Mongabay.co.id

Perlindungan Hak Adat Kinipan Makin Sulit Kala Investasi Lebih Utama

Pekan pertama Januari lalu, warga Komunitas Adat Laman Kinipan, bertemu Hendra Lesmana, Bupati Lamandau. Setelah massa aksi menanggung peluh tertimpa panas tengah hari di gerbang kantor sang kepala daerah, pertemuan singkat terjadi. Tak sampai 10 menit, pertemuan dengan akhir yang membuat pengunjuk rasa kecewa. Foto: Save Our Borneo

 

 

 

 

 

Pekan pertama Januari lalu, warga Komunitas Adat Laman Kinipan, bertemu Hendra Lesmana, Bupati Lamandau. Setelah massa aksi menanggung peluh tertimpa panas tengah hari di gerbang kantor sang kepala daerah, pertemuan singkat terjadi. Tak sampai 10 menit, pertemuan dengan akhir yang membuat pengunjuk rasa kecewa. Mereka tak mendapat kesempatan menanggapi pidato bupati. Usai pidato, Bupati berlalu, memunggungi pengunjuk rasa, menuju kantornya.

Hari itu, 8 Januari lalu Komunitas Adat Laman Kinipan gelar unjuk rasa di depan gerbang Kantor Bupati Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah (Kalteng). Mereka datang dengan sikap menolak kehadiran perusahaan perkebunan sawit, PT Sawit Mandiri Lestari (SML), ke hutan adat mereka. Mereka menuntut SML menghentikan pembukaan lahan di wilayah mereka.

Dari video di Facebook milik Save Our Borneo, Hendra Lesmana menyampaikan empat hal, menanggapi para pengunjuk rasa. Pertama, klaim Kinipan atas hutan adat tidak diakui.

“Terakhir pun saya diundang Kementerian LHK (Lingkungan Hidup dan Kehutanan-red), tidak ada di Kabupaten Lamandau, hutan adat. Yang diserahkan ke kita hanya tiga hektar. Itu pun di hutan lindung. Silakan cek!” kata Hendra.

Baca juga:   Begini Nasib Hutan Adat Laman Kinipan Kala Investasi Sawit Datang

Kedua, SML memiliki izin operasional legal. Kalau warga Kinipan merasa hak mereka telanggar, dia meminta proses hukum. “SML, dari saya sebelum jadi bupati pun telah memiliki izin legal. Kalau berbicara izin legal, artinya, harus juga dihadapi secara aturan dan ketentuan. Silakan masyarakat Kinipan, kiranya memiliki hak yang dilanggar atas tanah yang dikuasai, dibawa ke jalur hukum.”

Ketiga, Bupati Lamandau meminta warga Kinipan yang menolak SML, tidak mempengaruhi warga yang menerima. “Itu pernah saya sampaikan. Itu saya tegaskan. Bagi yang pro silakan, jangan diganggu. Tetapi yang tidak, yang kontra, silakan menyuarakan haknya!”

Terkait pernyataan ketiga itu, Hendra kembali menegaskan permintaan, warga Kinipan penolak SML, menempuh jalur hukum. Kali ini, dia menyebut kata ‘penguasaan lahan secara individu’ yang diduga dilanggar.

“Kiranya di situ ada hak yang dilanggar, kaitan dengan penguasaan lahan secara individu, silakan, sampaikan. Negara ini negara hukum. Pemerintah akan mendorong, memastikan aspirasi ditanggapi pihak penegak hukum.”

Baca juga: Warga Laman Kinipan Minta Pemimpin Lamandau Lindungi Hutan Adat Mereka

Keempat, Hendra menyatakan, tak bisa begitu saja menghentikan kegiatan perusahaan karena kementerian pun tak memerintahkan itu. “Orang diundang untuk investasi, diundang untuk menanam modal di situ, tidak bisa ujuk-ujuk dengan tuntutan bapak-bapak, kemudian saya suruh berhenti, suruh mereka tidak berkegiatan. Tidak ada dasar! Malah saya yang dituntut. Ini yang harus dipahami,” katanya.

Saat bupati pidato, ada respons sorakan dari pengunjuk rasa yang tak puas. Terutama ketika bupati menyampaikan tidak ada hutan adat di Lamandau. Sorakan itu membuat Bupati Lamandau, terganggu.

