Mongabay.co.id

Wawancara Profesor Gono Semiadi: Harimau Jawa Sudah Punah Secara Ilmiah

 

 

Harimau jawa yang dijuluki harimau loreng, secara ilmiah telah dinyatakan punah sejak 1980-an. Hal ini juga telah ditegaskan IUCN [International Union for Conservation of Nature and Natural Resources] Red List, bahwa Panthera tigris sondaica telah bersatus Extinct atau Punah.

Pertemuan CITES [Conservation on International Trade in Endangered Spesies of Wild Fauna and Flora] di Fort Lauderdale, Florida, Amerika Serikat, Desember 1996, juga menyatakan jenis ini benar-benar tidak ditemukan lagi di Bumi.

Sebagaimana namanya, harimau jawa merupakan karnivor terbesar yang pernah menjadi penghuni Pulau Jawa. Dalam persebarannya, hewan ini pernah ditemukan di Jampang Kulon, Taman Nasional Ujung Kulon, Gunung Pangrango, Yogyakarta, Probolinggo, Blitar, Banyuwangi, Tulungagung, hingga Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur.

Profesor Gono Semiadi, Peneliti Mamalia dan Pengelolaan Satwa Liar Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia [LIPI], menuturkan, sebelumnya, suatu jenis satwa dikatakan punah apabila dalam kurun waktu 50 tahun setelah perjumpaan terakhir tidak pernah dilihat lagi di alam liar.

Kini, menurutnya, konsep punah secara ilmiah telah bergeser dari suatu kategori generik yang berlaku umum menjadi lebih menekankan pada keyakinan ilmiah. Tentunya, setelah memperhitungkan banyak pertimbangan.

 

Harimau jawa yang terpantau di Ujung Kulon tahun 1938. Sumber: Wikimedia Commons/Andries Hoogerwerf [29 August 1906 – 5 February 1977]/Public domain

 

Meski telah dinyatakan punah, Didik Raharyono, pemerhati harimau jawa, tetap mencari bukti-bukti keberadaan harimau jawa. Kepada Mongabay Indonesia, Rabu, 26 Februari 2020, Didik menuturkan, dia bersama tim Peduli Karnivor Jawa [PKJ] dan relawan berbagai komunitas, terus mendalami kesaksian warga tepi hutan yang pernah “berjumpa” harimau jawa.

Masyarakat yang dimaksud Didik adalah, pemanen burung di hutan, pemanen madu, pengumpul tumbuhan obat, hingga pemburu babi atau kijang.

“Menjaga hutan berarti kita serta-merta melindungi habitat harimau jawa di hutan-hutan tersisa. Ini tujuan utamanya. Namun, karena “opini punah” sangat kuat, banyak kesaksian yang dinihilkan. Banyak bukti tanda kehadiran diabaikan yang berdampak tidak maksimalnya pengelolaan hutan dan ekosistemnya di Jawa,” terangnya.

Didik mengungkapkan, secara pribadi sejak 1997, dia memperkuat analisis tanda kehadiran harimau jawa melalui taksimetri. Ini dikarenakan, hutan Jawa juga dihuni macan tutul jawa. Selain itu, dilakukan juga metode penjaringan, pengujian, dan penilaian informasi langsung dari para saksi melalui ‘perekaman video’. Semua informasi dapat dilihat di situs pedulikarnivorjawa.org.

“Wilayah penelusuran yang saya lakukan bersama PKJ meliputi Jawa Timur hingga Banten. Tapi, sifatnya sporadis. Jika ada informasi dari suatu kawasan yang memenuhi kriteria kuat perjumpaan harimau jawa, akan kami kaji dan dedah lebih lanjut,” jelasnya.

Bukti yang dimiliki, lanjut Didik, adalah sosok harimau jawa yang difoto pada September 2018, oleh warga tepi hutan jati di Jawa saat “nyanggong” babi hutan. Untuk perkiraan habitat harimau jawa, yang relatif aman adalah Ujung Kulon [berdasarkan catatan 1999, 2002, 2009, 2010, dan 2017] sementara di Jawa Timur dan Jawa Tengah tidak ada jaminan.

