Mongabay.co.id

Yang Tersisa dari Pantai Kami…

 

Penimbunan pantai Manado yang terjadi pertama kali 14 tahun silam telah menyingkirkan peradaban yang berlangsung di pesisir sejak berabad lampau. Kala itu masyarakat mengaminkan, reklamasi harus terjadi dengan alasan percepatan ekonomi. Tapi di sisi lain itu adalah perampasan ruang hidup nelayan.

Ruang hidup warga pesisir tak pernah menjadi alasan kuat agar penimbunan pantai jangan dilakukan. Justru Cornelis John Rantung, Gubernur Sulawesi Utara yang menginisiasi reklamasi kala itu, memulainya dengan narasi bahwa penimbunan adalah upaya melindungi kota dari amuk pantai. Sehingga nelayan tak perlu khawatir perahunya tersapu gelombang di musim angin Barat.

Pengganti Rantung adalah Evert Ernest Mangindaan, kian menabalkan proyek ambisius reklamasi pantai Manado sepanjang 10 kilometer dan menjorok ke laut sejauh 500 meter. Areanya dimulai dari kawasan Bahu di Selatan menuju pusat kota. Fungsi laut yang ditimbun tidak lagi sekadar melindungi Manado dari terjangan ombak. Dataran baru itu akan menjadi pusat kehidupan berorientasi peningkatan ekonomi.

Maka reklamasi dilakukan bertahap. Kampung-kampung nelayan yang semula terletak di pesisir pantai perlahan hilang, sebagaimana juga kehidupan pemukimnya yang terbangun sebelum abad ke-18.  Teluk Manado dalam catatan sejarah adalah ceruk yang mulai dihuni manusia Kuritis dan Lawangirung —sebutan buat kaum berambut keriting dan berhidung pesek— pada abad ke-8. Setelah mereka punah, penggantinya adalah orang Malesung yang kemudian disebut Minahasa. Penduduk asli ini kemudian berpindah lebih ke dalam, menghindari pesisir karena sering diserang perompak Mindanao.

Pada abad ke-17, Teluk Manado semakin ramai dikunjungi pendatang lintas negara. Mereka adalah pedagang dari Cina dan Arab, selain orang Eropa yang melakukan invasi penaklukan. Selain itu masuk pula masyarakat dari Gorontalo, Sangir, Ternate dan Bugis Makassar. Pendatang dari Belanda mendirikan Benteng Niuew Amsterdam pada 1703, menjadikan tempat baru di pesisir ini makin aman dari serangan Mindanao. Orang Minahasa sudah mulai berani turun gunung dan menjadi pemukim pesisir. Di lokasi ini mereka memiliki profesi baru sebagai nelayan, pembuat garam dan kerja lain terkait dunia kelautan.

baca : Kesejahteraan Nelayan Manado, Ironi di Tengah Perkembangan Ekonomi

 

Bocah-bocah beraktivitas di pesisir Karangria, satu-satunya kawasan pantai yang tersisa di Manado Utara, Sulut. Foto: Ady Putong/Mongabay Indonesia

 

Manado awalnya telah tercipta sebagai kawasan yang homogen, begitu juga pola mukimnya. Beragam komunitas dari banyak latar belakang budaya seperti menyatu dalam sebuah instrumen kehidupan di tepian pantai. Kultur pesisir itu terpelihara dari jauh di belakang hingga ke masa depannya. Selain kaum Malesung, warga yang mencari peruntungan dari kehidupan melaut sebagian besar adalah orang-orang Sangir yang datang dengan perahu Kora-kora ke Teluk Manado. Di pulau-pulau tempat asalnya, mereka juga hidup dari melaut dan terbiasa menantang ombak. Yang terbanyak adalah etnik Bawontehu, sebutan untuk warga dari pulau-pulau di Teluk Manado.

