Mongabay.co.id

Hangatnya Sambung Rasa Senjakala Kedaulatan Pangan

 

Pendopo Si Panji di Kota Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah begitu riuh pada Kamis (20/2) malam silam. Petani dari berbagai pelosok daerah didatangkan untuk ‘gendu-gendu rasa’ atau sambung rasa dengan para pemangku kebijakan di kabupaten setempat.

Acara yang digawangi organisasi non pemerintah (NGO) Lembaga Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya dan Lingkungan Hidup (LPPSLH) Purwokerto sengaja menghadirkan para petani dan penderes agar ngudarasa kepada para pejabat yang dihadirkan pada kegiatan itu. Yang menarik, meski cukup serius temanya yakni Senjakala Kedaulatan Pangan, tetapi ratusan petani tetap terhibur dengan adanya musik dari Gamelan Tarbiyah Cinta.

Sambung rasa itu dimulai dari unek-unek warga yang merasa semakin terdesak oleh zaman. Salah satunya adalah soal kepemilikan lahan, contohnya di Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Banyumas. “Kami di Darmakradenan, tidak mempunyai lahan, dikuasai oleh orang-orang yang memiliki uang. Bagaimana kami akan bisa mandiri, jika lahan saja tidak punya. Petani rata-rata hanya sebagai buruh tani,”ungkap Warsim, salah seorang petani mewakili petani lainnya.

baca : Ribuan Petani Tagih Janji Gubernur Jadikan Jateng Lumbung Pangan Bukan Tambang

 

Ratusan warga desa mengeluarkan keluh kesah kepada pemangku kebijakan khususnya terkait dengan kebijakan untuk petani pada acara sambung rasa Senjakala Kedaulatan Pangan di Purwokerto, Banyumas, Kamis malam (20/2/2020). Foto: L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Apa yang disampaikan oleh Warsim membuat suasana semakin menghangat, karena nasib serupa hampir dialami oleh masyarakat petani lainnya. Giliran yang berbicara adalah Toto Rahardjo pendiri Komunitas Kiai Kanjeng. Ia memahami apa yang disampaikan oleh petani tersebut.

“Namun, berdasarkan pengalaman di Yogyakarta, sebetulnya tidak perlu juga seperti sedulur dari Darmakradenan yang menuntut kepunyaan lahan. Sebab, jika lahan diberikan dan ada seritifikat, bisa saja nantinya dijual. Kalau di Yogyakarta tidak mempunyai lahan, karena dimiliki oleh Keraton. Namun, oleh pihak Keraton, sedulur petani boleh menggarap lahannya sampai kapanpun, dengan aman dan tentrem,” ungkap Toto.

Ia juga mengatakan kalau sebetulnya kondisi sekarang peteng ndedhet atau gelap gulita dalam konteks kedaulatan pangan. Mengapa? “Kepala daerah belum tentu juga dapat mengatasi. Saat sekarang dengan adanya globalisasi dan pasar bebas, ada kepentingan dunia. Seluruhnya mengabdi pada kepentingan investasi. Kondisi saya bilang peteng ndedhet, karena kadang-kadang lupa pada rakyatnya,” ungkapnya.

Toto juga menyoroti soal benih tanaman apapun, yang sekarang tidak dibuat oleh petani sendiri melainkan pabrik. “Apakah sekarang ada petani yang buat benih sendiri? Pasti tidak ada. Semuanya serba hibrida. Kalau dulu ada tradisi ‘methik’ yang mendahului sebelum panen. Tradisi itu sebetulnya upaya petani mencari padi yang paling bagus untuk dipakai sebagai pembuatan benih padi. Tetapi sekarang, saya kira tidak ada lagi. Petani umumnya membeli benih,” ujarnya.

baca juga : Kedaulatan Pangan dengan Bertani Ramah Alam

 

Salah satu yang disoroti dalam diskusi tersebut yakni alih fungsi lahan. Sebuah bangunan pabrik terlihat di tengah-tengah areal pertanian yang subur di Purwokerto, Jawa Tengah. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Pernyataan Toto itu dibenarkan oleh pegiat kesenian Banyumas, Titut Edi Purwanto, dari Padepokan Cowong Sewu Banyumas. Ia mengatakan bahwa dirinya sampai sekarang masih bertani. “Sejak pagi, saya ke kebun untuk mencangkul dan memelihara berbagai tanaman sayuran. Bibitnya, saya tidak buat. Beli dari pabrik. Tidak bisa membuat bibit sendiri, karena seluruhnya jenis hibrida,” ungkap Titut.

