Mongabay.co.id

Lahan Basah di Cagar Alam Tanjung Panjang Harus Dipertahankan

Hutan bakau di Kuala Langsa ini tidak hanya sebagai pelindung dari abrasi tetapi juga memberi manfaat bagi masyarakat Kota Langsa. Foto: Junaidi Hanafiah

 

 

Cagar Alam Tanjung Panjang merupakan kawasan lahan basah dengan tingkat keanekaragaman hayati menjanjikan di Provinsi Gorontalo. Namun, kondisinya mulai terancam akibat hilangnya tegakan mangrove, yang beralih fungsi menjadi tambak ikan bandeng dan udang.

Upaya penyelamatan tetap digaungkan. Terutama, dengan mengkampanyekan pentingnya fungsi lahan basah itu beserta kandungannya, yang berada di pesisir barat Gorontalo. Adalah Biodiversitas Gorontalo [BIOTA] bersama Wetlands International Indonesia, Jaringan Advokasi Pengelolaan Sumber Daya Alam [Japesda], dan BKSDA Seksi II Wilayah Gorontalo, yang melakukan gerakan penyelamatan lahan basah tersebut, Sabtu dan Minggu [8-9 Februari 2020].

“Kami merayakan Hari Lahan Basah Sedunia atau World Wetlands Day tahun 2020 dengan mengajak siswa SMA Negeri I Randangan di Kabupaten Pohuwato. Kegiatan difokuskan di wilayah konservasi ini,” ungkap Debby Hariyanti Mano, Ketua Biota.

Baca: Burung Migran yang Pasti Datang ke Tanjung Panjang

 

Burung gajahan timur [Numenius madagascariensis] yang paruh panjang dan gajahan pengala [Umenius phaeopus] di Cagar Alam Tanjung Panjang. Keduanya burung migran. Foto: Riri Hasan/BKSDA Seksi II Wilayah Gorontalo

 

Peringatan Hari Lahan Basah Sedunia rutin dilaksanakan secara global, mengacu perjanjian perlindungan lahan basah yang ditandatangani 2 Februari 1971. Indonesia telah meratifikasi Konvensi Lahan Basah Internasional sejak 1991.

Lahan basah merupakan kesatuan integral, yang meliputi kawasan sangat luas dari puncak-puncak gunung, dataran tinggi, dataran rendah, hingga pesisir. Terdiri dari sejumlah ekosistem khas seperti kawasan gambut, rawa, danau, situ, sungai, juga payau dan pesisir. Kawasan ini kesatuan sistem unik yang memainkan peran signifikan dalam sistem ekologis dari tingkat lokal hingga global.

“Lahan basah tidak saja dipahami sebagai pendukung kehidupan secara langsung, seperti sumber air minum dan habitat beragam makhluk hidup, tapi juga memiliki fungsi ekologi. Sebut saja mengurangi risiko bencana, mengendalikan banjir, mencegah intrusi air laut, erosi, pencemaran, dan pengendali iklim global,” kata Susan Lusiana, Koordinator Pelaksana World Wetlands Day, dari Yayasan Lahan Basah Indonesia.

Lahan basah kaya karakteristik nilai dan fungsi, namun juga sangat peka dan rentan terhadap perubahan. “Untuk melestarikan fungsi ekosistemnya perlu pengelolaan bijak dengan memperhatikan keseimbangan ekologis dan kepentingan generasi sekarang juga akan datang,” terangnya.

Baca: Polemik Cagar Alam Tanjung Panjang: Tambak hingga TORA [Bagian 1]

 

Gajahan penggala yang kemunculannya terpantau di Cagar Alam Tanjung Panjang. Foto: Riri Hasan/BKSDA Seksi II Wilayah Gorontalo

 

Pentingnya mangrove

Tema Hari Lahan Basah tahun ini adalah “Lahan Basah dan Keanekaragaman Hayati” yang dikaitkan dengan lahan basah untuk pengurangan risiko bencana dan perubahan iklim.

