Mongabay.co.id

Krisis Iklim, Warga Dompu Bentengi Kampung dengan Mangrove

Syafi’i sedang menanam pohon sebagai pagar hidup lapis kedua untuk menahan abrasi. Pagar lapis pertama sudah terkikis oleh abrasi, ditambah gemburan banjir dari arah gunung. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Syafi’i bergegas menuju ladang ketika matahari belum sempurna menerangi Perairan Teluk Kilo, Dompu, Nusa Tenggara Barat (NTB), pertengahan Januari lalu. Parang terselip di pinggang. Cangkul terikat di sepeda motor. Syafi’i seperti diburu waktu. Sesampai di lokasi tujuan, dia memotong beberapa pohon dan mengangkut di pundaknya.

Satu persatu batang pohon itu ditanam di tepi sawah yang berbatasan dengan laut. Sesekali Syafi’i, menghalau kerumunan sapi di tepi laut yang hendak naik ke sawah seluas 50 are yang siap tanam jagung itu. Sawah-sawah tetangga sudah ada mulai tumbuh jagung, sebagian juga padi.

Baca juga: Mangrove Madura Kritis Makin Terkikis

Sawah di Desa Malaju, Kecamatan Kilo, Kabupaten Dompu, andalkan air hujan. Tidak ada irigasi teknis ke desa ini.

Hus, hus, hus, hus,’’ katanya sambil berdiri mengangkat tangan mengusir gerombolan sapi.

Pada salah satu sudut sawah, kayu pembatas sudah ambruk. Sapi bisa naik melalui celah. Karena itu, pagi buta, Syafi’i sudah berada di sawah. Di Desa Malaju, tak ada tradisi mengandangkan sapi. Sapi, kuda, kambing lepas begitu saja cari makan sendiri. Warga membuat pagar pembatas di sawah, ladang, dan rumah mereka.

“Ini akibat laut,’’ kata Syafi’i, menunjuk pagar pembatas sawah yang ambruk.

“Dulu sampai sana,’’ kata Syafi’i menunjuk kira-kira 15 meter ke arah laut.

Selain memperbaiki pagar ambruk, dia menanam pohon baru. Pohon ini jadi lapis kedua pagar sawah yang berbatasan dengan laut. Beberapa titik pada pagar lapis pertama sudah ambruk. Bahkan ada hanyut terbawa air laut. Tanam pohon sebagai pagar lapis kedua ini untuk berjaga-jaga. Kalau pohon tumbuh, setidaknya bisa mengurangi laju abrasi.

“Lima tahun ini makin parah [abrasi],’’ kata Syafi’i.

Malaju, salah satu desa pesisir di Kecamatan Kilo, Dompu, berada di sisi timur Gunung Tambora. Membentuk teluk, tetapi berbatasan dengan laut lepas di sisi timur.

Desa Malaju terkenal sebagai kampung nelayan penangkap tuna. Pada musim hujan dan angin dari timur, para nelayan istirahat. Laut terlalu ganas. Musim hujan itulah mereka mengolah lahan dan tanam jagung.

Kebiasaan ini sudah berlangsung bertahun-tahun, tetapi air laut pasang dan menggerus sawah terasa dalam lima tahun terakhir.

Air pasang normal di Desa Malaju. Air laut naik sampai tepi jalan tetapi hanya musim tertentu. Kini, air laut makin dekat ke daratan dan lebih sering naik mencapai tepi jalan. Air laut juga perlahan mengikis tanah.

 

Beton sebagai tanggul menahan abrasi tidak mampu menahan ganasnya ombak. Setiap tahun abrasi semakin menggerus lahan di Desa Malaju, Kecamatan Kilo, Kabupaten Dompu. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

 

***

Rojali, staf Lantor Kecamatan Kilo, mengantar saya ke satu sudut di Desa Malaju dengan abrasi parah. Melewati dermaga, bergeser ke barat, ada muara sungai yang jadi tempat sandar beberapa perahu nelayan. Rojali menunjuk ke arah laut, di tengah terlihat seperti bongkahan akar pohon. “Itu sisa pohon kelapa,’’ katanya.

Desa Malaju, dulu dikenal sebagai penghasil kelapa. Sepanjang garis pantai, kelapa tumbuh subur. Sepanjang tahun, warga mengirim kelapa kopra ke kota. Jauh sebelum jagung masuk dan mengganti pepohonan di perbukitan, kelapa ini sumber penghasilan warga, selain hasil laut.

Sisa batang kelapa di tengah laut dan yang roboh di tepian jadi bukti air laut menggerus daratan Desa Malaju. Dulu, kelapa itu ada di ladang warga yang berbatasan dengan laut. Setiap tahun, air laut makin masuk ke daratan. Kelapa bertumbangan.

Ladang makin sempit. Bibir pantai tempat nelayan biasa memarkirkan perahu makin susut. Mereka pun masuk muara sungai untuk memarkirkan perahu.

Di tepi muara itu terlihat juga sisa-sisa beton pembatas, dulu tanggul menahan laju abrasi. Beton tak mampu melawan keganasan air laut. Setiap tahun, sedikit demi sedikit terkisis hingga jadi puing.

“Ini yang kayak lapangan bola ini dulu daratan,’’ kata Rojali.

Rojali menduga, kerusakan pesisir juga dipicu alih fungsi lahan. Desa Malaju dan Desa Kramat, diapit bukit dan laut. Dulu, bukit-bukit itu rimbun oleh pepohonan. Tanaman semusim hanya di tempat tertentu.