“Dengar dulu, kalau saya dipotong, saya tidak bicara!”

“Rekayasa!” teriak salah seorang dari massa aksi.

“Kalau saya dipotong, saya tidak bicara lagi. Saya hadir sebagai bupati. Sebagai apa yang diminta bapak-bapak, untuk menyampaikan, menanggapi aspirasi bapak-bapak!”

Hendra juga menyampaikan, sebagai bupati tetap peduli pada Kinipan. Dia mengatakan, tak punya conflict of interest. Dia menyebut, segera meminta pengusaha di sekitar Kinipan memperbaiki jalan rusak di Kinipan hingga bisa berfungsi. APBD pun tetap kucur ke sana.

“Tahun ini, ada puluhan miliar kita tingkatkan. Kalau saya benci dengan bapak-bapak, tidak satu persen pun saya kucurkan dana di situ. Silakan cek di PU (Dinas Pekerjaan Umum), berapa anggaran dari bupati dikucurkan untuk Kinipan. Kalau saya tidak peduli dengan bapak-bapak, kalau saya benci, satu rupiah pun saya haramkan untuk kalian, orang Kinipan. Tapi nyatanya enggak!”

Baca juga: Bupati Lamandau Bahas Wilayah Kinipan, BPN: Masih Bisa Dikeluarkan dari Konsesi

“Jadi, jangan ada stigma, saya tidak peduli dengan kalian. Cuma, cara (kalian) memperjuangkan yang salah! Selain itu, bupati ini juga ketua DAD, Dewan Adat Dayak.”

Sampai di sini, Ketua Komunitas Adat Laman Kinipian, Effendi Buhing mencoba menginterupsi. “Saya jawab, pak!”

“Tidak! Saya enggak perlu jawaban,” kata bupati. “Kalian cuma mendengarkan saya. Sudah saya sampaikan, kalau tidak puas, bawa ke ranah hukum. Tuntut. Jelas ya, empat hal yang saya sampaikan. Saya hadir untuk menyampaikan dan memberi pandangan. Jalurnya sudah saya tunjukkan. Kalau tidak puas, bawa ke ranah hukum!”

 

Aksi menyuarakan penyelamatan hutan adat Laman Kinipan di Lamandau, Kalteng. Foto: Safrudin Mahendra-Save Our Borneo

 

“Tidak ada kekuatan bupati untuk ini-itu, ini-itu. Sedangkan mereka (SML) diundang untuk investasi. Kecuali mereka bekerja di luar lahan yang ditentukan. Di dalam izin itu ada hak-hak yang tadi saya sampaikan. Silakan diurus. Kalau tidak mau dibebaskan, tidak mau diganti rugi, ya tinggal enclave. Gitu,” katanya.

Hendra mengulangi pernyataan tidak membenci orang Kinipan, yang langsung ditanggapi Effendi Buhing. “Ini bukan masalah benci, pak!”

“Sudah kamu diam!” potong bupati. “Itu yang saya sampaikan, terima kasih. Ini karena (unjuk rasa) tidak ada izin, setelah dzuhur saya harapkan bubar.”

Bupati lantas mengucapkan salam, dan balik kanan, menuju kantornya dengan kawalan aparat keamanan.

Buhing hanya bisa berteriak melalui mikrofon, meminta bupati bertahan mendengarkan jawaban mereka. “Pak bupati, bertahan sebentar, kami mau jawab, pak. Kita jangan cuma sepihak, pak bupati! Jangan cuma sepihak, pak bupati!”

“Huuuuuuu….” Massa menyerukan teriakan pada rombongan yang berlalu itu.

Buhing mengatakan, warga kecewa ketika bupati menyatakan tak ada hutan adat di Kinipan. “Itu menyinggung. Dikatakan tidak ada hutan adat itu paling salah. Karena masyarakat adat ada di sana. Walau tidak ada legalitas (dari negara)-nya, masyarakat berburu, behuma (ladang), mencari ikan. Itu bukan di tengah sawit, bukan di kota. Pasti di tengah hutan,” kata Buhing, melalui sambungan telepon beberapa hari setelah aksi massa itu.

“Legal formal itu urusan pemerintah. Kalau masyarakat adat tidak tahu, dia harus berikan satu solusi. Kenapa masyarakat adat bergejolak? Artinya belum clear and clean. Okelah mereka dapat IUP, izin usaha perkebunan. Tapi bukan berarti mereka harus buka hutan, buka lahan dulu.”

