Mongabay.co.id

Dusun Tohpati Belajar Memilah 5 Jenis Sampah

 

Ada lima gantungan wadah sampah di dekat pintu masuk rumah Wayan Kertiasih. Titik gantungan itu dikaitkan karung. Hanya satu karung yang saat itu terlihat, isinya botol plastik dan kemasan minuman. Digantung di papan bertuliskan “anorganik bernilai”.

Empat papan lainnya berkategori organik lunak/keras, anorganik keras, popok/tisu/pembalut, dan residu/B3. Ia menyebut untuk organik lunak/keras diwadahi ember dengan tutupnya dan ditaruh di dapur. “Saya juga ngambil sisa makanan tetangga untuk diberikan babi,” ujarnya.

Kertiasih mengaku tumben memilah sampah. Sejauh ini ia mengaku tidak keberatan memilah, namun tidak semua jenis bisa terpilah dengan baik. Ia menyontohkan residu sampah berbahaya atau B3 yang sangat jarang, atau kadang dijadikan satu dengan anorganik. Keluarga ini sedang belajar memilah sampah popok karena seorang lansia anggota keluarga menggunakannya tiap hari. Ia juga baru mengumpulkan anorganik bernilai untuk ditabung. “Saya belum punya tabungan di bank sampah, ini pertama kali,” lanjutnya ramah.

Setiap hari semua sampahnya ditaruh di depan rumah dalam wadah-wadah bekas tong seng yang diberikan desa. Ada tiga tong berwarna merah, kuning, dan hijau. Jadi ada dua penampung sampah berbeda di rumahnya, tong seng besi dan gantungan karung dipisahkan lima jenis sampah.

baca : Darurat Pengelolaan Sampah di Bali, Rentan sebabkan Konflik Sosial dan Ekonomi. Seperti Apa?

 

Gantungan lima jenis sampah di program Zero Waste Cities Dusun Tohpati, Kesiman Kertalangu, Denpasar. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Karung-karung dengan pengait jenis sampah inilah sarana yang diberikan para pihak yang bekerja dalam program rintisan Zero Waste Cities di Banjar/Dusun Tohpati, Desa Kesiman Kertalangu, Kota Denpasar sejak November 2019 lalu.

Program itu dilakukan Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali bekerjasama dengan Perkumpulan YPBB Bandung melalui proyek Asia Pacific Action Against Plastic Pollution: Reducing Land Based Leakage of Plastic Waste in Philippines & Indonesia Through Zero Waste Systems and Product Redesign. Dengan supervisi Mother Earth Foundation (MEF), para pihak tengah mengembangkan model pengelolaan sampah yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan di kawasan pemukiman. Diharapkan program ini dapat menyelesaikan persoalan kebocoran plastik di perairan, khususnya sungai dan laut.

Selama tiga bulan ini implementasi pemilahan sampah diujicobakan ke 107 KK di Dusun Tohpati. “Susah sekali. Bisa 180 derajat beda pemahaman orang pas kita ajak memilah sampah,” tutur I Nyoman Nada, Kepala Dusun Tohpati, ditemui Senin (3/2/2020) di balai banjarnya. Banjar adalah entitas masyarakat tradisional di Bali setingkat dusun.

Nada mengatakan dari 107 KK, kurang dari 50% yang mau mencoba memilah, dengan sejumlah catatan. Sementara jumlah warga Dusun Tohpati lebih dari 1200 KK. Syukurnya, sudah ada beberapa warga yang memang terbiasa memilah sampah sebelum program ini masuk, termasuk komposting limbah organik sendiri di rumah.

Program ini menurutnya tantangan besar namun ia sangat berharap bisa terlihat hasilnya. Jika berjalan, ia yakin ada pengurangan sampah yang signifikan ke TPA karena sebagian bisa diolah di rumah atau TPST 3R yang ada di desanya, dikelola Dinas Lingkungan Hidup Kota Denpasar.

Selain memberikan sarana pemilahan di tiap rumah, program ini juga menyasar sekolah sekitar desa. “Perubahan mindset ini paling penting, harus dimulai dari anak-anak,” lanjutnya. Selain itu srategi lain yang menurutnya harus dicoba adalah lewat aturan adat atau awig-awig. “Kalau sudah kulkul (alat komunikasi tradisional di banjar) diketok pasti bergerak. Kalau misalnya ada denda bawa beras 1 kg ke banjar pasti malu,” Nada menyontohkan sanksi adat yang memungkinkan dicoba untuk mendorong program ini dari atas. Namun ia berharap, agar lebih masif, aturan adat soal pemilahan dan pengolahan sampah ini idealnya mengatur keseluruhan desa di Bali. Melalui majelis desa adat.

Sebelum program Zero Waste Cities, pihak desa sudah mencoba mengajak pemilahan dengan menyediakan sejumlah sarana tong sampah tiga jenis. Tong-tong ini masih terlihat di sejumlah titik, namun beberapa terlihat tak digunakan atau jenis sampahnya tak sesuai tong, masih tercampur.

Pengangkutan sampah dari rumah langsung ke TPA Suwung dilakukan tiap dusun dengan pengenaan iuran bulanan per KK. Ada juga yang berlangganan ke jasa pengangkut sampah swasta. “Hanya memindahkan sampah ke TPA. Pergub harus dikawal jangan hanya wacana,” harapnya.

baca juga : Inilah Data dan Sumber Sampah Terbaru di Bali

 

Cara komposting sampah di TPST Kertalangu. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia.