Warga lokal kemudian kawin-mawin dengan penghuni di dalam Benteng Niuew Amsterdam, orang-orang Portugis-Spanyol dan Belanda. Dari merekalah muncul etnis yang disebut Burgers/Borgo. Para Indo-Eropa ini juga berdiam di sepanjang pesisir dari Manado hingga Tombariri. Setelah beberapa masa dilewati, kota di teluk itu kemudian mengalami guncangan hebat ketika perang saudara Permesta pecah pada 1958. Tentara pusat bisa lebih dulu menguasai Manado setelah kota ini dibom dengan hebatnya dari udara.

Ketika peperangan berlanjut ke pedalaman Minahasa, terjadi arus urbanisasi besar-besaran ke dalam kota. Sepanjang pecah Permesta, dalam 3 tahun sejak 1958 penduduk Manado meningkat drastis dari 91.631 jiwa menjadi 129.912 dengan rata-rata pertumbuhan 5,9% per tahun. Penyintas perang memilih bertahan hidup di pesisir, mengeksploitasi laut, mencari ikan dan menebang bakau sebagai bahan bakar.

Tapi Manado terus membangun setelah pergolakan. Kampung-kampung nelayan di pesisir Malalayang, Bahu, Sario, Pondol, Titiwungen, Wenang, kemudian berlanjut ke sisi Utara di Singkil, Sindulang, Karangria dan Tumumpa tetap ada dan hidup dengan multi-kulturnya yang khas. Pada era 70-an hingga 80-an, ketika penduduk Manado di sisi dataran lebih tinggi telah tertidur, justru kehidupan tetap berdetak di pesisir seperti urung terlelap.

“Pada masa itu, kita akan memandang lampu-lampu dari perahu nelayan yang berderet indah memenuhi teluk,” kata budayawan dan penyair Iverdixon Tinungki, yang lama mendiami kawasan pesisir Manado.

Menjaring dan menangkap ikan bagi nelayan di pesisir Manado adalah cara untuk melanjutkan hidup. Tapi itupun juga menjadi sebuah kultur yang menyatukan nasib ribuan nelayan yang tersebar di sepanjang garis pantai. Mereka berburu hasil laut dengan irama yang sama, dengan pukat yang dituntun Kana—lentera penanda tempat pukat terdampar. Nelayan penjaga Kana akan menanti, dan saat pukat ditarik ke darat seketika itu juga pantai akan riuh dengan teriakan “Hela haluan kemudi….” Orang-orang yang berjaga di daratan segera berlari ke arah laut untuk membantu menarik pukat.

Cara masyarakat pesisir mengucap syukur atas berkah hasil dari laut adalah kultur yang kini, saat pantai-pantai berganti rentetan beton, telah terlupakan. Pesta syukur itu kerap dilakukan saat purnama datang. Ketika itu kegembiraan membuncah. Ulas Iverdixon, masyarakat Borgo-Bawontehu pemukim pantai Manado merayakannya dengan Polka dan Katrili, tari-tari peninggalan Spanyol-Portugis yang berakulturasi seperti halnya orang Borgo hasil kawin campur warga lokal dan orang Eropa. Terkadang juga nelayan di sisi Utara merayakannya dengan tari Cakalele, sambil mengayun-ayunkan pedang dan mata yang melotot. Jadi ada masa ketika nelayan-nelayan di Teluk Manado menikmati hidup mereka dengan kelimpahan berkat dari hasil melaut.

Tapi saat reklamasi dikumandangkan untuk menutup pantai-pantai yang tersisa di pesisir Utara Manado, Paulus Heydemans, tokoh masyarakat Borgo-Bawontehu di Karang Ria bilang akan ada detil-detil yang terhapus dari kehidupan mereka.

