Mongabay.co.id

Perbaikan Tata Kelola Sawit Hadapi Berbagai Tantangan

 

 

Pemerintah berupaya memperbaiki tata kelola perkebunan sawit di Indonesia. Sayangnya, hingga kini berbagai aturan ini belum berjalan optimal karena berhadapan dengan berbagai tantangan, seperti kepastian lahan sampai persoalan data.

Pada desember 2019, melalui Keputusan Menteri Pertanian Nomor 833/2019 tentang Penetapan Luas Tutupan Sawit Indonesia pada 2019, seluas 16.381.959 hektar. Ia merupakan hasil evaluasi dan monitoring regulasi sawit.

Dalam dua tahun belakangan, pemerintah mengeluarkan regulasi dengan harapan bisa menyelesaikan tata kelola perkebunan sawit seperti Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6/2019 tentang Rencana Aksi Nasional Perkebunan Sawit Berkelanjutan 2019-2024, dan Inpres Nomor 8/2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Pekebunan serta Peningkatan Produtivitas Pekebunan Sawit. Sayangnya, berbagai regulasi ini belum berjalan optimal.

Abetnego Tarigan, Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Bidang Pembangunan Manusia Kantor Staf Presiden mengatakan, setelah ada luasan tutupan lahan ini bagaimana kabupaten/kota evaluasi perizinan perkebunan sawit.

”Pekerjaan rumah paling banyak itu mendesak revitalisasi, ini berkaitan dengan kepentingan si petani yang kebun sudah tak produktif,” katanya.

Salah satu masih jadi tantangan, katanya, prasyarat kepastian lahan, padahal itu faktor utama tata kelola sawit.

Sebenarnya, ada Perpres 88/2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan yang bisa jadi upaya mendorong penyelesaian legalisasi lahan. Sayangnya, kata Abetnego, kebijakan itu berjalan tidak lancar.

Rivani Noor Machdjoeri, Staf Ahli Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk Konflik Agraria dan Mediasi mengatakan, permasalahan tata kelola sawit tak akan selesai kalau belum memiliki data, terlebih di kawasan hutan. “Itu penting dalam tata kelola, tak bisa menyelesaikan kalau legalitas belum dilaksanakan.“

Dia bilang, KLHK melihat isu ini dengan hati-hati, karena tak hanya mengenai regulasi, juga memiliki banyak dimensi terkait antara lain ekonomi, sosial, dan politis.

Peran kebijakan satu peta yang digadang-gadang presiden pun dianggap solusi karena bisa memberikan kepastian hukum aktivitas dalam kawasan hutan. “Kita ingin percepatan, kita sedang situasi tidak ideal. Banyak aspek keterlanjuran, secara fisik ia ada, tidak mungkin bongkar sawit dalam kawasan hutan. KLHK sangat hati-hati, tertutama sawit masyarakat kecil,” katanya.

Untuk penyelesaian masalah ini, katanya, perlu ada keseimbangan antara keadilan sosial dan ekologi. ”Sawit dalam kawasan hutan itu tak akan maju melalui regulasi.”

 

Petani sawit Desa Nanga Kebebu , Melawi masih hadapi berbagai masalah. Meskipun begitu, mereka mulai berupaya berbenah diri . Foto: Arief Nugroho/ Pontianak Post

 

Dia bilang, harus dilakukan manajemen penataan kawasan terlebih dahulu guna membuktikan sawit itu dalam atau luar kawasan. “Pemiliknya, apakah ada di sepadan sungai atau tidak.”

Pada 2020, KLHK optimis penanganan persoalan petani sawit di kawasan hutan akan lebih baik. Dia berharap, kebijakan-kebijakan terkait geospasial, tumpang tindih lahan, peta konflik, bisa lebih detail hingga bisa menyelesaikan persoalan petani sawit dalam kawasan hutan.

“Mudah-mudahan ini bisa mendukung perbaikan nasib dan pendapatan serta kehidupan petani sawit secara umum di Indonesia.”

Azis Hidayat, Ketua Sekretariat Komisi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) berharap, Inpres Nomor 6/2019 tentang RAN-SB dan Inpres Nomor 8/2018 soal morarotium izin sawit mampu mempercepat ISPO, termasuk upaya penyelesaian kebun sawit dalam kawasan hutan. Baik soal legalitas dan sertifikat hak milik petani yang hingga kini masih alami kesulitan dan berbiaya tinggi.

 

Luasan kebun sawit ISPO

Sampai 16 Januari 2020, Komisi Indonesia Sustainable Palm Oil telah menerbitkan 621 sertifikat ISPO dengan areal 5.450.329 hektar. Dari jumlah itu, ada enam perusahaan seluas 32.340 hektar sertifikat ISPO dicabut.

Saat ini, ada 615 sertifikat ISPO, terdiri dari 601 perusahaan, 10 koperasi swadaya dan empat KUD plasma dengan produktivitas tandan buah segar rata-rata 19 ton perhektar pertahun.

Rinciannya, sertifikasi ISPO perusahaan swasta 66,15% dari luas 7,78 juta hektar (5.151.481 hektar), PTP Nusantara 40,20% dari luas 713.000 hektar (286.590 hektar). Untuk koperasi pekebun plasma swadaya baru 0,21% dari luas 5,807 juta hektar (12.270 hektar).

Soal kelembagaan, kata Azis, BPDPKS juga memfasilitasi pendanaan untuk pekebun dalam mendapatkan sertifikasi ISPO. “Melalui tahapan pra kondisi, pembentukan kelembagaan, capacity building, pelatihan tentang ISPO, internal control dan lain-lain.”

 

Pemerintah sudah ada kebijakan Inpres Moratorium Izin Kebun Sawit, tetapi bagaimana implementasinya? Pemerintah juga baru bikin kebijakan rencana aksi nasional sawit berkelanjutan. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Saat ini, katanya, masih banyak petani belum mau membentuk koperasi. Kalau berbagai pihak mendukung, katanya, maka percepatan sertifikasi ISPO bisa berjalan lancar.

Mansuetus Darto, Ketua Serikat Petani Sawit menilai, penggunaan dana kelola Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) tak sesuai dengan UU Nomor 39/2014 tentang Perkebunan.

Penggunaan dana BPDPKS, katanya, harus fokus pengembangan sumber daya manusia, perbaikan sarana dan prasarana perkebunan, peremajaan sawit, promosi hingga riset dan pengembangan.

Bukti penggunaan tak sesuai UU, katanya, terlihat jangkauan peremajaan sawit petani swadaya masih rendah. BPDPKS, katanya, hanya mampu merealisasi peremajaan sawit sekitar 58,000 hektar atau 29% dari rencana awal lembaga itu dalam lima tahun terakhir.

Padahal, kata Darto, peremajaan Sawit petani swadaya kunci mendorong produktivitas sawit Indonesia.“Indonesia sudah memiliki regulasi dan dana namun belum aksi nyata berbentuk strategi jangka panjang yang berdampak nyata untuk sawit berkelanjutan,” katanya.

SPKS berharap, pada 2020, fokus pemerintah bukan lagi penyusunan kebijakan baru untuk perkebunan rakyat tetapi aksi nyata bagi petani sawit.

Dia mendesak, tak ada pembukaan sawit baru dengan memastikan peningkatan produktivitas sawit rakyat. “Karena luas 16,3 juta hektar mampu mencapai 80 juta ton CPO (minyak sawit mentah-red) nasional.“

 

Keterangan foto utama: Membuka kebun di lahan  gambut, salah satu masalah di Indonesia. Gambut rusak, kala kemarau memicu terjadi kebakaran hutan dan lahan. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version