakhir. Panen madu tidak lagi malam hari, dan lantak diganti paku-paku berukuran panjang sekitar 15 cm.

 

Juaro sedang panjang sialang untuk panen madu. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

Panen madu biasa pagi hari dan tim pun lebih sedikit. Kalau dulu panen madu pesta bagi hampir seluruh warga kampung. Hampir semua orang dapat bagian madu, madu tak mereka jual hanya konsumsi saja sebagai obat dan penambah stamina.

Sekarang, madu jadi sumber mata pencaharian bernilai jual tinggi hingga panen dua atau tiga orang saja. “ Tidak banyak pembagian nanti, dibagi tiga untuk pemilik, juaro dan pendamping di bawah,” kata Sumarji.

Sumarji mengeluarkan seragam kebanggaan sebagai juaro. Seragam itu terbuat dari jaket berwarna gelap dengan jahitan saringan minyak bekas di bagian depan.

Sumarji bercerita, sebelum memakai seragam itu harus menggunakan lima lapis baju bagian dalam dan tiga lapis celana. Zaman dulu, katanya, pemanen hanya pakai kaos dan celana panjang.

Lebah yang bersarang di sialang ini liar dan berukuran besar.“Panen pagi dan siang lebih berisiko tersengat lebah jika dibandingkan malam hari, maka pakaian begini.”

Tangannya memakai berlapis-lapis sarung untuk melindungi jari. Pun dengan kaos kaki sampai lima lapis juga. “Cuma panas saja tantangan kami memanen madu sekarang. Pakaian berlapis ini membuat sedikit sulit bergerak tapi daripada digigit lebah,” katanya.

Desanya, banyak sialang. Dari 600 keluarga yang terdaftar di Desa Suo-Suo ada sekitar 30 orang masih punya sialang.

“Selebihnya, ada tumbang karena faktor alam dan manusia. Padahal, desa kami masih ada aturan tak tertulis denda menumbang sialang.”

Tak semua pemilik sialang bernasib baik. Kadang, walau ada sialang, lebah tak mampir. “Tuah kayu, ini tergantung tuah. Nasib-nasib untung juga,” kata Baihaki.

Kalau bernasib mujur, satu pohon bisa bertengger 20-30 sarang. Satu sarang bisa 10 liter madu. Madu dulu sempat dijual hanya Rp40.000-Rp60.000 perkilogram. Ada penampung datang dari Tebo. Sekarang, mereka sedikit sumringah dengan harga Rp80.000-Rp100.000 per kilogram.

“ Ini masih tidak sebanding dengan nyawa yang harus dipertaruhkan untuk mengambilnya. Kalau kami berharap bisa di atas Rp100.000 perkilogram dari kami,” kata Sumarji.

Di desa mereka berselang tiga tahun lalu ada juaro yang mati jatuh dari sialang. “ Menantu Pak Wahab, yang meninggal. Diok manjat malam.”

Sejak saat itu, tak ada juaro berani memanjat malam hari. Juaro yang tersisa di Desa Suo-Suo berkisar kurangsekitar 10 orang. Generasi penerus makin menyusut.

Tak ada yang mau jadikan anaknya sebagai kader juaro. Sumarji punya seorang putera. Ega Prayitno baru berusia sembilan tahun. Sumarji enggan kalau nanti anaknya jadi juaro.“Dia harus sekolah tinggi, jadi orang. Jangan bertaruh nyawa untuk hidup seperti saya!”

Sumarji sehari-hari menyadap kebun karet. Pada musim panen madu, Sumarji sudah tak menyadap hampir dua bulan.

Dia hanya mengandalkan memenuhi kebutuhan sehari-hari dari mengambil buah-buahan dan merpayang di hutan.

“Merpayang bisa dijual Rp45.000 perkilogram, terkadang kalau lagi mujur bisa ambil jernang. Ini lebih mahal, bisa ratusan ribu perkilogram buahnya saja.”

 

Aturan adat jaga sialang

Adnan, tokoh adat Desa Sup-Sup, memperbaiki posisi duduk. Lelaki 72 tahun ini bersila menghadap pintu luar. Dia cerita kalau sialang diatur dalam adat sejak turun-menurun secara tak tertulis.

Sialang jadi pohon dilindungi. Kalau ada yang ingin membuat ladang d isekitar sialang, kata Adnan, harus jarak sekitar satu kilometer di sekelilingnya tak boleh ditebang. Bunga pohon-pohon ini akan menyuplai madu untuk lebah yang bersarang di sialang.

Bagi penebang sialang akan kena denda. “Penebang harus bayar denda senilai kain untuk melilit semua batang sialang dari akar, batang dan dahan. Sialang dililit dan sebanyak itulah denda yang harus dibayar,” kata Adnan.

Sama dengan menebang pohon-pohon buah dan tanam hutan juga kena denda. Sialang, merupakan harta turun menurun. Sialang bisa untuk membayar denda adat kalau pemilik atau anak-anaknya bermasalah adat.

“Sialang ini bisa jadi adat membayar denda dan pernikahan semacam mas kawin.”

Sialang boleh diperjualbelikan selama pemilik cocok. Dulu, sialang bisa dibeli dengan satu kambing. Zaman kepemimpinan depati, sialang ini kena pancung alas atau pajak. Pajak ini untuk kegiatan desa dan membantu masyarakat kurang mampu. Sekarang , kata Adnan, sudah tidak lagi.

Musim bunga dan buah juga penentu bagi pemimpin yang adil dan bijaksana. Adnan bilang, kalau kurang bunga dan buah, kurang juga madu. Ia bisa saja karena kesalahan pemimpin yang tak adil.

Mereka secara adat mempercayai hubungan seperti itu. Panen madu bisa empat kali dalam setahun. Pertanda panen raya biasa kalau buah bedaro (Dimocarpus malayensis) mulai berbunga.

“Kalau bedaro atau mato kucing berbunga, madu manis dan elok. Itu pertanda tahun ini bedaro berbunga lebat.”

Akhirnya, Adnan berharap, sialang jadi pohon adat yang tak surut oleh waktu.

 

Keterangan foto utama: Panen madu dari pohon sialang. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

Merpayang, alternatif mata pencaharian warga selain madu jernang. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version