 

Pekan pertama Januari lalu, warga Komunitas Adat Laman Kinipan, bertemu Hendra Lesmana, Bupati Lamandau (kemeja putih diapit dua aparat kemanan). Setelah massa aksi menanggung peluh tertimpa panas tengah hari di gerbang kantor sang kepala daerah, pertemuan singkat terjadi. Foto: Save Our Borneo

 

 

Perjuangan panjang

Awal Januari itu, kali kedua bagi Kinipan menggelar aksi massa sejak SML memulai pembersihan lahan di sekitar desa mereka awal 2018. Aksi pertama di halaman DPRD Lamandau Senin, 8 Oktober 2018. Saat itu, mereka menggelar aksi penyerahan mandau pada pemerintah daerah. Maknanya, pemasrahan diri, apabila pemerintah daerah tak bisa melindungi tanah hutan adat mereka, lebih baik dibunuh saja.

Antara 2018 hingga awal 2020 itu banyak sudah upaya Kinipan mempertahankan hutan adat mereka. Selain berunjuk rasa, mereka juga berkomunikasi dengan manajemen SML.

Pada 19 April 2018, enam hari setelah mengecek hutan mereka yang terbabat, 54 warga Laman Kinipan mendatangi kantor manajem SML di Camp Suja. Mereka ingin menyampaikan surat dan lisan agar SML menghentikan dulu kerja sebelum ada kesepakatan dengan Laman Kinipan.

Pada 2 Mei 2018, Laman Kinipan mengundang camat, Pjs Kepala Desa Kinipan, manajemen SML ke Desa Kinipan, dengan agenda penyelesaian masalah penggusuran wilayah adat Laman Kinipan.

SML tidak hadir. Pada 14 Mei 2018, masyarakat mengirimkan pengaduan tertulis kepada Bupati Lamandau, DPRD Lamandau dan Gubernur Kalimantan Tengah.

Baca juga:   SML Bantah Tudingan Caplok Lahan, Begini Jawaban Tetua Adat Kinipan

Mereka juga mengadukan nasib sampai ke lembaga negara di Jakarta. Pada 5 Juni 2018, Laman Kinipan mengirimkan delapan orang perwakilan untuk pergi ke Jakarta untuk pengaduan langsung kepada KLHK, Komnas HAM dan Kantor Staf Presiden (KSP).

Effendi Buhing bilang, warga Kinipan menyumbang sukarela untuk memberangkatkan mereka ke Jakarta.

Pada 25 Juli 2018, KLHK melalui Direktur Penanganan Konflik dan Hutan Adat (PKTHA) memberikan respons atas pengaduan Kinipan dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). AMAN berkoordinasi dengan Bupati Lamandau untuk penyelesaiannya.

Baca juga:   Warga Laman Kinipan Minta Pemimpin Lamandau Lindungi Hutan Adat Mereka

Dari KLHK juga menyatakan belum ada penetapan hutan adat Laman Kinipan dari Menteri LHK. AMAN juga diminta menghubungi Pemkab Lamandau untuk penyelesaian masalah dengan SML.

Mereka juga diminta memohon agar diproses penerbitan Peraturan Daerah tentang Pengakuan Masyarakat Hukum Adat (MHA) sebagai prasyarat penetapan hutan adat Laman Kinipan oleh Menteri LHK.

“Zaman Pak Marukan (Bupati Periode 2008-2018), beliau hanya memberikan rekomendasi. Itu tidak ada gunanya. Dari KLHK, itu dikembalikan lagi ke sini,” kata Buhing, suatu ketika.

Pada 23 September 2018, masyarakat adat Kinipan mengecek lokasi hutan mereka. Mereka mendapati pembukaan lahan tetap berlangsung. Mereka menggelar aksi unjuk rasa pada 8 Oktober 2018.

 

Pembukaan lahan untuk kebun sawit yang berkonflik dengan Komunitas Adat Laman Kinipan di Lamandau. Kinipan, perlu pengakuan dan perlindungan wilayah adat. Foto: Safrudin Mahendra-Save Our Borneo

 

Mereka menuntut penghentian aktivitas SML dan pertanggungjawaban atas lahan yang terlanjur dibuka. Warga juga sampaikan tuntutan pada DPRD Lamandau untuk penerbitan Perda Pengakuan Masyarakat Adat, dan SK penetapan hutan adat Kinipan.

