- Pasokan benih ikan untuk kebutuhan para pembudi daya ikan di seluruh Indonesia hampir pasti mengandalkan produksi yang dilakukan oleh pusat pembenihan (hatchery) yang dibangun oleh Pemerintah Indonesia maupun swasta
- Namun, produksi benih ikan yang dihasilkan sekarang dinilai masih belum bisa memenuhi kebutuhan untuk pasar di dalam negeri, utamanya di kawasan Indonesia Timur. Bahkan, benih ikan juga dalam beberapa tahun ini menjadi sangat sulit ditemukan di Timur Indonesia
- Menjawab kendala yang dirasakan para pembudi daya ikan, Pemerintah Indonesia fokus mengembangkan produksi benih ikan di sentra produksi yang ada di beberapa daerah dengan menggunakan teknologi recirculation aquacultur system (RAS).
- Di antara yang melaksanakan produksi itu, adalah Ambon (Maluku) dan Minahasa Utara (Sulawesi Utara). Keduanya fokus melaksanakan produksi benih ikan air laut dan ikan air tawar
Ketersediaan benih ikan air tawar selama ini selalu dikeluhkan oleh banyak pembudi daya ikan skala kecil ataupun besar di seluruh Indonesia. Kendala itu bisa menghambat pengembangan usaha budi daya perikanan yang oleh Presiden Joko Widodo dijadikan sebagai target utama pada lima tahun mendatang.
Untuk mengatasinya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berinisiatif mencari terobosan melalui penggunaan teknologi yang tepat. Agar proses produksi benih ikan lebih cepat, dilakukan pemangkasan waktu pemeliharaan lebih pendek.
Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo mengatakan selain waktu pemeliharaan dipangkas, penggunaan teknologi juga diharapkan bisa menghasilkan tingkat kelulushidup (survival rate/SR) dan tingkat keseragaman ukuran menjadi lebih baik.
Sehingga penggunaan teknologi akan bisa menghasilkan tebar padat tujuh kali lebih banyak dibandingkan sistem konvensional. Teknologi yang dinilai tepat diterapkan, adalah recirculation aquacultur system (RAS).
“Dengan berbagai keunggulan yang dimiliki, RAS dapat menjadi solusi mengatasi permasalahan kebutuhan benih ikan di seluruh Indonesia,” ungkap dia pekan lalu di Jakarta.
baca : Ini Teknologi RAS, Masa Depan Perikanan Budi Daya Nasional
Tempat produksi benih ikan dengan teknologi RAS yang paling tepat untuk saat ini, sebut Edhy adalah Balai Perikanan Budi daya Air Tawar (BPBAT) Tatelu di Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara.
Hal itu karena Tatelu merupakan tempat kegiatan budi daya perikanan air tawar tempat terbesar di Indonesia, dengan kondisi alam yang mendukung terutama kualitas air untuk produksi. “Juga antusiasme masyarakat yang tinggi untuk aktivitas budi daya,” sebut dia.
Produksi benih ikan dari BPBAT Tatelu di Sulut, lanjut Edhy, akan diprioritaskan untuk kebutuhan pembudi daya ikan yang ada di kawasan Indonesia Timur.
“Teknologi RAS adalah jawaban akan kekurangan benih unggul di pembudi daya untuk kawasan Indonesia Timur. Dalam aktivitas perikanan budi daya, masalah yang timbul selain harga pakan, adalah ketersediaan benih unggul,” jelas dia.
baca juga : Teknologi RAS untuk Kemajuan Perikanan Budidaya, Seperti Apa?
Gratis
Di banyak daerah, Edhy menyadari kalau harga benih yang tersedia di pasaran masih cukup tinggi. Penyebab utamanya karena kondisi wilayah, jarak pengantaran, dan ketersediaan yang belum merata di hampir semua daerah.
Dengan teknologi RAS yang sudah dimanfaatkan KKP, dia optimis setiap daerah, khususnya sentra produksi budi daya perikanan, bisa merasakan manfaat positif melalui produksi benih yang lebih cepat dan berkualitas. Untuk itu, perlu didorong penggunaan RAS di seluruh Indonesia.
Semakin banyak daerah yang menggunakan RAS sebagai teknologi untuk produksi benih, maka akan semakin banyak ketersediaan benih ikan untuk memenuhi kebutuhan budi daya perikanan di daerah setempat. Jika produksi semakin tinggi, maka benih gratis diharapkan bisa diberikan kepada warga.
“Dengan semakin banyak produksi benih yang dihasilkan dan semakin banyak masyarakat mendapatkan edukasi, akan semakin banyak pula ikan yang dapat kita produksi,” tuturnya.
perlu dibaca : Apa Itu Teknologi RAS untuk Perikanan Budidaya?
