Mongabay.co.id

Kala Anak-anak Orang Rimba Rentan Terserang Penyakit

 

 

 

 

Kemiri menangis dalam gendongan ibunya. Selembar kain panjang berselimpang di dada Begaya, sang ibu. Bayi usia 1,5 bulan ini tak megenakan pakaian. Dia demam. Badan panas. Begaya terus bersenandung agar anaknya tak menangis.

“Sudah lima hari badannya panas.”Beberapa anak rimba berkumpul mengitari saya dan Kemiri.

Nengkudu, balita empat tahun ini juga berkali-kali batuk keras dan merengek. Mata menatap sayu. Tak ada air mata saat dia menangis. Beberapa perempuan berjalan hilir mudik menenangkan anak mereka.

Pada 17 Februari 2020, saya mengunjungi kelompok Orang Rimba Makekal Hulu, yang melangun ke kebun sawit masyarakat di Desa Sungai Bulian, Kecamatan Tabir Timur Merangin. Sebanyak 23 keluarga Orang Rimba tinggal sementara di kebun sawit milik warga di Desa Sungai Bulian itu.

Melangun adalah istilah Orang Rimba, berpindah ke luar hutan karena beberapa sebab, antara lain, salah satu keluarga atau anggota kelompok meninggal, musim paceklik, dan wabah penyakit.

Kelompok ini, baru saja kehilangan bayi berusia delapan hari, anak Besiap. Peristiwa itu yang membuat kelompok Orang Rimba ini menambah proses melangun.

“Kemarin kami kehilangan seorang sepupu saya, begitu mau masuk ke hutan lagi , ada yang meninggal lagi,”kata Ngandun, Ketua Adat Orang Rimba Makekal Hulu.

“Setahun sudah kami melangun.”

“Di sawitan ini tidak enak dibandingkan di hutan.”

Dia bilang, tinggal di sekitar kebun sawit, banyak Orang Rimba sakit. “Banyak yang sakit di sini, makin bertambah, anak-anak paling banyak. Sebelum sehat, saya dan anggota kelompok lain akan memilih bertahan. Kalau di dalam bagaimana mau bawa mereka berobat,” lata Ngandun.

 

Perempuan dan anak-anak Orang Rimba kelompok Makekal Hulu. Anak-anak mereka banyak jatuh sakit. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

Ada 15 sesudungan, rumah Orang Rimba berupa beberapa tonggak kayu menyangga atap terpal plastik. Lantai terbuat dari kayu tersusun memanjang ke kanan dan kiri. Sesudungon ini menyebar di kebun sawit seluas dua hektar. Tak banyak aktivitas di sini, hanya beberapa induk–panggilan bagi ibu di Orang Rimba yang mengendong anaknya.

Beberapa laki-laki dewasa sedang tidur-tiduran di sesudungan. Mereka beristirahat karena semalam baru pulang berburu babi.

Saya memegang dahi Nengkudu. Panas. Bayo, neneknya mengatakan, delapan hari lalu mereka sudah dikunjungi Puskesmas Sungai Bulian dan Dinas Kesehatan Merangin serta aparat desa, maupun kecamatan. Nengkudu belum sakit saat itu.

Mereka berdiskusi menentukan apakah harus ke Puskesmas atau tidak.

“Kami tidak ada motor,” kata Bayo.

Beruntung mobil yang saya bawa bisa membawa tiga perempuan bersama lima anak mereka.

Jalan berbatu dan tanah membuat perjalanan Ke Puskesmas Desa Sungai Bulian memakan waktu hampir 30 menit. Perempuan dan anak Orang Rimba, duduk di antrian depan ruang tunggu Puskesmas. Seorang petugas kesehatan menanyakan identitas satu per satu rombong Orang Rimba ini.

“Nengkudu.” Panggil Meri, seorang petugas kesehatan.

“Apa keluhannya, bu?”

“Batuk, demam,” kata Nengkudu.

Satu per satu anak diperiksa, keluhan hampir sama, panas, batuk dan sesak napas.

Dalam kurun dua bulan, Januari-Februari 2020, Puskesmas Sungai Bulian mencatat lebih 100 kunjungan Orang Rimba rawat jalan.

Saendran, Kepala Puskesmas Desa Sungai Bulian mengatakan, 80% pasien anak-anak. “Rata-rata kena gangguan pernapasan, ISPA, pneumonia, demam, batuk dan sesak,” katanya.

Tak berbeda dengan Puskesmas Muaro Delang, ada 23 pasien kunjungan Orang Rimba dalam Januari-Februari 2020, 13 anak-anak. Keluhannya juga sama, batuk, demam, ada juga diare pada anak.

Ranpiandi Damanik, Kepala Puskesemas Muaro Delang menceritakan, banyak anak Orang Rimba sakit membuat mereka dan tim Dinas Kesehatan Merangin kunjungan ke kelompok Orang Rimba di Makekal Hulu, timur Taman Nasional Bukit Duabelas.