Ia terus memberikan semangat kepada para petani di Banyumas. “Ayo ngugemi (menetapkan hati) untuk menjunjung bumi dan langit Banyumas. Saya sampai sekarang masih tetap menanam berbagai macam sayuran dan bisa menghasilkan. Mari kita terus berupaya dengan mengubah pemikiran kita,” tandasnya.

Sementara Ketua DPRD Banyumas Budhi Setiawan mengatakan terkait dengan lahan yang ada di Darmakradenan, harus disikapi dengan bijak. “Silakan masyarakat menggarap lahan dengan tenang. Tidak perlu ada gesekan. Karena saya yakin, semuanya menginginkan masyarakat lebih sejahtera. Kalau untuk kepemilikan, maka pemerintah daerah tidak mempunyai kewenangan, karena itu merupakan domain dari pemerintah pusat. DPRD akan memastikan warga dapat menggarap tanah dengan tenang dan adem ayem,” katanya.

Hal yang sama juga disampaikan oleh Wakil Bupati Banyumas Sadewo Tri Lastiono. Menurutnya, persoalan yang ada di Darmakradenan akan menjadi perhatian, dan semoga dapat segera ada penyelesaian. “Pemkab terus melakukan upaya pendampingan kepada para petani di Banyumas. Sebagai contoh, kami telah mengusahakan adanya sertifikasi kepada perajin gula semut di Desa Gununglurah, Kecamatan Cilongok. Dengan adanya sertifikasi, maka gula semut dapat diekspor dengan harga tinggi,” ujarnya.

Masih dari sambung rasa Senjakala Kedaulatan Pangan itu, Bupati Banyumas Achmad Husein menyatakan tidak perlu mengkhawatirkan adanya senjakala kedaulatan pangan, sebab manusia memiliki akal yang akan terus memikirkan solusi ke depan. Bupati menantang anak-anak muda untuk berkiprah dengan berbasis pengetahuan dan riset.

“Saya kira, kita tidak perlu mengkhawatirkan adanya senjakala kedaulatan pangan. Yang diperlukan adalah mendorong inovasi berbasis riset untuk menemukan solusi. Sehingga anak-anak muda nantinya juga akan tertarik ke dunia pertanian, jika ada sesuatu yang menjanjikan. Kuncinya adalah inovasi dari riset,” kata Bupati.

menarik dibaca : Petani Lereng Merapi, Konservasi dan Mitigasi Bencana Lewat Kopi

 

Perajin tahu di Banyumas umumnya menggunakan kedelai impor sebagai bahan baku. Hal inilah yang juga disoroti dalam sambung rasa tersebut.Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Direktur LPPSLH Bangkit Ari Sasongko mengungkapkan pihaknya sengaja menggelar acara itu, karena kondisi sekarang kedaulatan pangan masuk senjakala. “Kami sengaja mengangkat tema ini dan mempertemukan dengan para pengambil kebijakan, karena situasi kedaulatan pangan kita sudah masuk alert, bahkan senjakala. Di Banyumas, misalnya, sebagai daerah penghasil makanan khas tempe mendoan, kedelainya dari mana? Sebagian besar merupakan impor dari Amerika Serikat (AS). Petani padi semakin banyak bergantung pada produksi pabrikan mulai bibit, pupuk, dan pestisida. Semuanya serba beli. Tidak seperti dulu, petani dapat membuat benih sendiri, menggunakan pupuk alami dan pestisida nabati serta menggunakan predator alami untuk mengendalikan hama tanaman. Hampir seluruhnya telah ditinggalkan, inilah yang kami sebut sebagai senjakala kedaulatan pangan,” paparnya.

Di sisi lain, lanjut Bangkit, masih maraknya alih fungsi lahan khususnya areal pertanian yang produktif menjadi perumahan atau ruko serta bangunan lainnya. “Di sini peran Pemkab sangat penting untik mengerem. Ada juga yang disampaikan oleh petani adalah sengketa lahan. Kehadiran Pemerintah dinanti oleh warga untuk merampungkannya,” katanya.

LPPSLH, katanya, menjembatani petani dengan pemangku kebijakan, sehingga ada titik temu yang dapat menjadi solusi atas persoalan yang terjadi, khususnya senjakala kedaulatan pangan. “Petani harus terus dikonsolidasikan, karena ini sangat penting bagi mereka untuk memperjuangkan hak-hak mereka,” tandasnya.

 

Exit mobile version