Mongabay.co.id

Sinyal Kuat Konflik Macan Tutul dan Manusia di Muria

 

 

 

 

Sepetak tanah basah karena hujan di Komplek Semarang Zoo jadi liang kubur satu macan tutul Jawa (Panthera pardus melas). Tempat peristirahatan terakhir itu berjarak lebih dari 100 km dari habitat asalnya, di hutan Gunung Muria.

Dalam keterangan BKSDA Jawa Tengah, warga bernama Siti yang tinggal di Dukuh Beji, Desa Plukaran, Kecamatan Gembong, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, menemukan macan tutul itu sudah mati pada Minggu, 12 Januari lalu.

Lokasi penemuan di ladang tak jauh dari hutan. Dari video dan foto yang beredar, kopi berusia muda terlihat di sekitar lokasi. Beji adalah dusun tertinggi Desa Plukaran, yang berbatasan dengan hutan negara.

Baca juga: Habitat Tergerus, Macan Tutul di Muaria Makin Terancam

Empat hari kemudian, Kamis, 16 Januari, bangkai macan tutul di ruang autopsi rumah sakit Bhayangkara Semarang. Bilqisthi Ari Putra, dokter ahli forensik veteriner mendapat tugas menginvestigasi secara medis penyebab kematian sang macan.

Pada Senin, 20 Januari, laporan visum keluar. Dia menyebutkan, macan tutul telah jadi bangkai lebih lima hari sebelum pemeriksaan. Kematian macan karena mengalami kekurangan oksigen akibat robeknya paru-paru dan diafragma.

Total ada delapan luka terbuka di sisi kiri. Delapan luka itu terdiri dari dua luka sedalam 3,5 cm-4 cm yang merobek dada dan paru-paru kiri. Ada pula luka di paha kiri sedalam 1-2 cm. Luka lain sedalam 0,1 cm. Panjang luka sisi kiri 1-7 cm. Dua luka sisi kanan, mengenai paha dan sebagian perut. Panjang sayatan 25 cm.

“Tepi luka rata, menandakan sayatan benda tajam setelah kematian,” kata Bilqisthi dalam laporannya.

Laporan juga menyebut, semua gigi taring terlepas, penampang ujung gigi mengalami erupsi minimum. Juga, terdapat tanda goresan paksa pada permukaan gigi menandakan pelepasan paksa setelah kematian.

Pelakunya, siapa lagi kalau bukan manusia, karena tak ada makhluk lain yang tertarik memiliki gigi taring macan tutul.

Macan diduga tak makan dalam waktu 24 jam sebelum kematian yang diketahui dari tak ada sisa makanan pada usus halus dan usus besar. Kandung kemih juga kosong. Ada tulang belakang mamalia kecil di kerongkongan. Belum jelas itu tulang binatang apa.

Tidak ada proyektil memastikan penyebab luka dan kematian bukan karena ditembak. Pemeriksa juga tidak menyebut ada racun. Permukaan bagian dalam lambung disebutkan tidak terdapat kelainan.

Ekor macan terputus, dengan ciri luka rata pada tepi dan sudut luka miring. Bagian ekor terputus pajang sekitar 30 cm. “Menandakan luka benda tajam,” kata Bilqisthi dalam laporan itu.

 

Hasil visum macan tutul jantan di Muria. Foto: istimewa

 

Persaingan pejantan?  

Darmanto, Kepala BKSDA Jawa Tengah mengatakan, berdasarkan hasil diskusi dengan dokter hewan yang memeriksa patologi anatomi macan tutul dapat disimpulkan kematian karena cakaran individu satwa lain.

“Besar dugaan luka robek pada dada yang menembus paru-paru karena cakaran individu satwa buas (macan tutul) lain. Dimungkinkan karena perebutan areal jelajah,” tulis Darmanto, Senin, 27 Januari lalu, dalam keterangan kepada media.

Dihubungi Mongabay, Budi Santoso, Pejabat Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) Muda BKSDA Jawa Tengah mengatakan, macan tutul turun ke wilayah yang ditinggali warga sudah beberapa kali terjadi.

“Mungkin karena faktor persaingan dalam relung fungsi individu di dalam habitat. Apalagi, yang kemarin ditemukan itu jantan. Jadi persaingan antar pejantan,” katanya.

Dia tak mau berspekulasi soal kecukupan makanan di Gunung Muria bagi satwa di puncak rantai makanan ini.Untuk itu, perlu kajian lebih dalam dengan melihat berbagai faktor.

“Kami tidak berani berspekulasi kalau belum menghitung daya dukung. Kondisi Gunung Muria seperti apa, jumlah macan tutul berapa, aman untuk dihuni macan tutul berapa ekor. Kalau di kurva maksimal pasti saling predasi. Saling memakan, saling kelahi. Nanti jumlah akan turun lagi,” katanya.