 

Monitoring moci

Sebuah motor roda tiga atau moci terlihat melewati jalan-jalan Desa di Tohpati. Ini kawasan padat penduduk di perbatasan kota Denpasar. Moci terlihat penuh dengan karung-karung sampah. Jalannya pelan. Tiap rumah atau lokasi usaha menggunakan wadah sampah berbeda. Jika wadah sampahnya berat dari besi atau ember besar, niscaya supir dan pengangkut sampah kesulitan menaikannya ke moci karena gundukan makin tinggi.

Kadek Duana adalah salah satu pengangkut sampah program zero waste cities di Dusun Tohpati. Tiap hari ia berbagi wilayah pengangkutan dengan 2 rekannya. Ia mengangkut sampah sekitar 25 KK dengan dua kali bolak balik ke area TPST, lokasi pengolahan dan pemilahan sampah. Ia mengaku sedikit KK yang disiplin memilah sampahnya. Karena itu, sampah masih harus dipilah di TPST. Di lokasi ini baru terlihat diolah jadi kompos dan sisa anorganik dibagi dua antara yang bisa dijual di bank sampah dan dibawa ke TPA.

Sebuah mesin raksasa, fermentasi sampah organik, Midori Fermentation Decompression (MFD) bantuan Jepang terlihat mangkrak di TPST Kertalangu. Para petugas pemilah sampah menggunakan cara komposting konvensional dengan mencacah dan mengumpulkan selama beberapa minggu, kemudian disaring. Tak ada bau tajam khas sampah basah karena lebih banyak dedaunan dan canang (sesajen) di gundukan calon kompos.

Ni Putu Bella Yuliana Dewi, koordinator lapangan program zero waste ini tengah melakukan monitoring proses pemilahan dan pengangkutan sampah oleh moci. “Tiap hari saya monitoring, ke rumah-rumah lihat apakah sampah dipilah, dan cek pengangkutannya,” jelas perempuan muda dari desa setempat ini.

Sejauh ini ia melihat ketaatan warga naik turun dalam perilaku pemilahan. Terutama saat ada acara besar di rumah, sampah pasti tercampur karena tak semua orang di rumah tahu dan mau memilahnya. “Ada kartu monitoringnya, tiap hari dicatat apakah sampah dipilah atau tidak,” ujarnya.

Dari sejumlah kartu terlihat ada warga yang konsisten memilah dan tidak. Misalnya dua warga yang terlihat antusias seperti Ketut Digandi dan Wayan Budiantara.

Catur Yudha Hariani, Direktur PPLH Bali mengatakan implementasi sejauh ini perilaku pemilahan dari sumber yakni rumah tangga masih rendah. “Moody, hari ini memilah besok tidak. Tetapi tim terus mengambil sampah setiap pagi dan mengedukasi terus. Inilah tantangan berat kami karena kebijakan di desa dinas dan adat belum ada,” jelasnya.

Sejumlah fasilitas sudah didistribusikan seperti poster, papan info pemilahan, dan alat pewadahan. Ke depan ada rencana susun peraturan dengan pengurus desa adat. Jika sudah ada aturan adat maka masyarakat semakin patuh melakukan pemilahan dari sumber, melakukan pengurangan penggunaan plastik baik di rumah tangga dan tempat ibadah di pura.

Dukungan dari desa dinas mulai muncul dengan membantu kelengkapan sarana prasarana dan anggaran. “Edukasi terus menerus di banjar dan sekolah harus dilakukan,” lanjut Catur.

baca juga : Sustainism Lab, Cara Trendi Kelola Sampah Sendiri di Bali

 

Sebuah moci pengangkut sampah di Dusun Tohpati, Kesiman Kertalangu. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia.

 

Skema zero waste cities

Ada sejumlah regulasi yang mendukung program zero waste cities ini. Undang Undang No.18/2008 tentang Pengelolaan Sampah, Pergub Bali No.97/2018 Pengurangan Timbulan Sampah Sekali Pakai, Peraturan Walikota Denpasar No.11/2016 Tata Cara Pengelolaan dan Pembuangan Sampah di Kota Denpasar, dan Peraturan Walikota No.36/2018 tentang Pengurangan Penggunaan Plastik Sekali Pakai.

Desa Kesiman Kertalangu memiliki penduduk 17.704 jiwa yang tersebar pada 11 dusun menghasilkan sampah 1.238,38 ton/hari. Di desa ini ada pantai Biaung yang setiap hari mendapatkan kiriman sampah dari tengah laut dan sungai. Dusun Tohpati adalah salah satu dusun di Desa Kesiman Kertalangu, dan yang memiliki nasabah pengangkutan sampah 200 KK.

Di Indonesia, program pertama zero waste cities mulai 2017 di Bandung pada 7 kelurahan/desa dan tahun 2019 dikembangkan di Bali, Surabaya, dan Medan. Sasarannya pengurangan polusi sampah ke sungai dan ke laut, serta memperbaiki sistem pengumpulan dan daur ulang sehingga mencegah masuknya 90% sampah plastik ke laut.

Targetnya, memastikan setiap rumah tangga mendapatkan edukasi door to door (100%), setiap rumah tangga melakukan ketaatan pemilahan sampah (90%), dan jumlah sampah sampai 70% tidak lagi dikirim ke TPA.

Capaian yang diharapkan adalah ada sistem pengelolaan sampah yang terdesentralisasi baik melalui pemisahan sampah dari sumber dan metode pengomposan yang sesuai dengan kondisi wilayah. Caranya dimulai dengan MoU dengan pemerintah desa, pembentukan Pengurus Pengelolaan Sampah, survei dasar (baseline), profiling desa, studi analisis sampah dan karakter, pemetaan infrastruktur depo/TPST, pelatihan warga, dan lainnya.

 

Exit mobile version