Mongabay.co.id

Berusaha Pertahankan Hutan Adat, Warga Sabuai Terjerat Hukum

hutan adat Negeri Sabuai, tempat CV Sumber Berkat Makmur beroperasi. Foto: Warga

 

 

Upaya masyarakat adat mempertahankan ruang hidup mereka begitu berat. Salah satu terlihat di Negeri Sabuai, Kecamatan Pamatang Siwalalat, Kabupaten Seram bagian Timur (SBT), Maluku. Warga adat Sabuai yang berusaha mempertahankan hutan mereka malah berhadapan dengan hukum, sekitar 26 warga diamankan polisi, dua orang kini jadi tersangka.

Ke-26 warga adat Negeri Sabuai ini ditangkap aparat Polsek Werinama, Senin (17/2/20). Sebelumnya, mereka dipolisikan CV Sumber Berkat Makmur (SBM), dengan tudingan aksi pemalangan dan perusakan peralatan milik perusahaan.

Mereka masing yang diamankan yakni, Albert Nisdoam, Nehemia Nisdoam, Yehas Patotnem, Yesriel Patotnem, Saul Patotnem, Santos Patotnem, Hendrik Patotnem (siswa), Frans Yamarua, Roni Yamarua, Noce Yamarua, Ais Ahwalam, Nico Ahwalam, Anus Ahwalam, Yopi Ahwalam, Alfian Ahwalam.

Kemudian, Nus Ahwalam, Amo Titasam, Jemmy Titasam, Yeheskel Titasam, Nahor Titasam (siswa), Moretz Titasam, Benny Sopacua, chak Lesiela. Dua orang, Stefanus Ahwalam dan Khaleb Yamarua, jadi tersangka.

Berdasarkan data dihimpun Mongabay, puluhan warga ini protes penyerobotan hutan adat dan dugaan pembalakan kayu di hutan Gunung Ahwale oleh perusahaan ini.

Pada Senin (17/2/20), sekira pukul 08.00 WIT, warga adat Sabuai meninjau hutan adat yang diduga diterobos SBM.

Sekitar dua jam perjalanan, sekitar pukul 10.00, mereka tiba di Gunung Siwe. Di gunung itu, warga adat Sabuai berjumpa dengan lima operator yang memuat kayu. Masyarakat lalu menghentikan tiga alat berat perusahaan.

Mereka pun protes di sana. Warga yang marah langsung melempari kaca dan penyitaan kunci mobil-mobil itu. Tindakan warga ini puncak kekecewaan, lantaran beberapa kali melarang pohon ditebang sampai ada sasi adat, namun perusahaan tetap tak peduli.

 

Tampak warga Sabuai berada di depan sebuah alat berat milik CV Sumber Berkat Makmur. Foto; dokumen warga

 

Usai melempari kaca dan penyitaan kunci mobil, sekitar pukul 11.00, warga kembali menuju camp perusahaan di tepian Kali Tunsa. Di sana juga, mereka protes dan pemalangan.

Masyarakat Negeri Sabuai tegas menyuruh para pekerja SBM angkat kaki dari hutan adat mereka.

Usai aksi, warga kembali. Pimpinan perusahaan yang tak terima dengan aksi ini, lalu melaporkan 26 warga ke Polsek Werinama. Mereka diamankan polisi.

“Mereka bersikeras dan tetap menerobos hutan adat kami. Aksi ini semata-mata untuk membela hak-hak atas hutan dan gunung yang dirampas perusahaan. Hutan itu sangat sakral. Di situ ada kuburan leluhur kami, bahkan lokasi itu adalah kampung lama warga Sabuai,” kata Niko Ahwalam, Ketua Saniri Negeri Sabuai dalam rilis yang diterima Mongabay, Sabtu (22/2/20).

Menurut Niko, warga Negeri Sabuai tak memberi izin perusahaan eksploitasi di hutan itu. Mereka hanya memberi tiga lahan, yakni, di Hutan Wasaba, Mayaram dan Ihatollus.

“Mengapa perusahaan begitu berani menerobos lokasi yang tidak diizinkan masyarakat?” katanya.

Perusahaan dinilai tak sosialisasi transparan. Mereka melakukan kesepakatan sepihak tanpa perundingan dan ganti rugi.

