Mongabay.co.id

Rekomendasi Satwa Laut dari LIPI untuk KKP Dipersoalkan KLHK?

 

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tidak akan membatalkan surat rekomendasi yang sudah diberikan kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada akhir 2019 lalu. Surat tersebut berisi tentang rekomendasi kuota pengambilan/penangkapan untuk tujuan perdagangan jenis ikan dilindungi terbatas dan jenis ikan Apendiks II CITES periode 2020.

Kepala Pusat Penelitian Oseanografi LIPI Augy Syahailatua pada akhir pekan lalu menjelaskan, LIPI memberikan rekomendasi kepada KKP, karena status lembaga tersebut adalah Pengelola Saintifik (scientific authority/SA) untuk Konvensi Perdagangan Internasional Tumbuhan dan Satwa Liar Spesies Terancam (CITES).

Kepada Mongabay, Augy mengatakan bahwa pihaknya menerbitkan surat rekomendasi berdasarkan permintaan dari KKP yang diajukan secara resmi. Sebagai lembaga otoritas untuk saintifik, LIPI merasa berkewajiban untuk memberikan rekomendasi tersebut, karena KKP adalah salah satu kementerian berwenang tentang hal tersebut.

“SA itu independen. Kecuali kajian kami keliru, tapi kan itu tidak. Jadi itu sebenarnya pertimbangan ilmiah saja,” ucap dia.

baca : Kenapa Natuna dan Anambas Ekspor Napoleon Kembali lewat Laut?

 

ikan Napoleon yang berstatus terancam punah karena perdagangan dan penangkapan. Foto : Reef Life Survey/Fish of Australia/Mongabay Indonesia

 

Menurut Augy, LIPI adalah lembaga otoritas saintifik untuk CITES, dan karena itu pihaknya tidak akan bisa untuk menarik kembali surat rekomendasi yang sudah diterbitkan untuk KKP tersebut. Jadi, kalaupun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melayangkan surat resmi kepada LIPI tentang permintaan pembatalan rekomendasi, itu juga tidak akan dijawab oleh LIPI.

“Kami tidak membalas surat dari KLHK, dan kami tidak mau berpolemik. Juga karena kami merasa sudah benar,” tambah dia.

Augy mengungkapkan, persoalan pemberian rekomendasi akan tetap dilakukan jika ada pihak yang berwenang meminta kepada LIPI. Namun, rekomendasi yang dimaksud tidak hanya terbatas pada hal yang sifatnya dilindungi saja, namun juga ada hal di luar itu.

Oleh itu, jika saat ini yang dipersoalkan adalah rekomendasi empat biota laut yang tiga jenis di antaranya adalah masuk dalam daftar perlindungan Apendiks II CITES, itu sifatnya hanya kebetulan saja bagi LIPI. Pasalnya, dalam memberikan rekomendasi LIPI akan berusaha memfasilitasi semua hal yang bersifat ilmiah.

“Jika Anda meminta kami untuk memberikan rekomendasi tentang sesuatu hal, jika memang itu adalah benar, maka kami harus bisa membahasnya dan memberikan rekomendasi itu. Kebetulan saja ini CITES,” tegas dia.

baca juga : Kemampuan Identifikasi Jadi Kunci Penyelamatan Hiu dan Pari di Alam

 

Hiu martil yang ditemukan di pasar di wilayah Aceh Barat. Foto: WCS/Mongabay Indonesia

 

Milik Publik

Bagi Augy, LIPI akan terus berkarya karena lembaga tersebut adalah lembaga yang dibiayai oleh Negara. Itu kenapa, semua karya ilmiah yang ada di LIPI sifatnya bisa menjadi informasi publik yang bisa diakses oleh siapa saja di Indonesia. Termasuk, hasil penelitian biota laut yang menjadi tanggung jawab P2O LIPI yang dipimpinnya.

Diketahui, KLHK melayangkan surat permohonan pembatalan kepada LIPI pada 2 Januari 2020 dan ditandatangani Direktur Jederal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Wiratno. Surat tersebut juga melampirkan surat pemberitahuan kepada Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi tentang status KLHK sebagai otorita pengelola (management authority/MA) CITES. Surat pemberitahuan tersebut ditandatangani Menteri LHK Siti Nurbaya.

Sementara, dalam surat LIPI yang dikirim kepada KKP, disebutkan ada empat biota laut yang menjadi rekomendasi. Satu di antaranya disebut khusus, karena kuota pemanfaatannya berlaku secara nasional dan tidak hanya dari Kepulauan Banggai saja. Biota yang dimaksud adalah ikan Capungan Ambon (Pteropogon kaudernii).

Kemudian, tiga lain yang disebut sebagai Apendiks, adalah ikan Napoleon (Cheilinus undulatus), ikan Hiu Martil (Sphyrna spp), dan Hiu Apung atau Silky Shark (Carcharhinus falciformis). Ketiga spesies tersebut masuk kelompok Apendiks, adalah karena pemanfaatannya saat ini berjalan sangat cepat dengan cara diperdagangkan.

