Mongabay.co.id

Mungkinkah di Masa Mendatang Palembang “Tenggelam”?

Malam hari, warga biasa mancing ikan dan udang di dermaga berlatar Jembatan Ampera dan jalur rel LRT. Sukardi (38), tengah mencari peruntungannya mencari ikan di Sungai Musi. Foto: Nopri Ismi

 

 

Palembang merupakan kota yang sebagian besar kawasan lowland atau dataran rendah dipenuhi sungai, rawa dan gambut, yang dipahami masyarakat lokal sebagai rawang. Kota yang luasnya 36.920 hektar, jika tidak ditata sejak sekarang, kemungkinan besar akan “tenggelam”. Apa yang harus dilakukan?

Saat ini, setiap musim penghujan, sebagian Kota Palembang tergenang air atau banjir. Berbagai upaya dilakukan seperti menata saluran air, membersihkan sampah, dan lainnya. Namun banjir tetap terjadi. Upaya Pemerintah Palembang melancarkan saluran air, terlihat tidak didukung masyarakat. Berdasarkan pantauan Mongabay Indonesia, perilaku penimbunan rawa, anak sungai, atau menyempitkan anak sungai atau parit terus terjadi di permukiman masyarakat.

Kemungkinan Palembang di masa mendatang akan tenggelam, didorong oleh sejumlah faktor. Pertama, banyak rawa dan anak sungai di Palembang yang hilang atau mengalami kerusakan karena menyempit dan mendangkal, akibat sampah atau sengaja ditimbun untuk mendapatkan daratan. Ini menyebabkan hilangnya daerah resapan air atau air sulit mengalir, gampang tergenang.

Belum seratus tahun, Palembang yang tercatat memiliki 316 anak Sungai Musi pada 1930-an, kini kehilangan sekitar 221 anak Sungai Musi.

Baca: 221 Anak Sungai Musi Hilang, Pendangkalan Sungai di Medan pun Parah

 

Perahu ketek masih menjadi angkutan utama di Sungai Musi untuk jakur Palembang Ilir dan Palembang Ulu. Foto: Ikral Sawabi/Mongabay Indonesia

 

Kedua, kawasan lowland yang ada di sekitar Palembang, seperti di Kabupaten Muaraenim, Ogan Ilir, Banyuasin, Ogan Komering Ilir [OKI], saat ini mengalami kerusakan atau berubah fungsi. Ini dikarenakan alih fungsi lahan menjadi perkebunan, pertanian, dan lokasi infrastruktur. Akibatnya, fungsinya sebagai kawasan resapan air hilang. Bahkan setiap musim kemarau, sebagian wilayah terbakar, dan asapnya menyerang warga Palembang.

Hilangnya fungsi dataran rendah sekitar Palembang menyebabkan air dari Palembang tidak mengalir baik, menuju wilayah pesisir timur Sumatera. Air yang mengalir hanya mengandalkan Sungai Musi.

Ketiga, akibat perubahan iklim yang tengah berjalan saat ini, permukaan air laut terus naik. Naiknya permukaan air laut ini pula yang berdampak tertahannya aliran air dari Sungai Musi.

Keempat, kerusakan hutan di wilayah hulu Sungai Musi atau DAS [Daerah Aliran Sungai] Musi, sebagai akibat perkebunan, pertanian, dan penambangan, menyebabkan air tidak lagi tertampung di hutan. Air langsung mengalir ke Sungai Musi.

“Bayangkan di masa depan, ketika hujan turun berhari-hari, maka Palembang dan sekitarnya yang sudah kehilangan kawasan resapan air, dapat menjadi sebuah danau. Air tidak pergi ke mana-mana, termasuk ke laut karena permukaan air laut naik,” kata Dr. Edwin Martin, peneliti dari Litbang LHK Palembang.

Baca: Dilarang Jalan Darat, Sungai Musi Terancam Angkutan Batubara?

 

Rumah-rumah panggung yang masih bertahan di kampung 14 Ulu, Palembang. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Kecemasan Palembang dan beberapa kota lainnya di Sumatera Selatan dapat “tenggelam” sebagai dampak perubahan bentang alam, juga dikatakan Dr. Damayanti Buchori, guru besar dari IPB [Institut Pertanian Bogor].

Katanya, berdasarkan data, sekitar 35 persen dari 8,7 juta hektar luas wilayah Sumatera Selatan merupakan kawasan lowland. “Jadi, memahami lowland, kita harus sadar bahwa daerah rawa, pasang surut, merupakan kondisi normal yang ada di Sumatera Selatan,” terangnya, akhir Januari 2020.

Masalahnya, ketika kawasan lowland, yang bergambut, berair, kemudian diubah fungsinya menjadi perkebunan, maka wilayah yang seharusnya tidak terbakar, justru sekarang sering terbakar. Jadi ada perubahan ekosistem yang diakibatkan pembangunan. “Menjadi ironis, lowland yang seharusnya basah, kok terbakar terus-menerus.”

Selain kebakaran, perubahan bentang alam berdampak pada banjir di masa mendatang, di Sumatera Selatan. “Risiko banjir akan meningkat di masa mendatang. Sehingga tata kelola air menjadi sangat penting dalam memahami lanskap untuk Sumatera Selatan,” kata Damayanti, Direktur Proyek KELOLA Sendang [Sembilang-Dangku] di Sumatera Selatan, yang berjalan 2016-2020.

