Mongabay.co.id

Krisis Lingkungan : Cekungan Bandung Kian Rentan

 

Kota-kota di Cekungan Bandung kian rentan dilanda bencana. Beban daya tampung terlampau berat menopang geliat perkembangan kotanya. Tanpa pertimbangan daya dukung wilayahnya. Kini Kabupaten Bandung, Kota Bandung, Kota Cimahi, dan Kabupaten Bandung Barat, dengan penduduk 7,5 juta jiwa itu merana.

Penurunan tanah atau land subsidence adalah suatu fenomena alam yang telah cukup lama terjadi di beberapa tempat di wilayah Cekungan Bandung. Aktivitas pengambilan air tanah secara masif yang tak berhenti menjadi salah satu penyumbang terbesar laju penurunan muka tanah.

Kondisi ini mengkhawatirkan. Pasalnya, lebih dari 70 persen air hujan di perkotaan hanya menjadi air limpasan yang mengalir di permukaan tanah sebelum terbuang ke sungai. Minimnya infiltrasi membuat banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau menjadi rutinitas bencana di perkotaan.

Peneliti Geodesi Institut Teknologi Bandung (ITB), Heri Andreas, menyebut, laju penurunan tanah di kota-kota sekitar Bandung bervariatif. Berdasarkan penelitiannya, Heri menghitung, penurunan tanah terjadi antara 1-20 cm/tahun.

baca : Respon Kota Lambat Tangani Banjir Bandung

 

Kondisi lahan di Kawasan Bandung Utara. Foto : Donny Iqbal/Mongabay

 

Semula Heri hanya mengindentifikasi penurunan tanah terjadi di sentra-sentra industri. Namun seiring melonjaknya pertumbuhan penduduk, angka itu meluas hingga ke pemukiman padat.

Laju migrasi ke kota juga memicu peningkatan aktivitas manusia yang membutuhkan lahan, seperti permukiman, komersial, dan infrastruktur lain. Sehingga Konversi lahan membuat kota di bekas danau purba ini makin mudah dilanda banjir. Akibat muncul cekungan-cekungan yang berpotensi menjadi daerah genangan baru.

“Sudah ada penurunan tanah hingga 2 meter di Dayeuhkolot dan 3 meter di Cimahi,” kata Heri ditemui belum lama ini.

Tak hanya itu, pertambahan penduduk yang tidak diimbangi dengan ketersediaan air perpipaan oleh PDAM juga memicu pengambilan air tanah yang berlebihan. Penurunan muka tanah pun tak bisa dihindari.

“Sayangnya, infiltrasi kota di Bandung raya, kurang bagus,” ujarnya. Di kota, luas ruang terbuka hijau hanya sekitar 10 persen. “Pemicu lainnya adalah daerah serapan air yang makin tidak proposional di perkotaan. Artinya semakin banyak ruang terbuka hijau, menandakan infiltrasi berjalan bagus,” tambahnya.

Dinamika kota yang tumbuh ke segala arah mengokupasi daerah konservasi di hulu dan hilir yang seharusnya tidak dipergunakan sebagai lahan terbangun. Alih fungsi lahan meningkatkan air limpasan.

“Tanpa disadari penurunan tanah dan penurunan muka air tanah telah menyebabkan sungai lebih tinggi daripada pemukiman penduduk. Solusi paling bagus adalah mengamankan kawasan resapan air dan mulai memanen air hujan agar meminimalisir pengambilan air tanah,” imbuh Heri.

baca juga : Mereka Lelah Didera Banjir Berkepanjangan

 

Kondisi alih fungsi kawasan di Bandung Timur. Foto : Donny Iqbal/Mongaba

 

Perlu penanganan

Banjir sebetulnya tidak selalu mengejutkan. Siklus tahunan musim hujan relatif dapat diramalkan sehingga antisipasi sebetulnya sudah dapat diperkirakan sebelumnya.

“Curah hujan merupakan periode yang berulang. Daur hidrologinya bisa 5, 10, 30 tahun, tergantung kita punya data sebenarnya,” kata ahli hidrologi Universitas Padjajaran (Unpad), Chay Asdak.

Badan Meterologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) curah hujan mengalami peningkatan. Namun, BMKG menilai masih dalam siklus normal 30 tahunan dengan potensi curah hujan 50-200 milimeter.

Berkaitan air limpasan, Chay menilai, hal itu berkorelasi dengan lansekap suatu wilayah. Terlebih, fenomena banjir itu menggambarkan betapa rusaknya daerah tangkapan air atau catchment area Sungai Citarum, utamanya di daerah aliran sungai (DAS).

Bandung utara yang direkomendasikan sebagai kawasan konservatif masih dialihfungsikan untuk pembangunan dan perkebunan. Berlangsung puluhan tahun, bukit gundul dengan tanaman sayuran tanpa tegakan pohon pengikat tanah memancing bencana. Belum lagi, persoalan ini berhubungan dengan degradasi lingkungan serta hilangnya situ dan embung.

