Mongabay.co.id

Kota Ramah Pejalan Kaki Bukanlah Mimpi

 

 

Kian hari kualitas udara di kota-kota di Indonesia, terutama kota besar, cenderung mengkhawatirkan. Kadar polutan [zat pencemar] bahkan ada yang telah melewati ambang batas. Secara umum, terdapat beberapa polutan utama yang lazim mencemari dan menurunkan kualitas udara kawasan perkotaan.

Pertama, nitrogen dioksida [NO2] dan nitrat oksida [NO] yang dihasilkan antara lain dari proses pembakaran bahan bakar kendaraan bermotor. Keduanya berpotensi mengiritasi paru-paru dan menurunkan daya tahan tubuh terhadap serangan infeksi pernapasan.

Kedua, partikel berukuran kurang dari 2,5 mikron [PM 2,5]. Salah satu sumber utama partikel ini adalah emisi kendaraan berbahan bakar fosil serta asap industri. Partikel tersebut dapat mengakibatkan pembengkakan paru-paru dan gangguan jantung, serta meningkatkan risiko kanker paru.

Ketiga, karbon monoksida [CO]. Zat ini pun dihasilkan dari proses pembakaran bahan bakar kendaraan bermotor. Kadar CO yang tinggi dapat mengikat hemoglobin, mengakibatkan pasokan oksigen ke tubuh berkurang.

Keempat, timbal [Pb]. Polutan satu ini bersumber dari bahan bakar mengandung timbal. Timbal, dalam jumlah kecil sekalipun, sangat berbahaya bagi kesehatan, khususnya anak-anak: menyebabkan terjadinya penurunan fungsi mental dan kerusakan saraf.

Bertambahnya kendaraan bermotor untuk moda transportasi sehari-hari, diyakini sebagai salah satu biang memburuknya kualitas udara perkotaan. Karenanya, perlu ada kebijakan besar yang mampu mendorong masyarakat untuk lebih sering menggunakan kendaraan umum, mengayuh sepeda, dan berjalan kaki.

Khusus konteks jalan kaki, kita sama-sama tahu, berjalan sesungguhnya bukan hanya bermanfaat bagi kesehatan individu, tetapi juga berharga untuk kesehatan lingkungan. Berbagai kajian selalu menyimpulkan, sejumlah hal positif menunjukkan aktivitas ini.

Baca: Ruang Hibrida yang Sangat Berarti Bagi Warga Kota

 

Ilustrasi pesatnya pembangunan kota yang tidak jarang mengorbankan kelestarian lingkungan. Ilustrasi: Hidayaturohman/Mongabay Indonesia

 

Tergolong pemalas

Rata-rata, orang dewasa dapat menempuh jarak lima hingga enam kilometer per jam dengan jalan kaki. Meski jelas-jelas bagus untuk kesehatan pribadi dan lingkungan, toh faktanya orang Indonesia tergolong malas melakukannya.

Kajian sekelompok peneliti di Universitas Stanford, Amerika Serikat, beberapa waktu lalu, dengan menganalisa data menit per menit dari 700.000 orang yang menggunakan Argus [sebuah aplikasi pemantau aktivitas di telepon seluler], menyimpulkan bahwa orang Indonesia merupakan penduduk paling malas berjalan kaki sedunia. Rata-rata, orang Indonesia hanya berjalan sebanyak 3.413 langkah per hari. Sedangkan warga Hong Kong tercatat paling rajin, 6.880 langkah setiap hari.

Malasnya orang Indonesia jalan kaki berdampak pada peningkatan kemacetan di kota-kota. Ironinya, tidak sedikit dari mereka yang mengeluhkan kemacetan ini, justru ikut menyumbang kemacetan itu sediri. Karena, ke mana pun mereka beraktivitas, selalu menggunakan kendaraan pribadi.