“Ada 70 orang diperiksa, 26 sakit orang dewasa, ibu hamil, 34 anak-anak balita, satu anak pneumonia berat dan meninggal di RSUD Bangko,” katanya.

Dua puskesmas terdekat di tempat hidup Orang Rimba di Makekal Hulu menyatakan, memberikan layanan pengobatan gratis bagi Orang Rimba yang berobat.

“Sejak 2009 , sudah gratis ada peraturan bupati kalau ga salah,” kata Saendran.

Selain itu, mereka sudah kunjungan tiga kali dalam setahun.

“Akses ke sana juga sulit, jadi tidak bisa sering ke dalam. Kendaraan kita tidak ada.”

Perlu waktu satu setengah jam menjangkau Orang Rimba di Makekal Hulu dengan akses jalan tanah dan mendaki.

 

Perempuan Rimba dan anaknya sedang periksa ke Puskesmas. 

 

Kematian anak tinggi

Beshiap baru saja kehilangan bayi perempuannya yang meninggal karena sesak napas. Usia baru delapan hari, saat menderita sesak napas dan dibawa ke rumah sakit. Selama tiga hari dirawat, Beshiap terpaksa membawa pulang bayinya.

“Di rumah sakit tidak nyaman, kami bawa pulang, meninggal di jalan,”katanya.

Kematian bayi Beshiap bukanlah kali pertama bagi Orang Rimba. Begaya dan Siondan, dua ibu Orang RImba ini bilang pernah kehilangan bayi mereka.

“Anak aku meninggal waktu umur kandungan delapan bulan, langsung meninggal,” kata Begaya.

Begaya melahirkan dibantu kakak iparnya di hutan. Dia tak pernah memeriksakan kehamilan ke bidan maupun puskesmas. Usia baru 13 tahun saat melahirkan anak pertama. Sekarang, Begaya sudah punya dua anak lagi.

Siondan juga kehilangan anaknya saat berusia 10 bulan. Bayi itu demam dan batuk hingga meninggal dunia.

“Kami melahirkan semua sama dukun, tidak ke rumah sakit. Hopi ado bawa anak ke Posyandu,” katanya.

Seingatnya, dalam tiga tahun ini ada 20 anak usia 0-5 tahun meninggal di kelompok Makekal Hulu. Mereka hanya tahu sakit sesak, demam dan batuk sebagai penyebab kematian.

Data KKI Warsi, bekerjasama dengan BPS Jambi pada 2018 menyebutkan, Orang Rimba terdata 4.500 jiwa tersebar di enam kabupaten.

Kematian Orang Rimba beruntun pernah terjadi pada 2015 sebanyak 11 orang. Gejalanya hampir sama, diawali gejala, demam, batuk, sakit perut dan sesak napas.

Rendahnya kesadaran posyandu dan pemeriksaan kesehatan ibu hamil serta balita juga jadi salah satu pemicu. Orang Rimba memiliki tradisi sendiri saat melahirkan. Ketika perempuan rimba yang mau melahirkan akan dibawa ke Tanah Peranaon, wilayah khusus untuk proses bersalin Orang Rimba.

Di Tanah Peranaon ini, juga didampingi satu orang dukun. Nandun mengatakan, bayi baru lahir biasa bibir berpoles madu hutan untuk kekebalan tubuhnya.

Mereka memang tidak mengenal posyandu. “Di Tanah Peranaon ini ada berbagai macam ramuan untuk melahirkan dan merawat bayi nanti. “Dekat dengan sungai juga biasanya,” kata Ngandun.

Hidup berpindah dari suatu tempat ke tempat lain, juga membuat Orang Rimba rentan sakit karena beradaptasi dengan lokasi baru.

Lingkungan berubah dan hutan yang menyempit berpengaruh pada kondisi kestabilan pangan dan kesehatan Orang Rimba ,saat melangun.

Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman juga melakukan studi pada Orang Rimba terkait penyakit malaria. Selama 10 hari, mereka test pada beberapa kelompok Orang Rimba. Musim hujan jdi patokan angka malaria tinggi pada Orang Rimba.

Setelah Dinas Kesehatan Merangin juga penyecekan malaria ke beberapa Orang Rimba, dan memang menderita malaria, tiga anak-anak.

Balara, nama anak Rimba posistif terjangkit malaria.

Joko Purnomo , guru relawan Orang Rimba yang ikut dalam pengecekan mendapatkan titipan obat bagi Balara. Dia bertanya pada beberapa Orang Rimba dalam kelompok Ngandun.

“Di rombong Sungai Bedaro,makekal hulu itu ado namo anak Belara. Budak kecik, toga tahun umurnya” kata Ngandun ke Purnomo.