Perusahaan juga tak mengelola dampak sosial dan lingkungan karena pembalakan hutan ini, seperti, diduga jadi penyebab banjir dan longsor di Sabuai pada setiap musim hujan.

 

Warga sudah pulang, dua tersangka

AKBP Adolof Bormasa, Kapolres Seram Bagian Timur, saat dihubungi Mongabay, Minggu (23/2/20) mengatakan, Polsek Werinama tak menahan puluhan warga itu.

Kepolisian, kata Adolof, hanya melarai aksi protes yang nyaris berujung bentrok. “Polisi tidak menangkap mereka, justru polisi berupaya melerai warga yang aksi. Antisipasi itu, kami lakukan agar tidak terjadi bentrok antara warga dan para pekerja di perusahaan itu,” katanya walau jelas warga diamankan dan dua orang jadi tersangka.

Saat ini, katanya, puluhan warga yang diamankan di Polsek Werinama telah dipulangkan ke rumah mereka. Dia sudah memberikan arahan sekaligus pembinaan bagi 26 warga itu.

“Mereka sudah kami pulangkan. Kemarin saya sudah memberikan pembinaan bagi ke 26 warga Sabuai. Itu disaksikan langsung oleh Ketua Klasis Teluti, Ketua Majelis Jemaat Sabuai, Tokoh Adat dan Tokoh Pemuda, bertempat di Polsek Werinama. Prosesnya berjalan aman kok,” katanya.

Mengenai dua warga yang jadi tersangka, Adolof membenarkan. Menurut dia, kedua warga, Stefanus Ahwalan dan Khaleb Yamarua ditahan karena terbukti melakukan tindakan kriminal terhadap barang milik perusahaan.

“Iya benar, saat ini mereka telah ditetapkan sebagai tersangka karena merusak barang berharga milik orang lain. Saya juga bisa dipolisikan jika sengaja merusak barang milik bapak,” katanya, mencontohkan.

Dalam surat penahanan yang diterima Mongabay, kedua orang ini terjerat Pasal 170 Ayat 2 KUHPidana dan Pasal 406 ayat 1 KUHPidana.

 

Warga Sabuai saat menggelar aksi protes dengan berbagai alat peraga. Foto: dokumen warga

 

Minta Komnas HAM turun

Hatuari, warga yang sempat ditahan polisi kepada wartawan meminta, Komnas HAM bisa turun memperhatikan kasus ini.

Dia juga minta, Pemerintah Maluku segera menutup perusahaan yang selama ini diduga membalak kayu ilegal di hutan mereka. “Kami minta pemerintah segera menutup aktivitas CV Sumber Berkat Makmur,” katanya, seraya menyebutkan agar pemilik perusahaan juga ditahan.

Mereka khawatir, kalau perusahaan terus beroperasi, hutan adat gundul hingga menyebabkan masalah lingkungan.

“Jika musim hujan, longsor dan banjir datang. Pemukiman kami berada di bawah gunung. Longsor bisa menerjang pemukiman kami, jika proses pembalakan kayu masih saja jalan.”

Aliansi Mahasiswa Sabuai (AMS) sudah menempuh jalur hukum dengan melaporkan perusahaan ke Polres Seram Bagian Timur.

“Aktivitas perusahaan ini terjadi pada beberapa negeri adat di Kecamatan Siwalalat, seperti Negeri Sabuai, Abuleta, Naiwelahinulin dan Atiahu. Kami telah menemukan data yang jadi petunjuk, Sumber Berkat Makmur benar-benar illegal logging,” kata Khaleb Yamarua, yang kini jadi tersangka, dalam siaran pers.

Dia menduga, perusahaan tidak punya analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). “Berdasarkan keterangan yang disampaikan Kepala Pemerintahan Sabuai, Friderik Nisdoam, 5 Juni 2019, masyarakat tidak dilibatkan dalam pembahasan amdal,” katanya.

Prinsipnya, katanya, perusahaan tak pernah memberikan keterangan atau informasi terkait amdal. Dia juga menduga, perusahaan tak mengantongi izin, baik izin lingkungan maupun izin usaha pengelolaan hasil hutan kayu.

