Mongabay.co.id

Perdagangan Trenggiling Ilegal Mungkin Berperan dalam Penyebaran Wabah Corona

 

 

Jumlah korban meninggal akibat virus corona [COVID-19], hingga Selasa [18 Februari 2020] pagi telah mencapai 1.873 orang. Sementara itu, jumlah yang terinfeksi, sebagaimana dikutip dari South China Morning Post, mencapai 73.433 kasus yang tersebar di 29 negara. Hingga kini, penelitian terus dilakukan untuk menguak kejelasan bagaimana virus mematikan ini menyerang manusia. Kelelawar merupakan hewan yang dipercaya sebagai sumber virus baru tersebut.

Namun, beberapa temuan menunjukkan, virus tidak ditularkan langsung dari kelelawar ke manusia. Sebaliknya, trenggiling, kelompok hewan pemakan semut bersisik yang merupakan mamalia paling diperdagangkan di dunia, diduga sebagai perantara virus tersebut.

Kantor Berita Xinhua, Tiongkok, melaporkan pekan lalu bahwa para peneliti telah menemukan kecocokan genetik terdekat dengan virus corona yang menginfeksi manusia dalam virus yang terdeteksi pada trenggiling. Namun, para ilmuwan telah memperingatkan agar tidak sampai pada tahap kesimpulan, sebelum penelitian dipublikasikan dan ditinjau lebih dalam.

“Penemuan inang dari sumber virus SARS-CoV-2 akan melibatkan penelitian terhadap banyak hewan, kemungkinan besar jenis mamalia yang berbeda sampai ditemukan kecocokan yang sangat mirip,” terang Benjamin Neuman, virolog di Texas A&M University-Texarkana, merujuk pada virus tersebut, kepada Mongabay melalui surat elektronik.

“Urutan turunan trenggiling yang kita miliki, sejauh ini paling dekat dengan SARS-CoV-2 … tetapi mereka masih memiliki sekitar 3.000 perbedaan genetik dari virus yang menyebabkan COVID-19.”

Jika trenggiling berperan sebagai perantara, pelarangan atas perdagangan hewan pemalu dan penyendiri ini dapat diberlakukan untuk mengatasi kondisi krisis. Trenggiling diperdagangkan untuk diambil daging dan sisiknya, yang digunakan dalam pengobatan tradisional Tiongkok. Di alam liar, sisik melindungi trenggiling, yang menjadi satu-satunya alat pertahanan mereka dalam melawan pemangsa dengan meringkuk menjadi bola.

Perdagangan internasional untuk semua delapan spesies trenggiling telah dilarang sejak 2016 di bawah aturan CITES, perjanjian yang mengatur perdagangan satwa liar secara internasional. Dari tahun 2000 hingga 2013, diperkirakan lebih satu juta trenggiling masuk pasar internasional secara ilegal.

Tiongkok adalah tujuan utama perdagangan ilegal trenggiling dan produk ilegalnya. Meskipun ada larangan, antara 2016 sampai 2019, sekitar 206 ton sisik trenggiling disita dalam 52 penggerebekan, menurut LSM Komisi Keadilan Satwa Liar, dengan perkiraan konservatif. Semua spesies trenggiling yang ada, masuk keluarga Manidae, yang berstatus terancam punah; tiga dari empat spesies Asia – Cina [Manis pentadactyla], Sunda [M. javanica], dan Filipina [M. culionensis]- yang terdaftar sebagai spesies terancam punah IUCN.

“Jika sumber wabah COVID-19 adalah satu dari delapan spesies trenggiling, seperti yang ditunjukkan oleh tanda-tanda awal, hal itu dipastikan melibatkan perdagangan hewan ilegal,” kata Neuman. “Dalam aturan CITES, memiliki, menjual, atau membeli trenggiling dianggap illegal jika tanpa pengecualian khusus, untuk tempat-tempat seperti kebun binatang.”

Hewan langka dan terancam punah sering dijual terbuka di pasar satwa liar di Tiongkok, seperti Pasar Grosir Makanan Laut Huanan di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, tempat wabah itu bermula. Namun, belum jelas apakah kelelawar atau trenggiling dijual di pasar pada Desember ketika kasus pertama dilaporkan. Pada bulan yang sama, pejabat bea cukai Tiongkok melakukan penyitaan trenggiling skala besar, 10 ton, di Kota Wenzhou, Provinsi Zhejiang.

