Mongabay.co.id

Nelayan Udang Jambi Merana Gara-gara Corona, Tangkap Ikan Sulit karena Kapal Pukat Harimau

Elviza Diana

 

 

 

 

Agus bermenung di depan rumah. Dia memandang puluhan kapal nelayan bersandar di dermaga kecil di Kelurahan Kampung Laut, Kecamatan Tungkal Ilir, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi. “Kami merana karena corona. Cuma duduk-duduk saja sekarang. Mau apa, kalau udang ketak tidak bisa dijual,” katanya.

Virus corona awal mula menyerang Tiongkok, tepatnya di Wunan dan menyebar ke berbagai negara hingga menjadi keresahan dunia. Hingga 23 Februari 2020, orang terkena corona lebih 78.500-an, dan meninggal dunia lebih 2.300-an orang di dunia. Virus corona menyeruak di Tiongkok, membuat Pemerintah Indonesia, menyetop sementara lalu lintas dari dan ke negara tirai bambu itu. Ekspor impor pun terdampak.

Agus, dan sekitar 1.300 nelayan di Tungkal Ilir sudah hampir dua bulan berhenti melaut. Sehari-hari Agus mencari udang belalang (mantis shrimp) sebagai mata pencaharian utama.

Udang belalang jadi komoditas ekspor utama bagi nelayan pesisir pantai timur Jambi ini ke Tiongkok. Ekspor udang ketak atau udang belalang dari Jambi ke Tiongkok, turun hingga 90% karena imbas virus corona. Pemerintah Indonesia mengurangi ekspor ataupun impor beberapa komoditas ke Tiongkok termasuk udang belalang.

Data Balai Karantina Ikan dan Pengendalian Mutu Hasil Perikanan (BKIPM) Jambi menyebutkan, terjadi penurunan hingga 90% dari Desember 2019 mencapai 333.270 ekor pengiriman hingga 387 kali senilai Rp23 miliar. Pada Februari 2020, hanya ekspor udang belalang dari Jambi 4.350 ekor, 42 kali senilai Rp1 miliar.

Selama ini, Tiongkok satu negara tujuan utama udang ketak, dibandingkan wilayah lain seperti Singapura dan Hong Kong. Pengiriman udang belalang dari Jambi melalui Jakarta dulu, baru ke Tiongkok.

Indra Gunawan, pegawai gudang penampung udang belalang yang hampir dua bulan tidak lagi beroperasi mengaku merugi dengan setop ekspor ini. “Rugi sampai Rp500 juta hampir dua bulan ini. Kami tidak pengiriman kemanapun, berhenti total,”katanya.

Indra bilang, penurunan permintaan udang ketak sejak 25 Januari 2020 lalu hingga kini. Pada hari biasa, dalam satu hari bisa pengiriman antara 20-25 kali, akhir-akhir ini tak mengirim sama sekali.

Indra membawa kami masuk gudang penampung udang belalang. Ada 34 bak berjejer berisi air, namun tak satupun ada udang balalang. Bak-bak itu kosong, hanya bunyi mesin air terdengar nyaring.

“Kami sudah dirumahkan, ada delapan karyawan tak lagi bisa bekerja. Karena tidak ada yang bisa dijual. Beruntung saya masih diperkerjakan bos menjaga kedai kopi dan kontrol sesekali ke gudang.”

Situasi sama terjadi di hampir ratusan gudang penampung udang belalang di Kualatungkal Tanjung Jabung Barat. Ada satu gudang masih menampung udang belalang. Hanya tiga bak terisi.

Roni, karyawan gudang bilang, mereka hanya mengirimkan satu hingga dua kali pengiriman ke Singapura dan Jakarta. “Ekspor hanya bisa ke Singapura dan pasar domestik di Jakarta tidak setinggi permintaan ke China,” katanya.

Indra dan Roni mengatakan, bos mereka kesulitan mencari pasar baru untuk ekspor. “Kalau dari bos mereka akan berupaya jajaki Jepang. Pasar ini dibuat jaringan sesama pengusaha hasil laut, tidak ada dari pemerintah,”kata Indra.

 

Demo minta perhatian pemerintah

Seminggu lalu, nelayan di Kuala Tungkal unjuk rasa meminta perhatian pemerintah atas mata pencarian mereka yang lumpuh. Hasbullah, nelayan di Kelurahan Kampung Nelayan, Tungkal Ilir mengatakan, belum mendapatkan keputusan apapun dari hasil pertemuan antara nelayan dan Pemerintah Tanjung Jabung Timur.

Nelayan tak punya pilihan lain selain menangkap udang belalang karena terkendala dengan jaring.

Kadri, nelayan setempat bilang, perlu banyak biaya kalau mereka membeli jaring ikan, karena jaring udang belalang tak bisa untuk menangkap ikan.

“Beli lagi jaring baru, harga jaring ikan lebih mahal satu gulungan bisa Rp80.000-Rp100..000, kita butuh minimal 50 gulungan. Duit darimana, untuk makan saja ngutang.

 

Nelayan di Pantai Timur Jambi, kesusahan karena ekspor ke Tiongkok, setop sejak virus corona merebak di negara itu. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

Banyak kapal pukau harimau

Selain harga jaring, mereka bilang, tangkap ikan harus bersaing dengan kapal pukat harimau dengan bertonase lebih 7 Gt. Kapal pukat hairmau masih beroperasi di perairan pantai timur Jambi. Nelayan tradisional terutama alat tangkap jaring, kesulitan mencari ikan.

“Bukan hanya satu dua kapal, di sana melaut dan menangkap udang atau ikan dengan pukat harimau, kalau malam di lokasi seperti kota sangking ramainya,” kata Nasir.

Dia dan kawan-kawan sudah berusaha melaporkan ini pada pihak berwajib, namun belum mendapat resepon. “Kalau pakai pukat harimau itu ikan sampai telur-telurnya pun tidak disisakan lagi buat kami nelayan kecil ini,” katanya.

Nasir tak punya pilihan lain, kondisi satu kaki tak berfungsi membuatnya menggantungkan hidup dari kecil sebagai nelayan. “Kalau jadi buruh angkut atau penarik becak, tidak bisa. Kaki saya ini tidak bisa bergerak, lemah sejak kecil. Nelayan inilah mata pencaharian saya.”

Kerisauan nelayan udang di kampung laut ini berharap virus corona dapat teratasi, hingga mereka bisa mengandalkan untung dari ekspor udang belalang. “Kalau bisa pemerintah berikan bantuan sementara dulu untuk makan kami sampai virus itu ada obatnya.”

Dia juga mendesak pemerintah dan aparat berwenang menghentikan operasi kapal dengan pukat harimau. Kapal-kapal dengan pukat harimau, katanya, bertambah banyak. “Kami makin tak bisa mendapatkan ikan.”

 

 

Keterangan foto utama:   Data Balai Karantina Ikan dan Pengendalian Mutu Hasil Perikanan (BKIPM) Jambi menyebutkan, terjadi penurunan hingga 90% dari Desember 2019 mencapai 333.270 ekor pengiriman hingga 387 kali senilai Rp23 miliar. Pada Februari 2020, hanya ekspor udang belalang dari Jambi 4.350 ekor, 42 kali senilai Rp1 miliar.

Exit mobile version