Dia bersama relawan melakukan pemantauan habitat dengan metode “ngamen data” menggunakan kamera jebak swadaya. “Fokus saya sekarang pada pengelolaan kebun buah organik dan ternak yang sebagian keuntungannya nanti akan digunakan untuk riset pemantauan habitat harimau jawa. Sementara PKJ bersama relawan tetap semangat menelisik habitat harimau jawa dengan meneliti seluruh bukti yang ada,” tegasnya.

 

Harimau jawa yang mati diburu pada Mei 1941 di Malingping, Banten. Foto: Wikimedia Commons/Tropenmuseum/H.Bartels/Creative Commons Atribusi-BerbagiSerupa 3.0 Tanpa Adaptasi

 

Bagaimana gambaran harimau jawa beserta kepunahannya dari sisi peneliti? Berikut wawancara Mongabay Indonesia dengan Prof. Dr. Gono Semiadi, di ruang kerjanya di LIPI Cibinong, baru-baru ini.

Baca: Peneliti LIPI: Satwa yang Tertangkap Kamera Itu, Lebih Tepat Macan Tutul Ketimbang Harimau Jawa

 

Perburuan harimau jawa di masa lalu. Sumber: Javantiger.or.id/Peduli Karnivor Jawa/Dok. Karno 1957

 

 

Mongabay: Pertengahan September 2017, kita sempat dihebohkan dengan dugaan kemunculan harimau jawa di Ujung Kulon yang setelah dilakukan penelitian ternyata macan tutul. Pertanyaannya, apakah harimau jawa masih ada, meski telah dinyatakan punah secara ilmiah?

Gono Semiadi: Bicara harimau jawa, terutama di kantong habitat yang pernah diisukan ada seperti Ujung Kulon, saya melihatnya, wilayah ini sudah sangat intensif dilakukan pemantauan. Tentunya dengan menggunakan teknologi terkini, kamera jebak [trap]. Penempatannya juga hingga zona inti, areal yang tidak boleh orang masuk, dan telah dimonitoring lebih lima tahun.

Faktanya adalah, hingga kini tidak terdeteksi keberadaan harimau jawa. Dan secara ilmiah, saya juga mengatakan, harimau jawa di wilayah Ujung Kulon memang sudah tidak ada.

 

Awetan kulit harimau jawa yang tersimpan rapi di laboratorium LIPI. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

Bagaimana dengan wilayah lain di Pulau Jawa? Sejauh ini berdasarkan sejumlah laporan, ketika harimau jawa telah dinyatakan punah, kita sampai sekarang tidak pernah melihat adanya temuan fisik. Temuan berupa alat bukti, foto utuh.

Terkait adanya pencarian bukti yang masih dilakukan, terutama klaim temuan berupa cakaran, jejak tapak, itu semua kembali lagi pada keinginan kita semua. Temuan bukti fisik lengkap yang sangat kita nantikan.

Berikutnya, secara teori, dari habitat-habitat yang ada dan dikaitkan dengan daya jelajah harimau jawa, sejauh ini memang tidak ada temuan lagi atau terbaru. Ini semakin meyakinkan, terutama saya pribadi, bahwa harimau jawa memang sudah tidak ada.

Baca: Ijen dan Eksistensi Harimau Jawa yang Dinyatakan Punah

 

Harimau jawa telah dinyatakan punah secara ilmiah. Kita hanya bisa menyaksikan spesimennya di LIPI. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

 

Mongabay: Sejak dinyatakan punah 1980-an, artinya hingga tahun 2020 ini memang tidak ada lagi penampakan harimau jawa?

Gono Semiadi: Secara fisik memang tidak terpantau lagi. Ini memang faktualnya. Hanya yang menjadi pertanyaan adalah, pada rentang tahun berapa awal kepunahan ini terjadi? Nah, jawabannya juga relatif.

Untuk karnivor besar, tidak adanya perjumpaan dalam 50 tahun terakhir, disepakati telah punah di wilayah tersebut.

Harus diketahui, daerah pegunungan dan hutan rimba Pulau Jawa, merupakan wilayah jelajah harimau jawa. Hingga sekarang, memang tidak ada bukti fisik penampakannya.