Menurut dia, perusahaan ini masuk dengan modus perkebunan pala. Pada September 2018 lalu, SBM mendatangkan 5.000 bibit pala ke Negeri Sabuai. Bibit ini untuk warga di lokasi perusahan beroperasi.

“Jika 5.000 bibit pala itu untuk masyarakat, kenapa tidak dibagi-bagikan saja, supaya merawatnya di milik mereka?”

Perusahaan menempatkan 5.000 bibit pala itu di lokasi pembibitan, di belakang Sekolah Dasar Persiapan Negeri Sabuai. Perusahan juga membayar orang merawat bibit pala itu.

Kepada wartawan seperti dikutip dari Malukuterkini.com, bos SBM Imanuel Darusman alias Yongki, membantah menebang di luar izin. Dia bilang, perusahaan punya izin lengkap soal pengelolaan hutan dan penebangan kayu maupun penjualan hasil tebangan itu.

Dia bilang, sejak beroperasi 2018, baru muncul masalah sekarang. Dia duga ada pihak tertentu yang menciptakan penolakan ini.

Selama perusahaan beroperasi, klaim Yongki,   telah memenuhi kebutuhan masyarakat sesuai kesepakatan bersama. Bahkan, katanya, ada 70 warga Negeri Sabuai, Siwalalat, kerja di perusahaan.

“Ada pihak yang mengaku ahli waris membuat gaduh hingga jadi persoalan yang kini ramai dibicarakan,” katanya menuding, di Ambon, Selasa (25/2/20).

 

Kapolres Seram Bagian Timur, AKBP Adolof Bormasa usai memberikan arahan kepada 26 warga, yang sebelumnya ditangkap. Foto: Polres SBT

 

Protes berbagai kalangan

Leny Patty, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Maluku saat dihubungi Mongabay, Senin (24/2/20) mengatakan, setelah menerima informasi penahanan puluhan warga itu, mereka langsung berkoordinasi dengan Komnas HAM Perwakilan Maluku.

Hasilnya, Ketua Komnas HAM mengirimkan surat ke Polda Maluku dan Polres mempertanyakan penahanan 26 warga ini. Dari Amnesty International juga memberikan dukungan dengan menghubungi kapolda.

“Kami bersyukur, meski koordinasi via telepon, namun bisa memberi kekuatan bagi nasib 26 masyarakat adat itu,” katanya.

Saat ini, mereka telah dibebaskan, tetapi dua orang jadi sebagai tersangka dan masih wajib lapor. Bagi AMAN Maluku, kata Leny, penting mengupayakan 26 orang itu keluar dari tahanan dulu.

“Setelah itu, barulah kami proses lanjut terhadap hutan adat yang sudah dirusak perusahaan. Apresiasi yang tinggi terhadap semua pihak yang sudah memberikan perhatian kepada masyarakat adat Sabuai,” katanya.

Abraham Tulalessy, Ketua Yayasan Satu Darah Maluku juga akademisi di Universitas Pattimura (Unpatti) Ambon ini, kepada Mongabay, Senin (24/2/20), meminta, kepolisian jeli melihat kasus di Negeri Sabuai, sebagai hukum sebab akibat.

Artinya, sebelum menuduh 26 warga itu sebagai kriminal karena merusak barang milik perusahaan, harus dilihat dulu duduk perkaranya.

Warga adat Sabuai, kata Tulalessy, juga korban.

“Perusahaan juga harus diproses. Ini karena sebab akibat. Ibaratnya, saya memukul seseorang, dia balik memukul saya. Kebetulan polisi datang dan melihat seseorang itu sedang memukul saya, mereka lalu menangkap dirinya, tanpa mencari tahu persoalan yang sebenarnya,” katanya mencontohkan.

Pemerintah Indonesia termasuk polisi, katanya, harus adil terhadap masyarakat adat yang merasa hak mereka terampas. Masyarakat adat Negeri Sabuai merupakan bagian dari warga Indonesia yang ingin memperjuangkan hutan adatnya.

Menyinggung soal amdal, Doktor lulusan IPB bidang Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan ini menduga, perusahaan itu punya izin, namun untuk perkebunan pala atau lain-lain.

Berdasarkan data mereka, , izin lokasi terbit oleh bupati bernomor 528/64/2018 engan jenis komoditas pala di Desa Sabuai, Kecamatan Siwalalat seluas 1.183 hektar.