“Kita akan kehilangan kahuang (stik yang diikatkan pada pukat dampar), sebab kalau nelayan jadi satpam di lokasi reklamasi maka kahuang dan soma (pukat) jadi berganti handy talkie dan pentungan,” ujar Paulus yang ditemui di rumahnya, Selasa (12/12/2019).

baca juga : Krisis Renegerasi Pasca Reklamasi, Nasib Nelayan Teluk Manado Kini [1]

 

Masyarakat nelayan di Kelurahan Bahu, Kota Manado, umumnya berasal dari etnis Sangihe. Itu sebabnya wilayah ini dikenal dengan nama LOS, Lorong Orang Sangir. Foto : Ilona Esterina/Mongabay Indonesia

 

Kabar soal penimbunan pantai sudah didengar sejak lama oleh Paulus dan nelayan, tapi belum berbentuk, masih desas-desus. Kepastiannya didengar langsung dari tuturan wakil pemerintah 2 bulan silam. Organisasi adat, nelayan dan masyarakat diundang ke kantor kecamatan Tuminting untuk melihat peta reklamasi. Menurut Paulus, penimbunan kali ini luas, bisa jadi satu kecamatan. Bahkan dia sempat mengusulkan nama kecamatan itu.

Laut dan pantai tidak bersertifikat kepemilikan, tapi menurut dia laut dan pantai merupakan hak asal-usul masyarakat. Masyarakat pesisir tak akan hidup tanpa kedua unsur ini. Diwakili Paulus Heydemans, masyarakat adat Borgo-Bawontehu bersama komunitas adat se-Indonesia pernah diundang Mahkamah Konstitusi beberapa tahun lalu. Intinya, menurutnya, MK mengatakan masyarakat adat berhak menegakkan hak asal-usul. MK mengingatkan untuk memperjuangkan hak tersebut, lawan mereka adalah pemerintah.

Tetapi kala setumpuk kepentingan datang bersama reklamasi, kisah yang dimulai di Selatan Manado lebih dua dasawarsa lalu kini menyeruak lagi di Utara. Warga sepanjang Sindulang hingga Tumumpa tak punya banyak pilihan. Di Karang Ria, mereka dengan sendirinya setuju.

“Tapi kami menuntut ada akses dari rumah nelayan ke fishing ground, sebelumnya di gambar itu lokasi tambatan perahu jaraknya 2 kilo dari Karang Ria,” kata Paulus. “Siapa tahu dengan adanya reklamasi itu anak-cucu kami bisa mendapat pekerjaan.”

Reklamasi Manado Utara yang siap dijalankan dalam keteduhan oleh pemerintah dan investor, disadari atau tidak oleh masyarakat, bisa berdampak pada daya tahan lingkungan terhadap bencana. Bagaimanapun juga mengubah bentang alam ada konsekuensinya. Ketua Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulawesi Utara Theo Runtuwene secara tegas menyatakan menolak. Kendati Walhi belum melakukan kajian, namun Theo mengedepankan logika berkaca pada peristiwa banjir bandang yang terjadi 2014 lalu di Manado. Saat itu ¼ kota terendam oleh banjir kiriman dari dataran lebih tinggi di Kabupaten Minahasa dan Kota Tomohon.

“Jadi silahkan pemerintah kaji apakah banjir bandang memang hanya diakibatkan oleh sampah, tetapi logika kami melihat peristiwa 2014 bisa disimpulkan memang daya tampung lingkungan di Manado sudah tidak memadai,” ujar Theo Selasa 12 Desember 2019.

Reklamasi di Manado Utara dikhawatirkan kembali mengancam pemukiman penduduk di dekat pesisir. Banjir yang melanda kawasan-kawasan itu di Manado Utara kerap terjadi saat musim penghujan memuncak setiap Februari. Tahun ini juga siklus pemuncak hujan telah mengakibatkan sejumlah kelurahan di Kecamatan Tuminting terendam air, walau tidak separah 2014.

Kata Theo, yang paling berbahaya apabila air kiriman dalam volume besar dari Danau Tondano turun ke Manado saat hujan. Bagian ujung anak sungai Tondano yang bermuara ke laut, bila mengecil akibat timbunan tanah, arusnya akan terpukul balik bila bertemu dengan air pasang.

“Volume air sudah di luar kapasitas, air hujan meluber ke selokan dan bisa-bisa bandang lagi seperti pengalaman kita lalu,” sebut dia.

Walhi menurut dia tidak anti dengan geliat pertumbuhan infrastruktur yang dikebut pemerintah daerah dan pusat di Manado. Tetapi bila alasannya adalah pertumbuhan ekonomi, maka yang menjadi kajian adalah siapa paling diuntungkan dengan reklamasi.