Oleh itu, meski belum dinyatakan punah, namun spesies yang masuk kelompok Apendiks, akan terancam punah jika pemanfaatannya tidak dikendalikan melalui pengelolaan yang baik dan dilakukan oleh otoritas negara setempat yang berwenang.

Adapun, rincian tiga spesies tersebut seperti tertulis dalam surat, adalah:

  1. Untuk pemanfaatan jenis Cheilinus undulatus, ukuran berat individu yang direkomendasikan adalah 1-3 kg dari hasil ranching, dengan metode pengiriman melalui laut source code R. Penangkapan dari alam (ukuran dewasa) tidak direkomendasikan karena sesuai dengan hasil kajian bahwa populasi Cheilinus undulatus didominasi pada ukuran anakan, sedangkan untuk penangkapan anakan untuk bibit ranching belum bisa direkomendasikan karena belum ada kajian atau dokumen NDFnya.
  2. Surat angkut dalam negeri jenis Sphyrna spp. harus menyertakan lokasi penangkapan, bukti pengisian logbook, lokasi pendaratan ikan, surat ijin penangkapan ikan, dan ukuran tangkap. Jenis ini ditangkap diatas ukuran 2 m atau 50 kg dan wajib menyampaikan realisasi beserta rekapitulasi surat angkut dalam negeri setiap enam bulan.
  3. Surat angkut dalam negeri jenis Carcharhinus faciformis harus menyertakan lokasi penangkapan, bukti pengisian logbook, lokasi pendaratan ikan, surat ijin penangkapan ikan, dan ukuran tangkap. Jenis ini ditangkap diatas ukuran 2 m atau 50 kg dan wajib menyampaikan realisasi beserta rekapitulasi surat angkut dalam negeri setiap enam bulan.

 

Hiu yang masih banyak dijual di pasar-pasar tradisional Sumut. Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

 

Pengakuan

Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut KKP Andi Rusandi pada kesempatan terpisah menyatakan, pihaknya memang mengajukan surat permohonan secara resmi kepada LIPI untuk memberikan rekomendasi kuota pengambilan/penangkapan spesies yang ada di laut.

Pengajuan tersebut dilakukan, karena Andi mengetahui kalau KKP adalah lembaga resmi Negara yang menjadi Otorita Pengelola (MA) di Indonesia seperti diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan. Sesuai dengan PP tersebut, MA adalah KKP dan Otorita Saintifik (SA) adalah LIPI.

“Akan tetapi, memang untuk MA yang diakui CITES saat ini adalah KLHK. Jadi persoalannya adalah, MA ini ketika pada forum internasional masih mengakui KLHK dan bukan KKP,” jelas dia.

Menurut Andi, walau ada surat permohonan untuk membatalkan rekomendasi dari LIPI yang diajukan KLHK, namun pihaknya merasa itu tidak menjadi persoalan. Mengingat, KKP juga sudah ditunjuk secara resmi oleh Negara melalui PP 60/2007.

Mengingat CITES hanya mengakui satu lembaga saja untuk MA, KKP sebenarnya sudah mengajukan surat resmi kepada Kementerian Luar Negeri RI untuk bisa mengirimkan surat pemberitahuan kepada CITES di Swiss. Tetapi, surat tersebut sampai sekarang belum ditembuskan ke CITES, karena antara KLHK dengan KKP belum terjadi kesepakatan tentang hal tersebut.

“Tinggal pengakuan (dari CITES), tapi harus ada notifikasi dulu dari Pemerintah Indonesia. Notifikasi itu harus disampaikan melalui Kemenlu RI, namun Kemenlu minta KLHK dan KKP untuk bermusyawarah,” tutur dia.

Andi menyebutkan, KKP sampai saat ini terus berusaha untuk mencari jalan keluar berkaitan dengan status MA tersebut. Mengingat, jika merujuk pada Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, KKP mendapat amanah untuk mengurus persoalan akuatik dari hulu hingga hilir.

Andi memaparkan, melalui amanah tersebut, KKP secara bertahap mendudukan segala permasalahan, melaksanakan pengelolaan, dan juga membantu secara lebih khusus untuk pengelolaan akuatik yang dilakukan secara kelembagaan oleh KKP.

“Perdagangan lebih fokus dan lebih berkualitas,” tegas dia.

 

Para buruh mengangkut hiu yang baru tiba di TPI Tanjung Luar. Puluhan buruh terlibat dalam rantai bisnis hiu di Tanjung Luar. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Dengan pertimbangan bahwa pengelolaan harus dilakukan lebih baik dan berkualitas, maka KKP secara resmi meminta bantuan LIPI untuk bisa memberikan rekomendasi terhadap beberapa spesies yang diperdagangkan. Rekomendasi menjadi penting, karena itu untuk mengontrol seberapa banyak pemanfaatan spesies dalam jangka waktu tertentu.

“Kontrolnya jadi lebih gampang, karena kalau lebih dari 100 ekor misalnya, maka itu berarti ilegal kelebihannya,” jelas dia.

 

Exit mobile version