 

Aksi warga Sabuai, mempertahankan hutan adat mereka. Foto: dokumen warga

 

Perda adat urgen

Dia pun mengajak warga adat di Maluku mendesak pemerintah segera membuat peraturan daerah (perda) adat termasuk mengatur soal daerah aliran sungai (DAS).

“Jika kita punya Perda Adat, perusahaan tidak asal masuk dan menyerobot hak-hak adat warga Maluku. Perlu saya tegaskan, hutan di Maluku ini seluruhnya adalah hutan adat.”

Kalau ada perda, katanya, akan mempertegas putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/2012 (MK-35), soal hutan adat bukan lagi hutan negara.

“Di mana hutan adat, di situ tidak ada hutan negara. Harus ada Perda Adat yang mengatur tentang DAS, hingga masyarakat bisa mengetahui batas-batasnya.”

 

 DPRD:  setop operasi

DPRD Maluku, mendesak penebangan oleh perusahaan di hutan itu segera setop sementara, hingga legislatif bersama Dinas Kehutanan (Dishut) dan organisasi masyarakat sipil melakukan peninjauan.

“Pimpinan dan anggota Komisi II DPRD akan meninjau lokasi. Kami minta Dishut Maluku menghentikan aktivitas penebangan di sana,” kata Wakil Ketua DPRD Maluku Richard Rahakbauw di Ambon, Minggu, (23/2/20).

Keputusan penghentian aktivitas penebangan ini awalnya usul anggota Komisi II DPRD, dalam rapat dengar pendapat bersama DPRD, Dishut Maluku, Direktur SBM, Yongky Quidarusman, serta koordinator LSM Gerakan Save Sabuai, Usman Bugis.

Upaya ini guna mengamankan berbagai bukti di lapangan, yang jadi obyek pelaporan dari LSM.

Sejumlah anggota DPRD dalam rapat dengar pendapat menilai, SBM masuk dengan izin perkebunan, dan izin pemanfaatan kayu, hanyalah modus belaka.

Hal ini berdasarkan beberapa perusahaan yang beroperasi di Pulau Buru dan Seram, setelah usai tebang pohon dengan IPK, lahan dibiarkan tanpa ada perkebunan.

DPRD meminta Dishut evaluasi menyeluruh terhadap perusahaan perkebunan yang mengantongi IPK, termasuk SBM.

“Kesimpulannya kita harus ke lapangan, guna mengecek kebenaran dari laporan yang disampaikan LSM maupun dari pimpinan Sumber Berkat Makmur,” katanya.

Sadli Li, Kepala Dinas Kehutanan (Dishut) Maluku, mengatakan, mereka tak lakukan kajian amdal, hanya pengamanan hak negara dengan pemberian izin pengelolaan kayu kepada perusahaan itu.

“Berdasarkan keputusan Bupati SBT Nomor IUP 151/2018, CV Sumber Berkat Makmur telah diberikan izin usaha perkebunan seluas 1.183 hektar dan lokasi ini seluruhnya berada pada areal pengguna lain untuk pembangunan di luar bidang kehutanan, bukan kawasan hutan,” katanya.

Menurut dia, karena APL ada tumbuh kayu secara alami, maka ada hak-hak negara yang harus dilindungi pada kayu itu berupa pembayaran revisi sumberdaya hutan serta dana reboisasi.

Untuk menagih hak negara ini, katanya, perlu ada pemberian izin pemanfaatan kayu (IPK). Sesuai aturan, harus ada pertimbangan teknis dari Balai Pemanfaatan Hutan Produktif. “Melalui dasar itu, baru Dishut menerbitkan IPK. IPK juga diterbitkan atas dasar ada izin perkebunan,” katanya.

Dengan begitu, kata Sadli, areal seluas 1.183 hektar itu tidak seluruh ada potensi kayu. Melalui pertimbangan teknis Balai Pengelolaan Hutan Produksi (BPHP), hanya memberikan areal pemanfaatan seluas 1.079 hektar.

 

Keterangan foto utama: Hutan adat Negeri Sabuai, lokasi  CV Sumber Berkat Makmur beroperasi. Foto: dokumen warga

 

Exit mobile version