“Untungnya 1 tapi ruginya 5, ekonomi daerah bisa bertumbuh tetapi kerugiannya muncul dari sisi sosial, budaya dan infrastruktur masyarakat,” kata dia. “Demi alasan apapun kita jangan ‘membunuh’ masyarakat,” ujarnya lagi.

perlu dibaca : Reklamasi Pantai Berlanjut, Nelayan Sario Protes. Mengapa?

 

Aktivitas reklamasi pantai Kota Manado, tepat di sebelah Sekertariat Komunitas Nelayan FNPPM Kelurahan Malalayang, Kota Manado. Foto : Ilona Esterina/Mongabay Indonesia

 

Kecam Penimbunan

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Manado menyayangkan rencana penimbunan ini, menyusul penelusuran di lapangan berbentuk diskusi, wawancara, dan observasi dengan kelompok nelayan di Sindulang Satu, Sindulang Dua, Maasing, Karangria dan Tumumpa Dua, Kecamatan Tuminting.

Pemerintah Daerah Sulut menurut mereka telah menerbitkan Perda Nomor 1 Tahun 2017 tentang RZWP3K dan Pergub Nomor 16 Tahun 2018 tentang Reklamasi. Berdasarkan kedua payung aturan tersebut, Pesisir Utara Manado pun akan direklamasi seluas 175 Ha dengan tujuan pemanfaatan umum. Padahal di sepanjang pesisir Tuminting, terdapat 500 lebih keluarga nelayan yang menggantungkan hidup dari hasil laut.

“Perusahaan-perusahaan calon pengembang jauh dari publisitas. Profil-profil perusahaan perlu diketahui publik sebagai bahan kajian dan pertimbangan publik,” kata LBH Manado.

Hasil kaji mereka menemukan, kebutuhan Nelayan bertolak belakang dari solusi reklamasi pemerintah. Di Maasing, tambatan perahu tidak dapat menampung seluruh perahu Nelayan setempat. Di Sindulang Dua bahkan tidak ada tambatan perahu sama sekali. Sementara persaingan usaha kelautan semakin sulit, belum lagi ekosistem laut yang terganggu akibat aktifitas pembangunan seperti di Kawasan Megamas dan Jalan Boulevard II. Akibatnya beban nelayan bertambah, jarak melaut semakin jauh, kuantitas ikan semakin berkurang, risiko kerja semakin tinggi.

Rencana reklamasi itu, menurut sumber di Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Manado, digawangi Pemprov Sulawesi Utara. Ini karena jarak 12 mil ke laut dari bibir pantai adalah kewenangan pemerintah provinsi. Namun Pemerintah Kota Manado perlu menyiapkan infrastruktur penunjang bila proyek penimbunan dilakukan.

“Kami patut menyiapkan utilitas, infrastruktur penunjang, akses ke pembuangan sampah serta akses air bersih,” kata Kepala Seksi Pengawasan dan Pengendalian Ruang PUPR Manado, Maxi Solang, Kamis (19/12/2019).

Aturan detil tentang reklamasi di Sulut telah tertata dalam Pergub Nomor 16 Tahun 2018. Teknisnya sesuai aturan itu menurut Maxi, reklamasi tidak akan menempel ke daratan. Penimbunan itu akan berwujud seperti pulau dengan kanal di tengahnya. Pulau dimaksud bakal memanjang dari muara Sungai Tondano di sisi Selatan hingga ke Jati di Tumumpa. Dinas PUPR sendiri, katanya, tidak tahu persis rencana besar reklamasi Manado Utara karena belum ada proses kelanjutan dari Pemprov Sulut. Sementara menyangkut perizinan sepenuhnya ditangani pemerintah provinsi.

Karena tidak menyatu dengan pantai, sudah pasti anggarannya lebih besar. Termasuk kata Maxi tingkat kesulitan dalam proses pengerjaannya. Bahkan menurut dia agar tingkat keamanan terjamin, idealnya proyek reklamasi Manado Utara dilakukan kurang lebih 10 tahun untuk menjamin konsolidasi struktur tanah.

