Mongabay.co.id

Perhutanan Sosial, Solusi atas Konflik Tanah Ulayat di Ranah Minang?

 

 

Salah satu etnis di Indonesia, khususnya di Sumatera, yang kuat identitasnya dengan tanah ulayat atau adat adalah Minangkabau. Identitas adat dibangun oleh gelar [sako] dan tanah adat [pusako]. Namun, keberadaan tanah adat ini sering menimbulkan konflik ketika dinilai negara masuk kawasan hutan atau diambil perusahaan. Mampukah skema perhutanan sosial mengurai persoalan ini?

“Ini yang menjadi persoalan di Sumatera Barat, sebab bagi orang Minangkabau tidak ada sejengkal tanah pun di Minangkabau yang tidak ada pemiliknya. Semua tanah merupakan tanah ulayat atau tanah adat. Persoalannya, ada klaim dari negara yang menyatakan ada kawasan hutan, baik hutan konservasi, hutan lindung, maupun hutan produksi,” kata Uslaini, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [Walhi] Sumatera Barat, kepada Mongabay Indonesia di Padang, Selasa [18/02/2002].

Jadi, ketika diterapkan skema perhutanan sosial yang dijalankan pemerintah saat ini, perdebatan tetap terjadi di masyarakat. “Apalagi sampai sekarang, baru satu pengakuan pemerintah terkait status hutan adat dari 144 izin perhutanan sosial yang sudah dikeluarkan pemerintah, yang mencapai 216.522 hektar,” katanya.

Satu hutan adat itu diberikan kepada masyarakat di Koto Besar, Dharmasraya, yakni Hutan Adat Rimbo seluas 35 hektar.

Baca: Ketika Penambangan Emas Liar Mengancam Identitas Minangkabau

 

Tanah ulayat masyarakat Minangkabau yang masih terjaga di Tanah Datar, Sumatera Barat. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Dari 144 izin perhutanan sosial di Sumatera Barat, berupa Hutan Nagari [di tempat lain disebut Hutan Desa] yakni mencapai 93 lokasi, kemudian HKm [Hutan Kemasyarakatan] sebanyak 46 lokasi, HTR [Hutan Tanaman Rakyat] sebanyak empat lokasi, serta Hutan Adat di satu lokasi.

Hutan Nagari yang mungkin dapat mewakili identitas adat masyarakat Minangkabau, kata Uslaini, tetap menjadi polemik. “Dari luasan Hutan Nagari sekitar 178.320 hektar, sebagian besar berada di kawasan hutan lindung,” katanya.

“Meskipun cukup berat membangun pemahaman bersama terkait program skema perhutanan sosial di Sumatera Barat, tapi perlahan memberikan dampak positifnya,” jelasnya.

Dari 144 izin perhutanan sosial tersebut, “Setahu kami belum ada izin perhutanan sosial di lokasi eks pertambangan emas,” jelasnya.

Baca: Tinggalkan Tambang Emas Liar, Sijunjung Potensial Sebagai Sentra Ikan Air Tawar

 

Secara adat, masyarakat Minangkabau menjaga hutan melalui kepemilikan komunal atau ulayat. Foto: Taufik Wijaya/Mongabay Indonesia

 

Demi lingkungan

Walhi Sumatera Barat mendampingi lima lokasi perhutanan sosial. Empat lokasi Hutan Nagari yakni Hutan Nagari Barung Barung Belantai, Kabupaten Pesisir Selatan; Hutan Nagari Kapujan, Kabupaten Pesisir Selatan; Hutan Nagari Lubuk Malako, Kabupaten Solok Selatan; Hutan Nagari Padang Gantiang, Kabupaten Solok Selatan, dan satu HKm di Saiyo Sakato, Kabupaten 50 Kota.

“Empat wilayah yang kami dampingi masuk kawasan hutan lindung dalam lanskap TNKS [Taman Nasional Kerinci Seblat] yang merupakan rumah keragaman flora fauna Sumatera, seperti harimau sumatera. Satu kawasan yakni HKm Saiyo Sakato berada di kawasan waduk PLTA Koto Panjang, di Kabupaten 50 Kota yang berbatasan dengn Kabupaten Kampar, Riau,” kata Uslaini.

Apa yang dilakukan Walhi Sumatera Barat dalam mendampingi perhutanan sosial tanpa terjebak perdebatan mengenai tanah ulayat atau tanah negara?

“Pertama saat masuk, kami menawarkan pendekatan pengembangan ekonomi alternatif ke masyarakat, yang intinya tidak merusak lingkungan, khususnya hutan. Setelah mereka setuju baru kami menjelaskan soal fungsi dan status kawasan yang akan dimanfaatkan,” kata Tommy Adam, Dividi Riset dan Database, Walhi Sumatera Barat.

“Kedua, kami juga menjelaskan bagaimana pentingnya hutan sebagai penyedia air. Jika hutan rusak, maka persawahan juga terganggu, termasuk kebutuhan air bersih untuk rumah tangga,” kata Tommy.

Kami juga menjelaskan tentang tujuan adanya aturan mengenai tanah ulayat. “Tanah ulayat dibentuk bukan hanya untuk ekonomi, juga sebagai kawasan penyangga dan rumah bagi makhluk hidup lainnya, seperti harimau, yang sangat dihormati masyarakat Minangkabau,” katanya.

Baca: Tambang Emas Liar di Sarang Harimau Sumatera

 

Pohon yang terjaga di Hutan Nagari Simancuang, Solok Selatan, Sumatera Barat. Foto: KKI Warsi

 

Pengelolaan kulit buah pala

Salah satu perhutanan sosial yang didampingi Walhi Sumatera Barat yang sudah menunjukkan hasil positif, yakni Hutan Nagari Kapujan, Bayang, Kabupaten Pesisir Selatan.