“Mangrove penting bagi keberlangsungan keragaman hayati di lahan basah. Dalam tiga kali pengamatan di Cagar Alam Tanjung Panjang, 28 jenis burung terpantau yang sebagian adalah jenis migrasi. Ini berarti, Tanjung Panjang adalah habitat burung yang harus dijaga,” kata Hanom Bashari, anggota Biota Gorontalo, yang juga spesialis keragaman hayati.

Menurut dia, mangrove sangat besar perannya untuk ekosistem. Kabupaten Pohuwato sendiri memiliki kawasan mangrove terbesar di Sulawesi. Jika ekosistemnya rusak, akan berdampak pada desa-desa sekitar. “Abrasi dan hilangnya keragaman ekosistem seperti ikan-ikan kecil dan kepiting serta berkurangnya burung migran yang datang adalah dampak yang bakal terjadi,” jelasnya.

Baca juga: Polemik Cagar Alam Tanjung Panjang: Tambak hingga TORA [Bagian 2]

 

Cagar Alam Tanjung Panjang merupakan kawasan lahan basah yang harus dipertahankan. Foto: Debby Hariyanti Mano

 

Sela Sahari, perwakilan pelajar, mengaku senang ikut menanam mangrove. “Selain diajarkan mengenal jenis-jenis burung migran, kami juga mendapatkan pengetahuan tentang ekosistem mangrove dan fungsinya, serta menanam. Saya berharap, semua bibit tumbuh baik,” ungkapnya.

Susan menambahkan, lahan basah mendukung keberadaan spesies burung air, ikan, amfibi, reptil, dan tumbuhan dalam siklus kehidupannya. Lahan basah juga menjadi tempat tinggal, berkembang biak satwa, dan perlindungan keanekaragaman hayati sekitar kita.

Global Wetland Outlook [2018] menyebutkan, 40 persen dari total spesies di dunia hidup dan berkembang biak di lahan basah.

“Namun di sisi lain, sejak 1970-an sejumlah spesies yang hidupnya bergantung pada lahan basah menurun populasinya. Gambarannya, 81 persen spesies daratan dan 36 persen spesies pesisir dan laut,” ungkapnya.

Baca juga: Burung Terancam Punah Penghuni Pulau Rambut

 

Sekitar 28 jenis burung berada di Cagar Alam Tanjung Panjang yang sebagian besar merupakan jenis pendatang. Foto: Debby Hariyanti Mano

 

Cagar Alam Tanjung Panjang berdasarkan penetapan SK Menteri LHK No. 9612 MENLHK-PKTL/KUH/2015 tentang Penetapan Kawasan Hutan Cagar Alam Tanjung Panjang luasnya 3.174,10 hektar. Berdasarkan data Balai Pemantapan Kawasan Hutan [BPKH] XV Gorontalo, kawasan konservasi ini telah beralih fungsi menjadi tambak seluas 2.513,66 hektar atau sebesar 80,35 persen dari total luasnya. Hutan mangrove sekunder tersisa 440,31 hektar atau 14,08 persen saja, sementara semak belukar rawa hanya 67,65 hektar atau 2,16 persen.

Pola penguasaan ruang oleh petani tambak yang memanfaatkan kawasan ini semakin berpolemik ketika Cagar Alam Tanjung Panjang dimasukkan dalam peta indikatif Tanah Objek Reforma Agraria [TORA].

 

Hutan mangrove memberi dampak positif bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Luasannya yang masuk peta indikatif TORA adalah 2.479,85 hektar. Lahan tersebut merupakan garapan masyarakat berupa sawah dan juga tambak ikan, berupa bandeng dan udang. Namun, kebijakan TORA ini ditolak pegiat lingkungan yang menamakan diri Aliansi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Cagar Alam Tanjung Panjang. Mereka telah mengirimkan surat keberatan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

 

 

Exit mobile version