“Sesuai aturan pemerintah kota Manado akan menerima jatah 20 persen lahan reklamasi, dan ini peruntukannya sebagai ruang terbuka hijau,” jelas Maxi.

baca juga : Terpinggir Karena Reklamasi, Nasib Nelayan Teluk Manado Kini [2]

 

Nelayan yang sedang mencari ikan di perairan dekat Kota Manado, Sulawesi Utara. Foto : Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Nasib Nelayan

Sudirman Hililo sudah sekitar 17 tahun jadi nelayan di Teluk Manado. Lelaki itu menyaksikan langsung bagaimana pergelutan rekan-rekannya sesama pencari nafkah di laut saat reklamasi pembuatan jalan Boulevard I dilaksanakan pemerintah. Ketika rencana bergulir, nelayan yang pertama tergusur. Era selanjutnya beramai-ramai pengembang menimbun pantai Manado hingga habis.

Ada yang memilih ganti profesi, tapi tak mampu bertahan. Memindahkan kebiasaan lama ke pola baru memang tak semudah membalik telapak tangan. Ada juga nelayan yang lokasi rumahnya dipindahkan dari area pesisir ke pegunungan. Kata Sudirman, untuk mengakses pesisir, mereka itu harus menggunakan kendaraan.

“Nelayan dari Kampung Texas (pemukiman di pantai pusat kota Pasar 45) dipindahkan ke Mayondi, dari tepi laut ke atas gunung, kasihan untuk datang melaut harus naik ojek,” katanya. “Padahal kalau tidak ada yang mengawasi perahu saat ombak besar datang, bisa hancur itu,” tambah pria asal Sulawesi Tengah ini.

Reklamasi mengorbankan nelayan tradisional. Hal mana menurut Dirman segera diputus mata rantainya. Nelayan kata dia harusnya diajarkan menjadi mandiri, bukan peminta-minta. Ini dimaksudnya karena mereka sering diimingi bantuan oleh pihak terkait agar tidak reaksioner saat reklamasi berjalan. Bahkan hingga hari ini iming-iming bantuan kerap datang.

Karena itu sejak 2009 mereka membentuk Asosiasi Nelayan Tradisional (Antra) Sulut, dengan fokus utama memperjuangkan hak-hak nelayan dan pengelolaan laut secara turun temurun atau berkesinambungan. Tercatat pada 2016 anggota Antra sebanyak 582 orang, dan Dirman ditunjuk sebagai sekretaris Antra Kota Manado. Pemegang kartu anggota Antra tersebar dari Malalayang hingga Karang Ria.

Soal reklamasi Manado Utara, Antra Kota Manado telah membahasnya secara mendalam. Fokus organisasi ini adalah perjuangan agar nelayan jangan kehilangan aset melaut dan produksi. Jadi bila ada yang ingin menimbun laut, Antra akan melihat sejauh mana pemenuhan hak nelayan.

“Kita akan lihat apa saja hak nelayan menghadapi reklamasi, apakah sudah terpenuhi atau tidak,” ujar Dirman.

Ada kekhawatiran yang berkembang di benak lelaki ini ketika laut ditimbun memicu konflik besar. Entah itu antara rakyat dengan pengembang, atau dengan pihak lain. Karena itu Antra meminta pengembang perlu membuat model reklamasi lebih dulu untuk dilihat kelompok nelayan. Apalagi yang paling terutama kebutuhan tembatan perahu adalah masalah primer, serta akses menuju ke situ.

“Jangan sampai tambatan perahu itu hanya janji tapi tak terealisasi. Ini sudah sering terjadi dulu-dulu dan menimbulkan konflik, karena kata pengembang tambatan akan dibuatkan tapi tak taunya pantai habis ditimbun oleh mereka, tak tersisa buat kami.”

 

Nelayan dengan perahunya berangkat melaut di Pantai Malalayang, Manado. Sulut. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

***

*Ady Putong, jurnalis media barta1.com. Artikel ini didukung oleh Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version