Kelompok Tani Bayang Bungo Indah yang menjaga Hutan Nagari Kapujan, beranggotakan 69 orang, mampu memproduksi sirup dan selai dari kulit buah pala. Buah didapat dari Hutan Nagari Kapujan.

Ada tiga produk yang dihasilkan hutan seluas 111 hektar tersebut. Yakni sirup, sari buah, dan selai. Harganya Rp35 ribu per botol untuk sirup, Rp17 ribu per botol untuk sari buah, dan selai seharga Rp35 ribu per botol.

“Pemasaran hasil olah pala bukan hanya di Sumatera Barat, juga hingga ke Bengkulu, Riau, Jambi, Palembang, dan lainnya,” kata Tommy.

Awal usaha pengelolaan buah pala ini, melalui program Pengelolaan Hutan Untuk Kesejahtaraan Perempuan [PHUKP] oleh Walhi Sumatera Barat, yang melihat Hutan Nagari Kapujan memiliki potensi buah pala. Mereka pun mengelola kulit buah pala yang selama ini dibuang. Masyarakat hanya menjual biji. Melihat kemajuan usaha ini, Pemerintahan Nagari Kapujan [Pemerintahan Desa, red] akhirnya turut mengeluarkan modal usaha.

Baca juga: Percepat Perhutanan Sosial, Sumatera Barat Lahirkan Peraturan Gubernur

 

Hutan Nagari Simancuang, Solok Selatan yang berfungsi sebagai penyangga nagari dari ancaman bencana alam dan penyedia air bersih. Foto: Vinolia/ Mongabay Indonesia

 

Bekas tambang

Luas Sumatera Barat sekitar 4.229.730 hektar, sekitar 2,6 juta hektar atau 61,48 persen merupakan kawasan hutan. Laju deforestasi terus terjadi sebagai dampak pertambangan, perkebunan, pembalakan liar, dan lainnya.

Bersamaan dengan itu, akses masyarakat terhadap lahan terus terhambat. Hutan ulayat yang selama ini dijadikan sumber kehidupan masyarakat tidak diakui jika berada di hutan negara. Konflik pun terjadi.

“Skema perhutanan sosial jika dijalankan secara optimal, dapat menjadi solusi atas konflik tersebut,” kata Uslaini. “Idealnya, luas perhutanan sosial di Sumatera Barat sekitar 500 ribu hektar, dan saat ini masih setengahnya.”

Bahkan, kata Uslaini, eks tambang ilegal yang berada di kawasan hutan negara, seperti hutan lindung, dapat dijadikan kawasan perhutanan sosial. “Artinya, kawasan hutan lindung tersebut bukan hanya direhabilitasi, juga dapat memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat, sehingga masyarakat turut menjaga.”

Kawasan hutan lindung yang terkena dampak aktivitas penambangan emas ilegal, misalnya terjadi di Kabupaten Solok Selatan.

 

Buah pala dari Hutan Nagari Kapujan, Bayang, Pesisir Selatan, kulitnya diolah menjadi sirup dan selai. Foto: Dok. Walhi Sumbar

 

Bagaimana dengan TORA [Tanah Objek Reforma Agraria]? “Ini yang menjadi persoalan di Sumatera Barat. Secara adat, penguasaan lahan itu secara komunal, bukan individu. Sehingga, tidak dapat dijualbelikan. Kepemilikan lahan secara individu atau kelompok tertentu dapat menimbulkan konflik di kemudian hari, sebab fungsinya dapat dialihkan karena adanya kepemilikan tersebut.”

Dijelaskannya juga, ada empat macam tanah ulayat di Sumatera Barat, yakni tanah ulayat nagari, tanah ulayat suku, tanah ulayat kaum, dan tanah ulayat rajo. Semua dimiliki secara komunal dan diwariskan turun-menurun.

 

Hutan Adat Malalo, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Foto:
Dok. Walhi Sumbar

 

Sertifikasi komunal

Terkait sertifikasi tanah atau lahan di Sumatera Barat, mengutip pernyataan Rustam Efendi, Ketua DPW Serikat Petani Indonesia [SPI] Sumatera Barat dari Padangkita.com, “Sertifikasi bukanlah reforma agraria, melainkan legalisasi kepemilikan tanah secara negara. Bukan secara dasar hukum adat Minangkabau yakni tanah pusako,” katanya.

Dijelaskannya pula, di Sumatera Barat, banyak terjadi konflik agaria karena perampokan atau penggusuran tanah petani [masyarakat adat] oleh perkebunan skala besar.

 

Hutan Adat Malalo, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Foto:
Dok. Walhi Sumbar

 

Harusnya, pemerintah memperkuat adat Minangkabau yang dibangun dengan sako [gelar adat] dan pusako [teritorial adat]. Bukan sebaliknya, dengan mensertifikatkan tanah yang mayoritas dari tanah pusako tinggi.

“Yang terjadi selama ini adalah pelepasan tanah adat menjadi tanah pribadi, hal ini sama saja dengan melemahkan sistem adat Minangkabau. Sebaiknya, dikuatkan dengan sertifikat komunal, bukan personal, jikalau masih mengaku orang Minangkabau,” kata Rustam.

Hal ini dapat dilakukan, sebab berdasarkan Pasal 3 dan Pasal 5 Undang Undang Pokok Agraria disebutkan, ada hak ulayat sebagai dasar hukum agraria nasional. Dia juga berharap, adanya peta nagari dan tanah ulayat setiap suku di Sumatera Barat.

 

 

Exit mobile version