Temuan macan tutul di lereng Muria bagi BKSDA setidaknya jadi sinyal keberadaan satwa itu di sana. Ia juga mengasumsikan hutan terjaga, vegetasi bagus, rantai makanan berjalan sempurna, dan aliran energi berjalan baik.

“Kita nanti tinggal lihat lagi, kawasan itu sebenarnya seperti apa. Kita juga mendengar yang di atas katanya ada yang bolong. Itu perlu dicek lagi karena itu kawasan Perhutani,” katanya, berharap masyarakat sekitar kawasan tetap menjaga lingkungan.

“Suka tidak suka, mau tidak mau, macan tutul sudah tinggal di situ. Kalau hutan lindung terjaga, masyarakat konsisten, pemangku kebijakan juga konsisten menjaga semua tetap lestari ini pasti aman.”

Budi mengatakan, gigi taring, dan potongan ekor macan mati diserahkan ke BKSDA.

Didik Raharyono, peneliti karnivora Jawa memperkirakan si macan jantan remaja itu sedang mencari home range baru setelah disapih. Dia harus berkelahi dengan jantan lain yang sudah memiliki kawasan tertentu.

“Anakan jantan memang harus terpisah jauh dari induknya, bisa 10-15 km. Mungkin secara alami untuk menghindari kawin dengan saudara dekat. Biasanya ada satu betina yang dilahirkan. Kalau betina umumnya masih di sekitar induknya,” katanya.

Beberapa waktu lalu, Shokib, Ketua Paguyuban Masyarakat Pelindung Hutan (PMPH) Muria mengabarkan kalau macan tutul yang menerkam ayam warga terambil gambar lewat kamera pengintai. Saat itu, katanya, warga sedang ronda. Sekitar tengah malam mereka mendengar ayam gaduh yang berjarak 25 meter dari tempat berkumpul. Ketika didekati ada bercak darah yang mengarah ke kebun kopi.

“Itu kemungkinan betina yang melahirkan anak-anaknya, cenderung dekat perkampungan supaya pejantan tidak berani mengikuti sampai aman untuk melahirkan. Ia juga mengonsumsi hewan yang mudah diburu. Kalau orang kampung bilang iki macan ngloloh (ini macan yang sedang memberi suapan ke anaknya).”

 

Buntut macan tutul yang terputus. Foto: istimewa

Dia berpendapat, populasi macan tutul di hutan Muria termasuk padat. Itu mengacu pada pengamatan terbaru sepanjang Agustus-November 2018, yang mendapatkan 13 macan tutul dalam luas pengamatan 53,32 km persegi. Pengamatan oleh The Nature Conservancy (TNC) Indonesia, dibantu PMPH Muria, dan Djarum Foundation.

“Kalau melihat data yang dikumpulkan teman-teman PMPH, TNC, dan Djarum Foundation sekitar 15.000 hektar dihuni minimal 13 individu menurut saya padat,” katanya ketika dihubungi Mongabay, 27 Januari.

Selama tidak terjadi pembukaan hutan seperti di timur Muria, katanya, habitat macan tutul di Muria, relatif aman.

“Bisa saja terjadi inbreeding meski harus ada kajian lebih dalam. Karena macan tutul kemungkinan bisa menyeberang ke utara lewat kebun karet, menuju Cagar Alam Clering, sisi timur laut.”

Dalam pengamatan, di wilayah itu ada subpopulasi masih satu rangkaian dengan Muria, meski dibatasi perkampungan dan sawah.

“Kemungkinan menyeberang lewat DAS, hulu, jalur-jalur sungai. Kalau malam bisa lewat sana. Ada kasus, sempat terjadi macan tutul tertangkap di Tayu, beberapa tahun lalu kemungkinan itu jalur terdekat ke Clering.”

Didik diminta membantu mengidentifikasi keberadaan macan tutul di Jawa Tengah itu, pernah menemukan dalam satu kawasan seluas 4 km persegi terpantau dua dewasa, dan tiga remaja macan tutul.

“Tapi kemungkinan titik yang terpantau itu merupakan perlintasan masing-masing home range beberapa individu, karena sebelumnya pada 2017 terpantau ada tiga pejantan di satu lokasi. Kemungkinan seperti perempatan. Sebelah mana kawasan si A, lainnya kawasan si B.”

Dia katakan, bagian atas Colo yang diamati, kebetulan hutan masih terjaga. Jadi, memungkinkan macan tutul memilih melahirkan di tempat itu karena kondisi masih bagus. Warga ikut menjaga kawasan hutan yang tergabung dalam paguyuban.