Pada November 2018, kepada Mongabay, SML sempat membantah tudingan masuk ke lahan Kinipan, dan langsung mendapat respon tetua adat.

“Yang ingin saya luruskan, SML itu sesungguhnya bekerja berdasarkan koridor. SML memiliki izin lengkap. Mulai dari izin lokasi, SML punya. Pelepasan kawasan [hutan] juga SML punya. Kemudian ada HGU [hak guna usaha]. SML juga punya IPK, izin pemanfaatan kayu. Keseluruhan SML memiliki izin dan legalitas lengkap,” kata Haeruddin Tahir, Executive Operation SML, kala itu dalam berita Mongabay, sebelumnya.

Dia bilang, kelengkapan izin sudah disampaikan saat pertemuan di Kantor Staf Presiden Deputi V di Bina Graha, Jakarta, beberapa hari lalu. “SML memiliki izin lengkap. Pernyataan yang saya sampaikan itu diaminkan dan dipertegas dinas-dinas terkait. Baik Dinas Perkebunan, Kehutanan dari provinsi, kabupaten, dan bupati (Lamandau) saat itu,” kata Tahir.

Bobi Lawi, Project Manager SML, membeberkan, SML memperoleh izin pelepasan lahan 19.091 hektar dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui surat 1/I/PKH/PNBN/2015 pada 19 Maret 2015. Izin pelepasan itu untuk areal inti 9.435,22 hektar dan plasma 9.656,37 hektar.

Berdasarkan pengukuran kadastral (pertanahan) Badan Pertanahan Nasional (BPN) 13 April 2017, katanya, perusahaan mendapatkan lahan 17.046 hektar. Di dalam itu, untuk perkebunan inti 9.435 hektar dan plasma 7.611 hektar dan HGU seluas 9.435,22 hektar. “Semua yang sudah HGU itu areal inti. Yang plasma izin lokasi, pelepasan, dan kadastral.”

Menurut Tahir, SML memperoleh izin membuka kebun sawit di tiga kecamatan di Lamandau. Sembilan desa di Lamandau, yakni Desa Suja, Penopa, Karang Taba, Tapin Bini, Tanjung Beringin, Sungai Tuat, Cuhai, Kawa, dan Samujaya. Lalu, Desa Riam Panahan di Kecamatan Delang, serta dua desa di Kecamatan Batang Kawa, yaitu Batu Tambun, dan Kinipan.

Pada 5 Desember 2018, ada pertemuan mediasi Kinipan dan SML di Aula Bupati Lamandau. Setelah pertemuan, kepada sejumlah wartawan di ruang kerjanya, Hendra mengatakan, sulit bagi pemerintah daerah memberikan pengakuan hutan adat yang diminta Komunitas Laman Kinipan itu.

“Kita harus dudukkan, tidak mungkin mengeluarkan SK hutan adat di atas izin. Itu pasti akan jadi polemik hukum,” kata Hendra.

Adapun soal peraturan daerah tentang pengakuan masyarakat adat, saat itu bupati menanti inisiatif DPRD Lamandau. “Ya, kita lihat rancangan peraturan inisiasi dewan ya. Kita lihat karena penyampaian di sana. Dalam penjaminan hak adat tetap bisa kita aspirasikan.”

Komunitas Adat Kinipan, makin susah, kala bupati memutuskan batas formal administratif Kinipan dan Desa Karangtaba, Kecamatan Lamandau, yang pembahasannya belum selesai. Keputusan itu, bagi Kinipan, tak sesuai klaim mereka secara adat.

Penolakan atas putusan bupati ini melatarbelakangi aksi tanam pohon di lahan yang telah dibabat perusahaan pada 19 Januari 2019.

Situasi makin tak menguntungkan perjuangan Laman Adat Kinipan, karena segelintir warga Kinipan diduga mulai menjual lahan potensi desa secara individu kepada perusahaan. Pada 1 April 2019, atas desakan Komunitas Adat Laman Kinipan, Kepala Desa Kinipan melaporkan dugaan aksi jual tanah itu.