Baca: Ekspedisi Harimau Jawa, Pencarian Tanpa Lelah Karnivora yang Dinyatakan Punah

 

Tengkorak kepala harimau jawa yang menunjukkan satwa ini pernah hidup di Pulau Jawa. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

 

Mongabay: Berkurangnya populasi harimau jawa dapat kita ketahui hingga zaman Belanda. Apakah kepunahannya akibat perburuan, dibukanya perkebunan, atau ada hal lain?

Gono Semiadi: Penurunan populasi harimau jawa, kita akui terjadi pada era kolonial Belanda. Jadi, quote unquote, bukan produk di zaman Republik Indonesia.

Saat itu, gabungan perburuan, budaya, dan perluasan perkebunan [karet, teh, juga kopi] yang merupakan habitat harimau jawa, menyebabkan turunnya populasi harimau secara drastis.

Saya yakin, pola perburuan zaman penjajahan itu, menyebabkan jumlah harimau berkurang. Banyak foto yang menunjukkannya.

Akibat perburuan, harimau menjadi terisolasi. Harimau jantan yang soliter serta harimau betina dalam kelompok kecil, lalu diburu, berakibat menyisakan kantong-kantong populasi sangat kecil.

Dampaknya, harimau tidak survive untuk mengembangbiakkan keturunannya.

 

Tengkorak kepala harimau jawa dan harimau bali yang merupakan koleksi LIPI. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

Contoh, jantan alfa yang dibunuh, menyebabkan penggantinya perlu waktu untuk menjalankan fungsinya: apakah penjaga teritori maupun pejantan. Akibatnya, proses kawin semakin jarang sehingga keturunan yang lahir juga terbatas.

Apakah jumlah awal harimau jawa tidak banyak, mengingat perburuan saat itu menggunakan senjata yang tidak semoderen sekarang? Saya percaya justru jumlahnya cukup banyak. Hanya saja, banyak secara angka, saya tidak bisa menyebutnya.

Pengertian banyak itu begini, kesempatan pemburu masuk hutan untuk mendapatkan harimau jawa cukup tinggi. Walaupun, pada masa itu, dari sejumlah literatur yang saya baca, untuk menangkap harimau jawa caranya dengan dikepung yang tentunya mengajak masyarakat. Kemampuan hebat para pemburu yang sudah mengetahui wilayah pergerakan harimau jawa tentunya diutamakan.

Sukses memburu harimau sumatera yang tinggi ini membuktikan, bukan hanya faktor keahlian, tetapi juga memang keberadaan harimau memang tidak sedikit.

Baca: Didik Raharyono, Masih Meyakini Harimau Jawa Belum Punah…

 

Tengkorak harimau jawa dan harimau bali. Dua jenis harimau ini sudah punah. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

 

Mongabay: Kelompok Peduli Karnivor Jawa menyebut harimau jawa belum punah, dengan adanya “temuan-temuan yang mengarah harimau ini masih eksis”.

Jika belum punah, syarat habitat seperti apa di Pulau Jawa agar harimau jawa bertahan?

Gono: Karena hidupnya di Pulau Jawa, tentu saja, habitatnya berada di tipe hutan dataran rendah hingga ketinggian 1.000 m dari permukaan laut. Hanya saja, persoalannya bukan ini, harimau jawa pasti mengejar satwa mangsanya.

Secara teori, satwa mangsa seperti rusa, saat ini sudah terisolasi di kawasan pegunungan yang masuk wilayah konservasi. Yang paling mudah didapat adalah babi hutan. Sejauh ini, tanda-tanda matinya babi akibat terkaman harimau jawa juga senyap.

Bila satwa mangsa sulit didapat atau habitat terganggu, sebagaimana harimau sumatera yang turun ke permukiman warga mencari ternak, maka bisa juga berlaku pada harimau jawa. Namun, kejadian ini tidak kita dengar di Pulau Jawa. Ini sekaligus pertanda bahwa harimau jawa memang sudah tidak ada.

Hal positifnya, saya melihat penelusuran yang diilakukan teman-teman Karnivor Jawa, dapat memonitor kondisi satwa lainnya, meski fokusnya ke harimau jawa. Saya sangat mengapresiasi pencarian tanpa lelah tersebut.