Dalam catatan, sejak 2000 hampir setiap 2-3 tahun sekali ada individu muda mencari teritori baru. Umumnya, mereka melintas di area yang juga dirambah manusia. Jadi warga perlu memiliki pemahaman kebiasaan macan tutul di wilayah mereka tinggal.

“Waspada bukan berarti mengibarkan bendera perang, tetapi lebih ke arah menghalau. Dengan bunyi-bunyian macan tutul bisa kembali ke hutan.”

 

Gigi macan tutul terlepas. Foto: istimewa

 

Habitat menyusut

Hendra Gunawan, peneliti ahli utama Konservasi Keanekaragaman Hayati, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan membenarkan asumsi jantan muda itu sedang mencari teritori baru. Jantan mencari teritori baru, katanya, karena tak tersedia di lokasinya dampak penyusutan atau degradasi hutan. Akhirnya, mereka kerap tertangkap bahkan terbunuh oleh manusia. Degradasi hutan, katanya, karena penggarapan atau penebangan.

“Segi positifnya, kejadian ini bisa juga menunjukkan ada pertambahan macan tutul, atau populasi berkembang. Sayangnya, daya dukung dan daya tampung habitat tidak mencukupi. Ini biasa diperparah degradasi habitat dan penyusutan habitat,” katanya menjawab pertanyaan Mongabay.

Di habitat miskin satwa mangsa, ada kemungkinan macan tutul jantan harus lebih cepat meninggalkan induknya, pada usia 15-16 bulan. Pada habitat melimpah satwa mangsa, kata Hendra, macan tutul jantan muda lebih lama tinggal, sampai umur 24 bulan.

Dari berbagai penelitian disebutkan, macan tutul mudah beradaptasi dengan mangsa. Satwa predator ini memangsa apa saja mulai dari hewan kecil sampai tiga kali berat tubuhnya. Perkiraan macan tutul yang mati itu tak makan dalam 24 jam terakhir menimbulkan sejumlah pertanyaan.

“Ini menunjukkan dua hal, pertama, populasi satwa mangsa di Gunung Muria, sudah sangat sulit dijumpai hingga dalam 24 jam terkahir macan tutul belum menemukan mangsa. Kedua, bisa jadi macan tutul muda ini belum mahir berburu namun sudah disapih induknya hingga mendekat ke pemukiman untuk mendapatkan mangsa mudah, misal, ayam atau kambing.”

Mengenai luka, dia mempertanyakan kesimpulan karena perkelahian sesama macan tutul. “Bila menyimak lebar luka dan banyak luka serta dalam luka, kecil kemungkinan karena perkelahian dengan sesama macan tutul.”

Perkelahian antar jantan dalam memperebutkan teritori, katanya, biasa tak sampai mematikan, bahkan seringkali dalam perebutan teritori sesama jantan hanya memberi sinyal dengan auman mengusir atau menandai batas-batas teritori dengan urin, feces atau cakaran di pohon.

Sayangnya, dalam visum tidak tergambar jelas pola luka, hingga sulit menduga penyebab luka-luka itu. Secara logika, katanya, cakaran macan lain pasti meninggalkan sayatan empat kuku sejajar.

Bagi Hendra, temuan macan tutul muda mati dengan luka tusuk dan sayatan, ditambah ada upaya memiliki bagian-bagian tubuh itu mengindikasikan ada konflik antara manusia dan macan tutul.

“Jika kematian macan tutul akibat perbuatan yang disengaja untuk menghilangkan lawan konflik, konflik ini sudah pada level darurat. Artinya, harus segera ditangani komprehensif, melalui berbagai pendekatan.”

Dia bilang, Gunung Muria bisa jadi habitat pulau dari sebelumnya habitat besar macan tutul Jawa. Hal itu terjadi kala deforestasi terus menerus, dan hutan terfragmentasi. Padahal, Gunung Muria, pernah jadi salah satu habitat terbaik macan tutul Jawa.

“Jika terjadi demikian ada ancaman lain yang dapat mempercepat kepunahan macan tutul di lokasi itu, yaitu inbreeding yang akan menghasilkan individu-individu macan tutul lemah dan memiliki daya tahan rendah.”

Hendra bilang, menyelamatan hutan sama dengan menyelamatkan sistem penyangga kehidupan. Macan tutul, katanya, pemangsa puncak dalam ekosistem hutan di Jawa, semestinya jadi spesies payung dalam upaya konservasi kekaragaman hayati secara umum.

“Menyelamatkan spesies payung (macan tutul) berarti harus melindungi habitatnya agar tidak terdegradasi. Melindungi habitat macan tutul berarti harus menjaga hutan tetap lestari, tidak mengalami deforestasi, degradasi maupun fragmentasi.”

 

 

Keterangan foto utama: Macan tutul mati dengan banyak luka, buntut terputus dan gigi lepas. Foto: istimewa

 

Exit mobile version