Beberapa bulan lalu, polisi bersama kepala desa dan masyarakat adat Kinipan, turun ke lapangan. Hingga kini, kelanjutan pemeriksaan laporan ini belum jelas. Malahan, Willem Hengki, Kepala Desa Kinipan sempat dipanggil kepolisian, untuk dimintai keterangan soal laporan pembakaran kayu milik SML di lahan sengketa itu.

 

Rekomendasi KSP

Warga berharap ada titik terang penyelesaian konflik kala KSP mengundang Kinipan dan para pihak terkait untuk membahas masalah ini di Jakarta, Jumat 2 Agustus 2019. Sayangnya, para pihak terkait, seperti gubernur, bupati dan jajaran, serta perusahaan tidak hadir memenuhi undangan. Harapan warga Kinipan agar aktivitas perusahaan berhenti pun kandas. Setelah itu Kantor Staf Presiden, mengeluarkan beberapa rekomendasi.

“Dibilang orang KSP, itu kewenangan pemerintah daerah. Kita tidak punya penekanan gimana. Keinginan kita, itu dihentikan,” kata Buhing, sepulang dari pertemuan itu.

 

Sungai Batang Kawa yang melintasi Kinipan. Air sungai lancar karena hutan hulu terjaga, Foto: Mongabay Indonesia

 

Dalam pertemuan di KSP itu, terungkap izin hak guna usaha (HGU) SML seluas 9.000 hektar tak masuk Laman Kinipan. “Ada kejelasan dari ATR BPN bahwa Kinipan secara izin HGU tidak masuk, 9.000 hektar itu Kinipan tidak masuk.”

“Koperasi Kinipan pun tidak ada terdaftar. Katanya ada plasma. Plasma kan koperasi. Nah, ada 5.000 hektar katanya plasma. Tetapi didata tidak ada Kinipan,” kata Buhing.

Mengapa hutan adat Laman Adat Kinipan tergusur? Dalam pertemuan lanjutan di Kementerian ATR/BPN, 4 Agustus 2019, dihadiri Husaini, Direktur Pengaturan Pendaftaran Hak Tanah, Ruang dan PPAT (Direktorat Jenderal Hubungan Hukum Keagrarian), Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), Kasmita Widodo, Sinung Karto Pengurus Besar AMAN, dan perwakilan dari Walhi Nasional.

Kasmita Widodo menceritakan, dalam pertemuan itu, Husaini, menyatakan, pengukuran permohonan HGU SML pada 13 April 2017. Hasil pengukuran lantas verifikasi panitia B pada 9 Mei 2017. Pada 9 Agustus 2017, SK HGU SML terbit, terbagi atas HGU inti 9.000 hektar dan plasma 5.000 hektar.

Dalam pertemuan itu dilakukan tumpang susun (overlay) peta wilayah adat Kinipan dengan peta perizinan milik SML. Hasilnya, ada tumpang tindih HGU inti seluas 2.235 hektar plus 390.1 hektar dan plasma 343,8 hektar plus 720.2 hektar dengan wilayah adat Laman Kinipan. Dalam pertemuan itu, KATR/BPN juga mempertanyakan status hukum wilayah adat Kinipan.

Pada 26 Agustus 2019, KSP merilis rekomendasi resmi atas masalah Kinipan. Ada empat poin. Pertama, meminta KATR/BPN tidak menerbitkan sertifikat atau hak di atas tanah yang berkonflik antara Desa Kinipan dan SML.

Kedua, Pemkab Lamandau tidak memasukkan wilayah Desa Kinipan dalam wilayah kerjasama inti -plasma (perkebunan masyarakat) dalam penetapan penerima tanah yang masuk dalam skema kerjasama inti plasma (perkebunan masyarakat) SML. Ini sesuai ketentuan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 98/2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan.

Ketiga, berdasarkan poin kedua, agar Pemkab Lamandau memfasilitasi masyarakat Kinipan dalam pembuatan pernyataan tentang tanggung jawab masyarakat mengelola lahan mereka mandiri, dan tidak termasuk dalam skema kerjasama inti -plasma (perkebunan masyarakat) SML.

Keempat, agar Pemkab Lamandau bersama SML menetapkan penerima tanah dalam skema kerja sama inti-plasma serta luas lahan masing-masing sesuai dengan kesediaan dari masyarakat yang bersangkutan.

