Mongabay.co.id

Hilangnya Aspek Lingkungan dalam Tata Kelola Pemanfaatan Lobster

Bayi lobster sitaan lepas liar di perairan Sumatera Barat, Maret 2018. Foto: Vinoloa/ Mongabay Indonesia

 

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) diduga kuat mengabaikan aspek keberlanjutan lingkungan dan pelibatan masyarakat pesisir dalam penyusunan rancangan peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Rapermen KP) tentang aturan pemanfaatan benih lobster (BL). Dugaan itu muncul, karena KKP lebih mengedepankan kepentingan pengusaha dibandingkan aspek lingkungan.

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Kedailan Perikanan (KIARA) Susan Herawati pada Selasa (13/2/2020), menyatakan bahwa Rapermen KP tersebut sedianya akan menjadi peraturan pengganti Permen KP Nomor 56 Tahun 2016 tentang Larangan Penangkapan dan/atau Pengeluaran Lobster, Kepiting, dan Rajungan dari Indonesia.

“Dari sisi nomenklatur, Permen yang baru bernama Pengelolaan Lobster, Kepiting, dan Rajungan di Wilayah Negara Republik Indonesia,” ucap dia.

Menurut Susan, jika Permen yang baru nanti disahkan, maka Permen yang lama tidak akan berlaku. Itu artinya, aturan mengenai pelarangan ekspor BL yang sejatinya sudah berlaku melalui Permen KP 56/2016, akan otomatis berubah menjadi aturan ekspor BL.

Melihat perubahan arah pengelolaan yang ada pada Permen yang baru, KKP ditengarai akan lebih mengutamakan kepentingan pengusaha dibandingkan aspek lingkungan ataupun masyarakat pesisir. Situasi itu secara tidak langsung akan mengabaikan aspek lingkungan yang seharusnya menjadi pertimbangan juga.

baca : Demi Keberlanjutan di Alam, Benih Lobster Fokus untuk Dibudidayakan

 

Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo panen lobster saat berada di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, Kamis (26/12/2019). Foto : Humas KKP/Mongabay Indonesia

 

Bagi Susan, perubahan arah tersebut tak hanya akan memberi keuntungan yang besar bagi pelaku usaha benih lobster saja, namun juga pelaku usaha kepiting, dan rajungan. Dengan adanya Permen KP 56/2016 pun, ketiga komoditas tersebut selama ini selalu menjadi andalan bagi para pelaku usaha untuk mendapatkan pundi-pundi rupiah.

“Signifikansi Rapermen tersebut sesungguhnya hanya berfokus pada pencabutan larangan ekspor benih lobster dan pengubahan ukuran minimal lobster, kepiting, serta rajungan yang menguntungkan pihak tertentu saja,” jelas dia.

Adapun, rapermen yang dimaksud saat ini masih dalam tahapan pembahasan oleh KKP di bawah pemantauan Komisi Pemangku Kepentingan dan Konsultasi Publik Kelautan dan Perikanan (KP2 KKP). Naskah akademis rapermen tersebut yang terdiri dari empat draf, saat ini sudah diberikan KKP kepada KP2 KKP.

Bagi KIARA, penyusunan draf tersebut harus dikawal dengen ketat oleh publik, terutama masyarakat perikanan nasional. Penyebabnya, karena Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo yang memimpin langsung penyusunan draf, saat ini semakin terlihat fokus untuk mengarah rapermen pada pencabutan larangan ekspor BL.

“KKP diharapkan untuk membangun sistem budi daya lobster atau penangkapan lobster yang berbasis masyarakat, keberlanjutan lingkungan, dan juga menguntungan,” tegas dia.

baca juga : Adakah Cara Lain Pemanfaatan Benih Lobster, Selain Ekspor?

 

Benih lobster yang dilakukan pembesaran hasil pembesaran di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, Kamis (26/12/2019). Foto : Humas KKP/Mongabay Indonesia

 

 

Perubahan

Susan kemudian menambahkan, dalam rancangan Permen KP yang tengah disusun tersebut, tidak ada satu kata pun di dalam naskah akademiknya yang menyebutkan tentang kata pelarangan menjual benih lobster. Walau masih sebatas draf, namun naskah akademik tersebut bisa menjelaskan seperti apa orientasi tata kelola perikanan sekarang yang lebih banyak mengarah ke pengusaha.

“Ini artinya arah rapermen sudah ketahuan ke mana,” tutur dia.

Dengan fakta di atas, Susan ingin mengingatkan kepada semua pihak yang berkepentingan bahwa arah tata kelola perikanan tersebut pada akhirnya akan menutup pembudi daya skala kecil untuk bisa berkembang. Keberadaan mereka di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil, dipastikan akan semakin mengalami kesulitan karena kalah bersaing dengan pemodal berkantong besar.

Tentang perubahan arah tata kelola tersebut, kemudian dirinci lebih detil oleh Susan Herawati. Dalam Permen KP 56/2016, pengaturan lobster yang boleh ditangkap minimal adalah berukuran 8 centimeter/200 gram. Sementara, dalam rapermen yang sekarang, aturan itu berubah menjadi ukuran minimal 6 cm/150 gram.

Kemudian, kepiting yang boleh ditangkap sesuai Permen KP 56/2016 adalah minimal berukuran 15 cm/200 gram dan kemudian berubah menjadi berukuran minimal 12 cm/150 gram. Sementara, untuk rajungan, tidak mengalami perubahan dalam rapermen yang sekarang, yakni berukuran minimal 10 cm/60 gram.