Lihat saja, masyarakat kita sekarang lebih memilih menggunakan kendaraan bermotor untuk berpergian dari dan ke satu tempat yang notabene jaraknya tidak terlalu jauh. Padahal, ukuran kurang dua kilometer, bisa kita tempuh dengan jalan kaki.

Salah satu penyebab malasnya orang Indonesia berjalan kaki boleh jadi karena masih belum primanya fasilitas. Realitanya, di negeri ini, pejalan kaki adalah minoritas yang hak-haknya cenderung terpinggirkan. Secara umum, jalur-jalur pedestrian di kota-kota, sama sekali belum memanjakan pejalan kaki.

Di sisi lain, tidak sedikit jalur pedestrian yang ada malah dimanfaatkan pedagang. Belum lagi ulah sebagian pengendara sepeda motor, terutama saat kemacetan menghadang, yang dengan teganya memanfaatkan jalur ini.

Padahal, berdasarkan Pasal 131 Ayat [1] Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta Pasal 34 Ayat [4] Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan, jalur pedestrian merupakan hak pejalan kaki dan hanya diperuntukkan bagi lalu-lintas pejalan kaki.

 

Kota ramah untuk pejalan kaki dibarengi penataan ruang terbuka hijau harus diwujudkan. Ilustrasi: Hidayaturohman/Mongabay Indonesia

 

Membiasakan berjalan

Menurut Catrine Tudor-Locke dari Walking Behavior Laboratory di Pennington Biomedical Research Center, Amerika Serikat, idealnya kita perlu berjalan kaki antara 7.000-8.000 langkah setiap hari. Sebagian pakar bahkan menyarankan, kita sebaiknya berjalan kaki 10.000 langkah per hari.

Kalau kita cermati, bukan cuma orang-orang dewasa yang malas berjalan di negeri ini. Anak-anak dan remaja pun ada pola yang sama, memilih kendaraan bermotor untuk ke sekolah. Mereka yang belum bisa, diantar-jemput orangtuanya.

Di beberapa negara, anak-anak sekolah justru didorong untuk berjalan kaki. Jepang, misalnya, yang merupakan salah satu negara raksasa otomotif dunia, anak-anak sejak sekolah dasar sudah dibiasakan jalan kaki menuju sekolah.

Di Victoria, salah satu negara bagian Australia, saban Oktober, digelar apa yang disebut VicHealth’s Walk to School. Tujuan utamanya, mendorong anak-anak jalan kaki ke sekolah.

Merujuk Healthy Cities Technical Working Group on Health and Indicator yang digagas Organisasi Kesehatan Dunia [WHO], salah satu indikator lingkungan untuk menentukan apakah sebuah kota sehat atau tidak adalah dengan melihat seberapa banyak jumlah warga yang jalan kaki.

Dengan mempertimbangkan kontribusi terciptanya lingkungan perkotaan lebih sehat, para pengelola kota di sejumlah negara berupaya memuliakan para pejalan kaki. Aneka fasilitas disediakan untuk menjamin kenyamanan, keamanan dan keselamatan, tenutunya. Mereka ingin, kota-kota yang mereka kelola menjadi surganya pejalan kaki.

Konsep kota pejalan kaki [walkable city] juga mulai dikembangkan pengelola kota di sejumlah negara. Lewat konsep ini, kota dirancang agar penduduknya nyaman dan aman berjalan, lebih aktif bergerak. Tidak bergantung pada kendaraan bermotor. San Francisco, Amerika Serikat, adalah kota yang berhasil menerapkan konsep walkable city sehingga mendapat julukan The Most Car-Free-Friendly City. Mayoritas warganya, sama sekali tidak bergantung kendaraan bermotor.

Semoga, pengelola kota-kota di negeri kita semakin memuliakan pejalan kaki. Dengan begitu, horor kemacetan dan memburuknya kualitas udara tidak lagi menjadi menu perbincangan harian.

 

*Djoko Subinarto, kolumnis dan bloger, tinggal di Bandung [Jawa Barat]. Tulisan ini opini penulis

 

 

Exit mobile version