Baca: Wabah Corona, Bencana Kesehatan dan Mitigasi Ekologi Budaya

 

Trenggiling ini berada di pusat penyelamatan satwa di Kamboja. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Meskipun mengidentifikasi bagaimana virus baru ditransmisikan ke manusia tidak akan selalu membantu penanganan epidemi yang sedang berlangsung, tetapi ini bisa membuktikan dan membantu mengatasi penyebaran virus corona di masa depan. Dalam epidemi SARS [sindrom pernapasan akut parah] yang terjadi di Asia Tenggara pada 2003, musang sawit asia [Paradoxurus hermaphroditus] diidentifikasi sebagai inang perantara. Dalam kasus MERS [sindrom pernapasan Timur Tengah], inangnya merupakan unta. Sedangkan kelelawar dianggap sebagai reservoir bagi banyak virus yang dapat memicu wabah penyakit pada manusia. Virus tidak membuat kelelawar sakit, karena kelelawar memiliki sistem kekebalan tubuh lebih kuat daripada spesies lain, tetapi malah membuat virus menjadi lebih ganas dan mudah menular.

Tidak ada penyakit baru yang muncul dan berhenti sebelum memasuki populasi manusia karena hanya ada sedikit informasi tentang semua virus yang terdapat pada hewan. Hampir tidak mungkin untuk memprediksi virus mana yang dapat menjadi ancaman.

Apa yang peneliti coba lakukan sekarang adalah reverse sleuthing: menyaring banyak hewan untuk menemukan kecocokan dengan virus corona. Hal ini dilakukan tidak hanya berarti menemukan kecocokan genetik untuk virus, tetapi juga dapat menentukan kronologis peristiwa yang menunjukkan orang-orang yang bersentuhan dengan hewan tertentu dan jatuh sakit setelah terinteraksi.

Fakta bahwa perdagangan satwa liar ilegal kemungkinan memainkan peran membuat kasus ini lebih sulit untuk dientaskan dengan tepat. Proses yang sebenarnya antara pedagang dan pembeli, cenderung berbagi informasi secara tidak terbuka dengan peneliti atau otoritas.

“Saya pikir, sifat penyelundupan itu sendiri, dan dampak yang berpotensi sangat keras untuk ditangkap akan membuat sulit ditemukan sumber infeksi secara langsung. Penelitian ini membutuhkan beberapa pekerjaan detektif yang cermat, dan kemungkinan besar seseorang harus melacak virus dengan kembali ke negara dan daerah sumbernya, untuk mengetahui dengan pasti,” kata Neuman.

Baca juga: Virus Corona, Mewabah di Wuhan Menyebar Cepat ke Penjuru Dunia

 

 

 

Pada 30 Januari 2020, Tiongkok memberlakukan larangan sementara terhadap perdagangan satwa liar di negara itu. Peraturan ini mempengaruhi tidak hanya pasar tradisional seperti di Wuhan tetapi juga supermarket, restoran, dan pengecer online. Wabah ini juga mendapat perhatian dan pengawasan penuh di Tiongkok.

Pada pertemuan 3 Februari 2020, mengenai pengendalian wabah, Presiden Tiongkok Xi Jinping mengatakan, “Perlu memperkuat pengawasan pasar dan dengan tegas melarang sekaligus menindak keras pasar atas perdagangan satwa liar ilegal, juga mengendalikan kesehatan masyarakat,” menurut kantor berita Tiongkok, Xinhua.

Pada 10 Februari, badan legislatif Tiongkok, Kongres Rakyat Nasional, mengatakan akan memperbarui undang-undang dan peraturan perlindungan satwa liar untuk, “Memperkuat tindakan keras terhadap perdagangan satwa liar,” berdasarkan laporan media setempat. Xinhua, mengutip seorang pejabat yang mengatakan, “Pengawasan, inspeksi, dan penegakan hukum harus diperkuat untuk memastikan pasar perdagangan satwa liar dilarang dan dihentikan.”

Hari Trenggiling Sedunia diperingati setiap 15 Februari, sebuah kesempatan untuk merayakan satwa unik sekaligus menyoroti keadaan mereka. Namun begitu, pernyataan mengenai keterkaitan antara trenggiling dengan virus corona tidak bisa begitu saja disebarluaskan. “Kita harus hati-hati mengenai pesan yang kita kaitkan dengan klaim ini, karena penelitian belum dipublikasikan,” kata Dan Challender, dari Departemen Zoologi Universitas Oxford dan kepala Kelompok Spesialis Trenggiling di IUCN.

“Hasil trenggiling bisa positif atau negatif, atau keduanya, tetapi tetap diperlukan kehati-hatian karena kita tidak benar-benar tahu bahwa trenggiling terlibat.” Bisa saja hasilnya positif, ia menyatakan, jika hal itu dapat menghalangi orang-orang untuk berdagang trenggiling secara ilegal.

Dalam sebuah pernyataan, Kelompok Spesialis Trenggiling IUCN mengatakan, terlepas dari ketidakpastian hubungan antara spesies dan virus mematikan ini, “Saatnya mengakhiri perdagangan ilegal trenggiling sekaligus mengurangi potensi risiko kesehatan terkait mengkonsumsi satwa liar.”

 

Tulisan asli dapat dibaca pada tautan ini: Illegal pangolin trade may have played a part in coronavirus outbreak. Artikel diterjemahkan oleh Akita Verselita.

 

 

Exit mobile version