Setelah jagung masuk, pepohonan ditebang. Bukit berubah jadi jagung. Ketika musim hujan, air dari bukit turun ke daratan rendah bercampur lumpur. Di beberapa tempat, air lumpur itu memperparah kerusakan jalan dan jembatan.

Setelah tergerus air laut dari bawah, air bercampur lumpur dari atas menghantam aspal, jembatan, maupun beton penahan abrasi.

Pertengahan Januari 2020, salah satu jembatan lintas Kilo putus diterjang air bercampur lumpur. “Kalau diperkirakan mungkin sudah 100 meteran abrasi ini,’’ katanya.

Mangrove tersisa di Desa Malaju, menjadi rumah bagi ribuan kalong raksasa. Kalong ini menjadi tontonan bagi wisatawan yang berkunjung. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

 

Mengembalikan hutan mangrove

Di sisi timur Desa Malaju, berdiri tegak pohon mangrove. Mangrove itu jadi tempat tinggal ribuan kalong raksasa. Menjelang malam, ribuan kalong itu terbang mencari makan. Mereka akan kembali lagi dan siang hari, menggantung di antara ranting mangrove.

Di daratan yang masih ditumbuhi mangrove itu cukup terjaga. Pantai pasir putih. Abrasi tidak separah di sisi dermaga. Anak-anak muda di desa itu membangun beberapa fasilitas di pinggir pantai. Ayunan, gazebo dan membangun taman. Ada juga yang membangun warung kopi. Jadilah tempat itu daerah wisata. Pada akhir pekan, puluhan muda mudi dan keluarga berkunjung ke pantai dengan akses masuk gratis itu.

Pantai terjaga itu menjadi bukti, mangrove mampu melindungi daratan. Alih-alih meminta tanggul, para pemuda dan pemerintah desa membentengi desa mereka dengan mangrove.

Pada pertengahan Januari 2020, 5.000 bibit mangrove ditanam di lokasi dengan abrasi parah.

“Ini semua dulu ladang,’’ kata Kepala Desa Malaju, Sulhan, menunjuk lokasi penanaman mangrove.

Tempat penanam mangrove ini berlumpur dan berkerikil. Di beberapa titik terlihat sisa batang kelapa. Ia menunjukkan tempat ini daratan.

Saat pasang daerah ini terandam air laut. Setiap tahun, daratan yang berubah jadi area laut makin luas.

Dua hari sebelum penanaman mangrove, diumumkan di mesjid-mesjid agar warga turun menanam mangrove. Tanpa paksaan. Sulhan juga sadar, hari itu musim tanam jagung. Dia meminta, anak-anak yang kebetulan tidak ikut membantu orangtua menanam jagung agar turun menanam mangrove.

Pada hari penanaman, ratusan orang turun menanam mangrove. Apalagi ketika Bupati Dompu Bambang M Yasin dan Gubernur NTB Zulkieflimansyah datang ke desa untuk pencanangan penghijauan, Makin banyak relawan menanam mangrove. 5.000 bibit mangrove tuntas ditanam selama dua hari.

“Kalau setengahnya tumbuh besar bisa mengurangi abrasi dan nanti bisa ditanami lagi,’’katanya.

Sulhan sadar, membentengi daratan dari air laut dengan beton sebagai tanggul tak akan terlalu efektif. Pada musim badai, gelombang pasang, air laut menghantam dengan keras.

Tanggul buatan itu tidak akan berumur panjang. Dengan mangrove, kekuatan hantaman ombak bisa diredam. Permukaan laut yang terus naik ke daratan bisa dihalangi.

“Tanaman lain bisa tergerus. Ini contoh, kalau mangrove tetap berdiri,’’ kata Sulhan, menunjuk batang sisa pepohonan yang tumbang.

Sulhan bilang, kalau seluruh pesisir dibentengi mangrove, tidak ada kekhawatiran air laut masuk ke daratan. Kalau semua tumbuh lebat, katanya, bisa jadi sumber penghasilan tambahan. Kepiting dan ikan, katanya, senang di sekitar mangrove dan bisa jadi potensi baru wisata.

Arif Rahman, Ketua Ikatan Pelajar Mahasiswa Islam (IKAPMI) Dompu, yang menginisiasi penanaman mangrove ini bilang, 5.000 bibit mangrove yang ditanam sebagai langkah awal.

Bersama mahasiswa Dompu yang kuliah di berbagai perguruan tinggi baik di Pulau Sumbawa dan Pulau Lombok, mereka turun ke desa-desa terancam abrasi. Dia menargetkan, bisa tanam satu juta mangrove.

“Sudah tiga lokasi tempat kami tanam, setiap liburan kami pulang untuk tanam mangrove,’’ katanya.

Aksi pelajar dan mahasiswa ini terbukti efektif menggerakkan masyarakat. Terlihat, setiap program penanaman mangrove, ratusan warga terlibat, orang tua mendukung anak mereka. Anak-anak bersemangat menanam.

Pemerintah desa juga sadar, benteng pertahanan terkuat menahan laju abrasi adalah mangrove. Arif kuliah di UIN Mataram, sering liburan ke beberapa spot hutan mangrove di Pulau Lombok. Dia ingin kondisi seperti itu ada di Dompu.

 

Keterangan foto utama:  Syafi’i sedang menanam pohon sebagai pagar hidup lapis kedua untuk menahan abrasi. Pagar lapis pertama sudah terkikis oleh abrasi, ditambah gemburan banjir dari arah gunung. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

Dengan latar Gunung Tambora, para pelajar di Desa Malaju, Kecamatan Kilo, Kabupaten Dompu menanam mangrove di lokasi yang parah tingkat abrasinya. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version