Pada pekan lalu, Menteri KP Edhy Prabowo mengatakan bahwa draf kebijakan baru yang tengah disusun saat ini dibuat dengan mempertimbangkan banyak hal dan melalui hasil riset serta kajian yang mendalam. Draf tersebut juga akan diserahkan terlebih dahulu ke Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, juga Presiden RI Joko Widodo.

“Kebijakan KKP seperti peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan yang akan diterbitkan harus berdasarkan kajian ilmiah. Bukan kepentingan satu dua orang saja,” tegas dia.

perlu dibaca : Pro dan Kontra Pelegalan Jual Beli Benih Lobster

 

Petugas kepolisian Jambi menunjukkan hasil penangkapan benih lobster yang hendak diselundupakan ke Singpuaran beberapa waktu lalu. Foto: Yitno Supriyanto/Mongabay Indonesia

 

Salah satu bentuk kajian itu, adalah dengan mendengarkan masukan dari nelayan, pembudi daya ikan, dan juga stakeholder lain yang terlibat. Semua masukan itu, di antaranya ada yang masuk ke KP2 KKP yang dipimpin Effendi Ghazali.

Dari banyak masukan, terdapat masukan revisi Permen KP 56/2016 tenteng Larangan Penangkapan dan/atau Pengeluaran Lobster, Kepiting, dan Rajungan dari Indonesia. Masukan tersebut banyak disuarakan, karena dinilai sudah mematikan mata pencaharian nelayan dan juga sekaligus menjadi ajang pungutan liar (pungli) bagi oknum tertentu.

Salah satu yang mengajukan usulan itu adalah Sucipto, seorang nelayan tradisional dari Banyuwangi, Jawa Timur. Saat diundang Edhy Prabowo di Jakarta pekan lalu, dia menyuarakan pencabutan Permen KP 56/2016, karena dinilai sudah memberi dampak buruk bagi kesejahteraan nelayan di sekitar Banyuwangi.

 

Potensi

Menurut dia, pelarangan tersebut dinilai tidak tepat, karena jika BL dibiarkan di alam justru potensi hidupnya sangatlah kecil. Hal itu, karena BL adalah makanan favorit bagi hewan laut yang menjadi predator. Untuk itu, kebijakan yang tepat adalah bukan melarang, tapi memberikan izin dengan memperhatikan sejumlah ketentuan.

Sucipto berani mengatakan hal di atas, karena dari pengalamannya saat menangkap BL, memang jumlahnya sangat banyak. Bahkan di Banyuwangi sendiri, ada nelayan yang sanggup menangkap BL hingga 5.000 ekor dengan alat tangkap yang tradisional.

“Alat kami tradisional pak, tidak merusak. Banyak yang bisa ditangkap tapi banyak juga yang lepas,” tutur dia.

Namun demikian, cerita indah di atas kemudian seketika berubah menjadi cerita buruk, setelah Permen KP 56/2016 diberlakukan. Sejak ada pelarangan menangkap benih lobster, sekitar 1.000 nelayan skala kecil di Banyuwangi diperkirakan terpaksa harus kehilangan sumber penghidupan yang menjadi sumber rezeki bagi keluarga masing-masing nelayan.

Setelah tidak bisa menangkap benih lobster, dia dan nelayan lain kemudian memutuskan untuk beralih ke tangkapan yang lain. Dia sendiri mengaku menjadi nelayan andon, yakni nelayan yang mencari ikan di wilayah perairan yang secara administrasi ada di luar Banyuwangi. Untuk bisa mendapatkan tangkapan ikan yang banyak, Sucipto melaut hingga perairan Malang dan Bali.

baca juga : Sampai Kapan Penyelundupan Benih Lobster Terus Terjadi?

 

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti melepasliarkan benih lobster sebanyak 174.000 ekor hasil sitaan dari Lampung, di Perairan Pulau Nusa Penida dan Kawasan Nusa Dua, Bali, pada Sabtu (13/7/2019). Foto : Humas KKP/Mongabay Indonesia

 

Peneliti Lobster Bayu Priambodo yang hadir di tengah nelayan yang bertemu dengan Edhy Prabowo, menyebutkan kalau BL di perairan Indonesia hingga saat ini memang masih melimpah. Dalam setahun, tak kurang ada sekitar 12,35 miliar ekor benih yang memenuhi perairan Nusantara. Dari jumlah tersebut, potensi yang bisa hidup hingga besar sangatlah sedikit.

Bayu kemudian menjelaskan, jika ada 10.000 ekor BL di suatu perairan, maka dari jumlah tersebut diperkirakan hanya satu ekor saja yang bisa bertahan hidup hingga mencapai usia dewasa. Sementara sisanya, diperkirakan akan mati karena persaingan sangat ketat di dalam perairan.

“Begitu induk-induk lobster menetaskan telur di laut, dia dititipkan pada mekanisme alam, mekanisme arus, dan mekanisme alam regional,” ungkap dia.

Dengan fakta tersebut, Bayu mengatakan bahwa BL sebaiknya dimanfaatkan hingga bisa bernilai ekonomi yang bagus. Cara terbaik untuk memanfaatkan BL, adalah dengan melaksanakan pembesaran melalui prinsip budi daya perikanan.

“Prinsip utamanya jangan ganggu indukan yang ada telurnya. Kalau ambil induk, itu mempercepat kepunahan,” tegas dia.

***

Keterangan foto utama : Bayi lobster sitaan lepas liar di perairan Sumatera Barat. Foto: Vinolia/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version