Sedangkan Direktur Jenderal Perikanan Budi daya KKP Slamet Soebjakto menjelaskan, penggunaan teknologi RAS akan meningkatkan produktivitas pembenihan ikan dan sekaligus melakukan efisiensi penggunaan air dan lahan. Lebih dari itu, RAS akan menciptakan usaha yang minim dampak negatif terhadap ekologi.
Dampak negatif ekologi bisa terjadi karena RAS adalah teknologi yang bisa mencegah terjadinya pencemaran di luar lingkungan perairan. Dengan demikian, sanitasi dan higienitas yang menjadi kunci dari perikanan budi daya, bisa lebih terjaga dan menciptakan teknologi ramah lingkungan.
Selain itu, pemeliharaan yang mudah, stabilitas kualitas air lebih terjaga dan penggunaan air lebih hemat, juga akan menjadikan teknologi pembenihan ikan intensif ini sebagai primadona baru di pembudi daya, khususnya pembenih ikan.
“Dengan fleksibilitas teknologi RAS yang dapat diterapkan untuk berbagai jenis komoditas baik tawar, payau maupun laut, kita siap untuk dapat memperbanyak teknologi ini di seluruh Indonesia,“ tambah dia
Diketahui, teknologi RAS atau sistem budi daya sirkulasi ulang air adalah teknologi yang bisa meningkatkan padat tebar benih ikan yang dihitung per satuan luas atau volume hingga mencapai 28-20 ekor. Sistem tersebut bisa memangkas waktu pemeliharaan benih menjadi hanya 30 hari saja, dengan tingkat SR mencapai 95 persen.
Dengan keunggulan tersebut, produksi benih ikan dengan menggunakan RAS akan menghasilkan jumlah lebih banyak hingga 140 kali lipat dibandingkan dengan menggunakan sistem konvensional. Selain itu, RAS juga menjadi unggul, karena penggunaan air ganti menjadi lebih sedikit dibandingkan cara konvensional.
baca juga : Teknologi Digital Mulai Digunakan untuk Perikanan Budidaya Nasional
Ikan Laut
Keunggulan tersebut, menegaskan bahwa penggunaan teknologi RAS akan membuat proses produksi benih ikan menjadi lebih efisien dibandingkan jika menggunakan metode konvensional. Dengan wadah yang sama, kapasitas bisa naik lima kali lipat dan kualitas air mudah dikontrol dan lebih stabil.
Selain untuk produksi benih ikan air tawar, teknologi RAS juga digunakan untuk produksi benih ikan laut pada pusat pembenihan (hatchery) di Ambon, Provinsi Maluku yang pengelolaanya ada di bawah Balai Perikanan Budi daya Laut (BPBL) Ambon.
Seperti halnya pada benih ikan air tawar, kegiatan produksi benih ikan laut juga dilakukan oleh BPBL Ambon, karena pasokan benih ikan air laut untuk kawasan Indonesia Timur sering dikeluhkan susah didapat oleh para pembudi daya ikan.
“Selama ini, pelaku usaha harus bekerja keras untuk mendatangkan benih ikan laut dari berbagai balai perikanan yang ada di sekitar Ambon,” ucap Slamet.
Sejak awal, dia menyebutkan bahwa pembangunan hatchery di Ambon sudah memiliki tujuan untuk menciptakan industri budi daya atau pembenihan yang berkelanjutan. Dengan demikian, apa yang dilakukan harus meningkatkan efisiensi dan produktivitas yang ramah lingkungan.
Sebagai sub sektor yang akan menjadi masa depan perikanan dunia, perikanan budi daya di masa mendatang diperkirakan akan selalu menghadapi tiga persoalan serius, yaitu keterbatasan lahan akibat alih fungsi lahan yang terus meningkat, meningkatnya krisis air, dan tantangan peningkatan produksi.
Menurut Slamet, semua kendala tersebut akan bisa dipecahkan jika usaha budi daya perikanan bisa mengadopsi teknologi RAS untuk produksi budi daya perikanan, seperti yang dilakukan para pembudi daya ikan di negara maju. Dengan kata lain, penerapan RAS menjadi upaya yang tepat untuk saat ini.
Diketahui, penggunaan teknologi RAS saat ini tidak hanya berlangsung di Tatelu dan Ambon saja, namun juga di BPBAT Sukabumi (Jawa Barat), dan BPBAT Mandiangi (Kalimantan Selatan). KKP sebagai pengayom sektor kelautan dan perikanan juga mendorong daerah lain untuk menerapkan teknologi tersebut.
“Penerapan teknologi RAS, dinilainya sudah sesuai dengan harapan karena bisa menciptakan perikanan budidaya ramah lingkungan dan berkelanjutan,” pungkasnya.