Surat itu ditujukan kepada Direktur Jenderal Hubungan Hukum Keagrariaan, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Direktur Jenderal lnfrastruktur Keagrariaan, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, dan Bupati Lamandau. Tembusannya, juga diterima Kepala Desa Kinipan pada akhir September 2019. Sejak itu, hingga tutup tahun, Kinipan merasa tak ada respons positif di lapangan atas rekomendasi KSP. Warga pun kembali aksi pada 8 Januari 2020.

 

Aksi warga di Kantor Bupati Lamandau, 8 Januari lalu. Foto: Save Our Borneo

 

Utamakan investasi

Untuk kasus Kinipan, pemerintah daerah lebih cepat memberikan konsesi pada perusahaan. Padahal, sejak awal rencana investasi sawit masuk di Kinipan, sudah mendapat penolakan warga. Kepala desa dan tokoh adat Kinipan termasuk yang menandatangani pernyataan agar daerah tak diserahkan pada investor sawit.

Merujuk dokumen kronologi yang disusun Kinipan, pernyataan seluruh desa di daerah aliran Sungai Delang dan Batangkawa itu terjadi pada 23 Mei 2005. Mereka berhimpun menyatakan penolakan karena sudah mendengar kabar bakal ada investasi perkebunan di wilayahnya setahun sebelumnya.

Pada 4 Juni 2012, di zaman pemerintahan Bupati Marukan, terbit arahan lokasi untuk SML dengan nomor EK.525.26/124/VI/2012 seluas 26.995,46 hektar. Lalu pada 21 Juni 2012, SML menggelar sosialisasi rencana pembukaan kebun mereka, yang ditolak masyarakat. Mereka meminta SML beroperasi di luar Kinipan.

Pada 26 Juni 2012, terbit izin lokasi untuk SML di Kecamatan Delang, Kecamatan Batang Kawa (termasuk Kinipan) dan Kecamatan Lamandau, Lamandau dengan nomor: EK.525.26/15/SK-IL/VI/2012. Izin lokasi ini seluas 26.995,46 hektar, rincian kebun inti 12.561,52 hektar dan plasma 14.433,94 hektar.

Pada 7 April 2014, terbit izin usaha perkebunan untuk pelepasan kawaan hutan untuk SML dengan nomor: EK.525.26/01/SK-IUP/IV/2014. Terbitnya izin itu langsung direspon masyarakat Kinipan. Pada 16 Mei 2014, warga menggelar musyarwarah dengan hasil menolak permohonan pembukaan lahan perkebunan sawit SML.

Pada 26 September 2014, muncul penolakan dari tiga desa (Desa Kinipan, Ginih dan Batu Tambun) terhadap alih fungsi lahan/bekas ladang masyarakat untuk jadi perkebunan sawit SML.

Pada 21 November 2014, terbit SK Bupati Lamandau Nomor 188.45/478/XI/HUK/2014 tentang pemberian izin lingkungan pembangunan perkebunan dan pabrik pengolahan awit untuk SML di Kecamatan Delang, Batang Kawa dan Kecamatan Lamandau. Pada tahun sama, Bupati Lamandau mengeluarkan SK Nomor 188.45 tentang kelayakan lingkungan hidup pembangunan perkebunan dan pabrik pengolahan sawit.

Lanjut 19 Maret 2015, terbit SK Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal No 1 tentang pelepasan sebagian kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi 19.091,59 hektar untuk SML. Pada 31 Desember 2015 terbit SK Bupati Lamandau Nomor 503.5 mengenai perpanjangan izin lokasi untuk keperluan perkebunan sawit SML.

Tahun sama, Kinipan—kala itu sudah terafiliasi dengan AMAN–, sepakat memetakan wilayah adat Laman Kinipan dengan dasar keputusan Kepala Desa Kinipan nomor 18 tentang tim pemetaan wilayah adat Kinipan. Setahun kemudian, pada 30 April 2016, Kinipan mendeklarasikan wilayah adat berdasarkan pemetaan setahun sebelumnya. Acara dihadiri undangan dari desa tetangga dan pejabat Pemerintah Lamandau.

Kemudian, pada 2017 wilayah adat Kinipan diverifikasi dan mendapat sertifikat layak untuk ditetapkan sebagai wilayah adat oleh BRWA. Awal 2018, SML mulai membuka lahan dan hutan yang bersinggungan dengan klaim wilayah adat Kinipan.