Tanda-tanda Palembang maupun kawasan lain di wilayah lowland akan tenggelam, terbaca oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [Walhi] Sumatera Selatan. Ada dua pulau kecil yakni Pulau Betet dan Pulau Gundul yang berada di Kabupaten Banyuasin, sebagian wilayahnya tenggelam, yang diperkirakan karena naiknya permukaan air laur.

Elevasi atau ketinggian Pulau Betet turun sekitar satu meter dari permukaan air laut, dan Pulau Gundul sekitar tiga meter turun. Pada 2020, Walhi Sumatera Selatan memperkirakan ada empat pulau lain yang terancam tenggelam yakni Pulau Burung, Pulau Salahnamo, Pulau Kalong, dan Pulau Keramat.

Baca: Kejayaan Bahari dan Kesadaran yang Hilang Merawat Sungai Musi

 

Malam hari, warga biasa mancing ikan dan udang di Sungai Musi berlatar Jembatan Ampera. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Bangsa bahari

Masyarakat Sumatera Selatan, termasuk Palembang, adalah masyarakat melayu yang tumbuh sebagai bangsa bahari. Mereka memandang bentang alam sebagai “lautan” bukan daratan.

“Sebagai orang bahari, mereka sangat menghargai air. Baik yang berada di lautan, sungai, danau, hingga rawa. Selama ratusan tahun, air sangat mereka hormati. Mereka tidak pernah merusak atau mengubah bentang alam yang terkait keberadaan air. Mereka justru beradaptasi dengan bentang alam. Mereka membangun rumah rakit, rumah panggung, membuat perahu, dan sebagainya, sehingga mereka bebas dari berbagai bencana,” kata Dr. Husni Tamrin, budayawan Palembang.

Bahkan, beragam tradisi dilakukan masyarakat melayu terhadap air, “Misalnya dilakukan sedekah laut, sedekah sungai, danau, dan lainnya. Ini sebagai rasa syukur dan juga sebagai pengingat bahwa begitu pentingnya keberadaan air, agar menjadi kawan bukan lawan atau musuh. Mereka tidak melawan alam, mereka membangun hubungan harmonis dengan alam,” ujar Husni.

Persoalannya, kata Husni, gelombang terakhir bangsa yang datang ke Nusantara, yakni bangsa Eropa, India, dan Timur Tengah, mengubah budaya masyarakat bahari atau melayu ini, menjadi kebudayaan kontinental atau daratan.

“Perubahan ini mulai dari pembuatan jalan darat, pertanian, perkebunan, hingga bangunan. Faktanya, hari ini kesadaran sebagian besar orang melayu sudah seperti orang kontinental,” ujarnya.

Baca: Mengembalikan Peradaban Bahari untuk Atasi Radikalisme

 

Relief kapal Kerajaan Sriwijaya tahun 800-an Masehi yang terukir di Candi Borobudur. Foto: Nuswantoro/Mongabay Indonesia

 

Tata kelola air

Damayanti menuturkan, jika Sumatera Selatan ingin bebas dari kekeringan dan banjir, sangat dibutuhkan upaya serius dan berkelanjutan terkait tata kelola air. Khususnya, di lowland seperti gambut dan rawa. “Kalau tata kelola air tidak dijalankan dengan baik, kemudian pengelolaan gambut tidak dijalankan dengan rapi, bencana ke depan itu akan terjadi. Ini harus disikapi dengan sangat hati-hati.”

Pernyataan yang sama disampaikan Edwin. “Harusnya, pemerintah fokus pada tata kelola air. Persoalan kebakaran di rawa gambut, sebetulnya tidak akan terjadi jika tata kelola airnya baik. Artinya, kita bukan berpikir bagaimana mengatasi kebakaran, tapi bagaimana menjaga air tetap ada di rawa gambut. Rawa gambut tetap berair, maka kebakaran tidak akan terjadi atau gampang diatasi,” ujarnya.

Guna melahirkan kesadaran tata kelola air, tentunya tidak mudah. “Selain membangun kesadaran di masyarakat, para pemimpin atau penyelenggara negara juga harus memiliki kesadaran yang sama,” kata Husni.

Baca juga: Berharap “Batin Melayu” Menyelamatkan Alam dan Manusia di Indonesia

 

Hutan Sumatera yang tidak hanya penting bagi kehidupan manusia tetapi juga tempat hidupnya satwa liar. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Pemimpin yang memiliki kesadaran tersebut, tentunya pemimpin yang memiliki “batin melayu” atau memahami kebudayaan melayu. “Sebelum memiliki batin melayu, dia harus paham apa itu kebudayaan melayu. Dia harus mampu mengharmoniskan kepentingan dunia dan akhirat dalam batinnya. Keharmonisan inilah yang menjadi dasar seseorang untuk bersikap arif terhadap lingkungan, khususnya mampu berpihak dan bekerja untuk menata lingkungan, terutama tata kelola air.”

“Pemimpin yang memiliki batin melayu tentu saja tidak ingin Palembang atau berbagai wilayah lain di Sumatera Selatan tenggelam akibat banjir atau kekeringan. Dia tidak tergoda berbagai investasi yang merusak lingkungan. Sebab, dia ingin masyarakat selamat di dunia dan akhirat,” tegasnya.

 

 

Exit mobile version