 

Kulit harimau bali yang masih terawat baik di LIPI. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

Bagaimana dengan kawasan Ijen? Wilayah Ijen dahulunya memang sebaran rusa, habitat padat mangsa. Secara teori memang benar. Hanya, kondisi faktualnya, jumlah rusa sekarang sudah sedikit. Babi hutan juga berkurang karena adanya perburuan. Dengan kondisi ini, bagaimana harimau jawa bertahan? Sekali lagi, sejauh ini laporan bangkai babi diterkam harimau juga belum ada.

Lalu, apa yang menjadi sumber pakan utama harimau jawa? Ini pertanyaan utamanya. Tentunya pendekatan ilmiah harus kita kedepankan untuk menjawab semua persoalan.

Lagi, bila kita analogikan dengan harimau sumatera yang menerkam manusia, pertanyaannya adalah apakah ketersediaan mangsa untuk harimau jawa masih melimpah, sehingga tetap bertahan? Ini tentu saja terbalik. Sumatera tentunya lebih banyak urusan satwa mangsa.

Bagaimana dengan pendapat, intensitas masyarakat ke hutan di Jawa tidak sesering di Sumatera? Pada akhirnya, bila ketersedian satwa mangsa sedikit, tentunya harimau jawa akan turun gunung, mengarah ke ternak warga. Hingga sekarang, tidak ada kejadian tersebut.

Baca juga: Mungkinkah Harimau Sumatera, Jawa, dan Bali Sebagai Satu Subspesies?

 

Harimau bali dibunuh di Bali Barat oleh Oscar Vojnich, 1911. Sumber: Wikipedia common/The East Indian Archipelago, Budapest 1913/Dok. Oskar Vojnich/Public Domain

 

 

Mongabay: Pada 2015, penelitian berjudul Planning tiger recovery: Understanding intraspecific variation for effective conservation, menjelaskan bahwa harimau jawa, bali, dan sumatera merupakan satu subspesies. Apakah secara ilmiah bisa diterima?

Gono Semiadi: Menetapkan harimau jawa, bali, dan sumatera sebagai satu anak jenis, secara taksonomi itu relatif. Terlebih, dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Meskipun, variasi habitat yang membuat ukuran morfologinya berbeda. Fine, tidak masalah secara ilmiah.

Hanya saja dalam penelitian tersebut, ketika molekulernya disandingkan, informasi molekuler harimau jawa dan bali tidak ada. Perbandingannya hanya pada morfologi, itu juga dengan jumlah spesimen sangat rendah.

Dalam dunia keilmuan, berbeda pendapat itu bisa terjadi. Dari kami sendiri tetap menyatakan, harimau sumatera sebagai subjenis sendiri, bukan satu kesatuan.

 

Spesimen bayi harimau sumatera yang tetap diperhatikan kondisinya di LIPI. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

 

Mongabay: Apakah penurunan populasi harimau jawa hingga punah, lebih cepat ketimbang harimau sumatera?

Gono Semiadi: Bila kita bandingkan, indikasinya begitu. Kenapa? Pulau Jawa itu padat penduduknya sehingga pembukaan hutan untuk dijadikan lahan perkebunan sangat cepat. Kondisinya kian terdesak, sebelum benar-benar dinyatakan punah.

Pertanyaan pun muncul, apakah harimau jawa tidak seagresif harimau sumatera? Saya tidak bisa menjawab secara detil. Ini butuh penelitian mendalam dan menyeluruh. Hanya saja, konflik harimau jawa tidak sesering kita dengar sebagaimana harimau sumatera sebagaimana sekarang.

 

Harimau sumatera yang statusnya Kritis. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

 

Mongabay: Apa dampak terbesar punahnya harimau jawa?

Gono Semiadi: Kita selalu mengaitkan dengan ilmu pengetahuan. Pertama, hilangnya satu spesies membuat kita kehilangan harta karun, yaitu keragaman hayati. Harus dilihat jelas.

 

Profesor Gono Semiadi, Peneliti Mamalia dan Pengelolaan Satwa Liar Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia [LIPI]. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

Kedua, secara ekosistem, sebagai top predator fungsi harimau jawa hilang, meski mungkin bisa diambil alih macan tutul. Tetapi secara luas, saya sebagai peneliti menyatakan, punahnya harimau jawa membuat keseimbangan ekosistem terganggu. Kita rugi, tidak ternilai dari sisi ilmiah.

 

 

Exit mobile version