Sebanyak 25 kepala keluarga Orang Rimba Makekal Hulu melangun dengan mendirikan sesudungon di kebun sawit milik warga Desa Sungai Bulian.Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

Malaria masih menjadi momok bagi Orang Rimba. Data sementara diperoleh dari Eijkman dari 400 Orang Rimba yang menjalani pemeriksaan sekita 37 orang posistif malaria.

“Kita belum mengumpulkan semua sample, ini baru yang sudah diidentifikasi saja segitu,” Kata Din Syafruddin, peneliti senior malaria Eijkman

Syafruddin mengatakan, setelah mendapat hasil analisa, mereka akan intervensi pencegahan dengan gunakan alat pengusir nyamuk berbentuk lampion.

“Alat ini sudah diuji cobakan di Sumba dan keberhasilan mencegah gigitan nyamuk sebanyak 60%.”

Alat ini, katanya, didesain juga sesuai karakter dan fleksibilitas Orang Rimba yang hidup berpindah. “Kalau kelambu, mereka tidak gunakan panas. Alat ini terbuat dari kertas, dan praktis dibawa saat mereka berpindah. Efektif dan disesuaikan dengan mereka.”

Alat pengusir nyamuk memiliki jangkauan minimal 3×3 meter persegi bahkan bisa dua kali lipat berdasarkan luasan kertas.

Kalau dibandingkan 2015, Din menilai partisipasi dan kesadaran Orang Rimba untuk pemeriksaan meningkat, “[Pada] 2015, kita hanya memeriksa sebanyak 200 jiwa sample saja.Tahun ini lebih banyak,” katanya.

 

Anak-anak Orang Rimba, yang tinggal di tengah kebun sawit. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

Kerentanan pangan dan kesehatan

Tradisi melangun adi identitas bagi Orang Rimba. Namun, bagi beberapa kelompok tradisi ini sudah mulai dimodifikasi oleh mereka sendiri sebagai bentuk adaptasi.

Adi Prasetijo, antropolog, sekaligus Direktur Indonesia Center for Sustainable Development (ICSD) mengatakan, di beberapa tempat melangun sudah banyak dimodifikasi sendiri Orang Rimba.

Melangun tidak lama lagi sampai bertahun-tahun, lokasi jadi lebih dekat, bahkan dulu ada yang meninggal harus melangun sekarang, jika ada yang sakit dipindahkan jauh-jauh agar kelompoknya tidak melangun. Sebagian, yang sudah beragama memilih tidak lagi melangun,” katanya.

Orang Rimba dinilai berubah melihat perubahan lingkugan dan kodisi sosial sekitar.

“Mereka berubah karena pilihannya sendiri.”

Ada beberapa pertimbangan modifikasi budaya melangun dilakukan oleh Orang Rimba, diantaranya, akses kepemilikan lahan, agama, dan akses.

“Budaya melangun, budaya nomaden yang membutuhkan efektivitas dan energi mobilitas yang tinggi.”

Berubah atau tidak merupakan pilihan Orang Rimba sepenuhnya. Tidak ada pendekatan yang baku bagi pemerintah untuk “melayakkan “ kehidupan Orang Rimba selain memfasilitasi keinginan sebagai masyarakat dengan identitas budaya mereka. “Hutan saja yang sekarang terbagi-bagi, itu saja yang membuat mereka rentan bukan melangun.”

Melangun juga bisa dari sarana Orang Rimba untuk memecahkan diri dengan kelompoknya juga klaim kewilayahan bagi mereka.

“Modifikasi melangun ini tidak tunggal ya, ada banyak. Bahkan melangun ini juga bisa kalau ada kelompok yang tidak sepemahaman lagi dengan kelompok besarnya. Mereka memilih melangun sebagai alasan keluar dan membentuk kelompok lain,” kata Prasetijo.

Seharusnya, pemerintah bisa memberikan hutan sebagai ruang hidup sekaligus identitas budaya Orang Rimba. Kalaupun ada kelompok yang berubah dari sistem dan keunikan budaya, mereka juga perlu dukungan penuh hingga cepat beradaptasi dan diterima masyarakat.

“Bagi kelompok Orang Rimba yang mempertahankan identitas mereka ini juga seharusnya dipikirkan negara bagaimana solusi tepat. Dengan hutan sebagai sumber penghiduan dan identitasnya.”

Masyarakat adat yang mengandalkan hidup dari berburu dan meramu, katanya, rentan hilang secara kebudayaan karena tutupan hutan terus menipis.

“Ditambah lagi konflik, ini tidak akan mampu bertahan. negara harus hadir untuk mereka.”

 

 

Keterangan foto utama: Dalam kurun dua bulan, Januari-Februari 2020, Puskesmas Sungai Bulian mencatat lebih 100 kunjungan Orang Rimba rawat jalan. Saendran, Kepala Puskesmas Desa Sungai Bulian mengatakan, 80% pasien anak-anak dengan gangguan pernapasan, ISPA, pneumonia, demam, batuk dan sesak napas.

Exit mobile version