Saat ini, perjuangan masyarakat adat Kinipan makin menemui jalan terjal. Ada warga mulai menjual lahan desa ke SML. Menurut Buhing, situasi membuat potensi konflik makin kuat di Laman Kinipan.

Buhing mengkritik pernyataan bupati agar masyarakat yang anti perusahaan, untuk tak menghasut warga pro perusahaan.

“Justru mereka (perusahaan) membuat manajemen konflik di masyarakat, dengan menerima penjualan warga tentang potensi desa atau hak masyarakat banyak, tanpa ada surat-surat, tanpa ada persetujuan dari tokoh-tokoh, kades segala macam,” katanya.

“Yang mereka jual itu rimba. Kalau namanya rimba tidak ada milik hak orang per orang. Itu milik komunal. Kecuali eks ladang, ada kampung buahnya, boleh dikatakan hak keturunan atau pribadi. Itu rimba,” kata Buhing.

 

Warga Kinipan menanam pohon di lokasi land clearing PT SML. Foto: Budi Baskoro/ Mongabay Indonesia

 

Adat dan legal

Ferdi Kurnianto, Ketua Pengurus Wilayah AMAN Kalteng, dan Safrudin Mahendra, Direktur Save Our Borneo pun mengkritik ucapan Bupati Lamandau yang melihat hutan adat semata dari kacamata legal formal. Menurut keduanya, sejak Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan uji materi UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan adat dinyatakan bukan lagi bagian hutan negara. Itu dinyatakan melalui Putusan MK Nomor 35 tahun 2012.

Mereka berpendapat, pemerintah mestinya memperjelas, mana yang masuk hutan adat, mana hutan negara.

Menurut Ferdi, ketika hutan adat tak diperjelas pemerintah, AMAN menganggap tak ada hutan negara. Semua, masih abu-abu. “Kalau dari skema perhutanan sosial, apa yang diungkapkan KLHK atau Bupati Lamandau, itu seperti menampar muka mereka sendiri.

“Kenapa? Karena hutan adat seperti (konsep) perhutanan sosial, baru bisa ditetapkan legal sebagai hutan adat melalui perda. Harus ada peraturan daerah yang dikeluarkan bupati. Tetapi bupati atau DPRD Lamandau tidak membuat perda itu,” kata Ferdi.

“Berarti kesalahan, kelemahan bukan di masyarakat, tetapi di Pemerintah Lamandau sendiri, tidak mengeluarkan regulasi agar masyarakat bisa mengakses hutan adat. Itu jika melalui skema perhutanan sosial.”

Safrudin menambahkan, secara legal-formal di Kalteng bahkan belum ada hutan adat. “Seharusnya, sebagai kepala daerah itu justru kesempatan. Apalagi target Jokowi (presiden-red) untuk perhutanan sosial, masih jauh benar dari target. Dari 2 juta hektar, baru 30.000 hektar hutan adat. Harusnya kesempatan buat mengejar itu,” katanya.

Menurut dia, eksistensi masyarakat adat Kinipan, sudah ada dari zaman dulu. “Harusnya, wilayah adat dan hutan adat pun menyertai. Cuma memang kendala negara ini semua harus negara, untuk mendapatkan pengakuan masyarakat adat pun harus dapat perda. Harusnya pengakuan masyarakat adat itu ranahnya bupati, daerahlah untuk membuat perda.”

Secara sosial dan spasial, Kinipan layak diakui dan mendapatkan legalitas wilayah adat. Hal ini sudah diverifikasi Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) pada 2017. Lembaga yang berdiri pada 2010 ini bekerja menyediakan data dan peta wilayah adat yang terverifikasi. Data ini sebenarnya berguna bagi pemerintah untuk mengakui hak-hak masyarakat adat.

 

Keterangan foto utama: Pekan pertama Januari lalu, warga Komunitas Adat Laman Kinipan, bertemu Hendra Lesmana, Bupati Lamandau. Setelah massa aksi menanggung peluh tertimpa panas tengah hari di gerbang kantor sang kepala daerah, pertemuan singkat terjadi. Tak sampai 10 menit, pertemuan dengan akhir yang membuat pengunjuk rasa kecewa. Foto: Save Our Borneo

 

Exit mobile version