Kendati begitu, Chay menegaskan, persoalan banjir di Cekungan Bandung tidak hanya persoalan jumlah pohon, tetapi juga terkait dengan persoalan yang lebih mendasar, yaitu tata ruang dan tata kelola.

Pengelolaan DAS, katanya, menjadi penting karena kejadian banjir erat kaitannya dengan prinsip dasar air yang secara hidrologis ditentukan oleh batas DAS (topographic devide), bukan batas administrasi pemerintahan (provinsi, kabupaten/kota).

Mengkaji banjir seharusnya menggunakan analisis DAS. Karena keterkaitan hidrologis antara daerah hulu (penyebab) dan hilir (dampak) dapat ditunjukkan melalui daur hidrologi.

“Stabilitas tata air merupakan keharusan. Caranya bisa dengan pendekatan naturalisasi maupun normalisasi,” paparnya.

baca juga : Banjir di Kota Bandung, Akibat Buruknya Drainase

 

Kawasan berbatasan dengan hutan negara di Lembang, Kabupaten Bandung Barat. Pertanian yang tidak berkaidah konservasi menyumbang erosi sehingga menyebabkan kapasitas tampung sungai berkurang. Foto : Donny Iqbal/Mongabay

 

Chay menjelaskan, topografi Bandung unik. Bandung merupakan hulu sekaligus hilir. Jika dari anak Sungai Citarum, yakni Sungai Cikapundung adalah hulu. Karena Bandung berada diketinggian 768 meter di atas permukaan laut. Sedangkan dari Sungai Citarum merupakan hilir.

Chay mengingatkan, banjir lokal yang terjadi di Jakarta diakibatkan curah hujan ekstrim di atas 300 milimeter di wilayah Jakarta pada awal 2020, berpotensi terjadi pula di Bandung.

Dalam konteks hubungan kausalitas hulu-hilir suatu DAS, selain harus memerhatikan perilaku hidrologis, menimbang upaya struktur penting diperhitungkan sehingga dapat menjadi bagian dari penyelesaian bencana banjir yang menimbulkan kerugian sangat besar.

Sebagai contoh, tahun 2018, kawasan Bandung utara mengirim banjir bandang di Jatihandap, Kota Bandung. Sungai Cipamokolan meluap dan menerjang 150 rumah, termasuk 17 mobil dan 5 sepeda motor. Kejadian itu, kata Chay, merupakan sebuah alarm.

“Ada ancaman banjir kiriman. Jakarta sedikit diuntungkan karena jarak hulu di bendungan Katulmpa sampai hilir Jakarta membutukan waktu 7 jam. Sedangkan Bandung masa waktunya lebih pendek. Mungkin tidak lebih dari 1 jam,” katanya.

Chay bilang, jika tanpa perhitungan infrastruktur matang, timbul back water effect. “Air dari Cikapundung maupun anak sungai lainnya akan berbalik arah ketika Sungai Citarum sebagai muaranya meluap. Sehingga genangannya meluas dan semakin lama menggenang. Akan sama seperti Jakarta kemarin.”

Sejauh ini adaptasi pemerintah masih konvensional. Upaya yang dilakukan tidak memperhitungkan tingkat kerusakan lingkungan dan perubahan iklim beberapa dekade ke depan.

Penanganan bencana juga masih memakai paradigma lama. Minim didasari kajian daya tampung dan daya dukung. Akibatnya, banyak investasi pengurangan risiko bencana cenderung tidak memberikan hasil optimal dan hanya memiliki masa guna yang pendek.

baca juga : Inovasi Infrastruktur Jadi Solusi Banjir 

 

Upaya rehabilitasi hutan di Kawasan KPH Perhutani Bandung Utara. Foto : Donny Iqbal/Mongabay

 

Sementara itu, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil menegaskan bahwa penanganan banjir sudah komperhensif. Pemerintah menyiapkan dana untuk membiayai infrastruktur pengendali banjir sebesar Rp10 triliun.

“Dana itu fokus dulu di daerah hulunya,” katanya. Khusus Sungai Citarum, disiapkan dana Rp700 miliar untuk pembuatan danau retensi Andir demi menunjang terowongan Nanjung serta danau retensi Cieunteung beroperasi di Kabupaten Bandung.

Terkait bencana, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Doni Monardo menyarankan, fungsi hulu sebagai kawasan resapan air harus segera dikembalikan. Menurutnya, peluang ancaman bencananya sangat besar. Selain menyebabkan erosi ke kawasan hilir. Lahan yang gundul berpotensi longsor saat hujan lebat.

“Apalagi, ada lahan dengan kemiringan hingga 60 derajat. Sangat perlu dikonservasi. Jika tidak, maka akan mengancam kota-kota dibawahnya,” ujarnya.

 

Exit mobile version