Mongabay.co.id

Pondok Pesantren di Magelang ini Berhemat Jutaan Rupiah dari Pemanfaatan Biogas

 

Bersamaan dengan suara adzan, langkah kaki bergegas menuju ke arah mesjid. Pemandangan umum itu tampak jika kita berada di Pondok Pesantren Asrama Pendidikan Islam (Ponpes API) Tegalrejo, Magelang.

Ponpes API merupakan pesantren  bersejarah yang didirikan oleh KH Chudlori pada 1 Oktober 1944. Saat perjuangan kemerdekaan Indonesia, ia menjadi tempat persinggahan para pejuang untuk melawan penjajah. Presiden Indonesia keempat, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur pun pernah menimba ilmu di sini.

Saat berkunjung ke dalam mesjid, saya melihat puluhan santri sedang mengaji kitab kuning. Sebagian lainnya terlihat khusyuk membaca Alquran sembari menunggu imam salat datang. Seperti layaknya pesantren salafi, pemandangan santri bersarung dan berpeci juga dapat mudah dijumpai.

 

Para santri Ponpes API Tegalrejo Magelang saat menuju ke mesjid. Foto: M. Dafi Yusuf

 

Hingga saat ini, total santri Ponpes API cukup fantastis. Pesantren tersebut mampu menampung sekitar 13 ribu santri putra-putri yang terbagi dalam tiga asrama. Namun, tak ada gading yang tak retak.

Karena jumlah santri yang mencapai ribuan dan kapasitas penampungan septic tank tinja yang tak sebanding, menimbulkan masalah yang berkepanjangan.

Pada tahun 2017 sempat beberapa warga memprotes karena tempat penampung tinja santri di Ponpes API menimbulkan bau yang tak sedap. Mereka pun mengeluh sumur resapan warga yang ada di dekat pondok tercemar karena tinja santri yang meluap.

Untuk itu, Ponpes API lalu membuat solusi pemanfaatan tinja sebagai biogas, yang dapat digunakan sebagai pengganti gas LPG.

“Melalui solusi ini, pesantren tak butuh lagi alat penampungan. Selain itu tak ada lagi bau tinja karena telah dimanfatkan menjadi biogas dan pupuk organik,” jelas pengurus Ponpes API Muhammad Solikhun saat ditemui beberapa waktu lalu.

Selepas salat, saya diajak Suyono, mitra kerjanya pembangun biogas Ponpes API dari Rumah Energi menuju tempat untuk memproses tinja santri menjadi biogas.

Layaknya seorang guide, ia menjelaskan secara rinci beberapa lampu, selang dan beberapa dapur yang digunakan untuk memasak menggunakan biogas hasil dari tinja santri.

Beberapa bangunan tampak sedang direnovasi. Selain itu, terdapat penambahan toilet untuk para santri. Pemugaran dilakukan karena sebelumnya kapasitas jumlah santri dengan tempat penampungan tinja tak seimbang.

 

Makam KH Chudlori pendiri Ponpres API Tegalrejo, Magelang yang berada di dalam kompleks ponpes. Foto: M Dafi Yusuf.

 

Akhirnya volume penampungan tinja dibesarkan dan beberapa tempat prasarana untuk biogas dilakukan pemugaran. Ponpes API pun menambah 50 toilet yang disediakan khusus untuk biogas.

“Tempat harus dibedakan antara tempat untuk buang air besar dengan tempat untuk mandi karena biogas tak cocok jika ada campuran dari bahan-bahan kimia termasuk diterjen dan sabun,” terangnya sembari menunjukan toilet yang sedang dibangun.

Untuk pembangunan biogas, Ponpes API menghabiskan dana sekitar Rp50 juta karena ukuran volumenya yang besar.

“Ukuran penampung tinja biogas ukurannya 360 x 85 meter. Memang agak mahal biayanya di depan, tapi kalau dihitung dalam jangka panjang maka manfaatnya besar.”

Selain mengurangi bau menyengat dari tinja santri, melalui biogas ponpes dapat menghemat kebutuhan LPG. Untuk kebutuhan memasak, Ponpes API membutuhkan 15 LPG ukuran 3 kilo dengan harga Rp20 ribu per kilonya, atau rata-rata Rp300 ribu setiap hari.

Jika dijumlah dalam skala bulan, maka Ponpes API dapat menghemat Rp9 juta per bulannya. Melihat perkembangan positif ini, pihak pesantren tampak begitu antusias dan mendukung pembuatan biogas di lokasi tersebut.

Kedepannya Ponpes API telah menyiapkan empat tempat untuk dibuat biogas melalui pemanfaatan tinja para santri. Untuk limbahnya sendiri, pihak pesantren akan memanfaatkan sebagai makanan ikan lele dan pupuk tanaman sayur hidroponik yang dimiliki oleh pesantren.

“Melihat limbah dari biogas sangat bagus maka pesantren akan memanfaatkannya sebagai makanan ikan dan pupuk,” terang Suyono.

Menurutnya, biogas mampu menjadi solusi dari persoalan tinja santri yang sudah bertahun-tahun menumpuk. Limbahnya pun dapat digunakan sebagai pupuk.

 

Pembangunan fasilitas toilet/MCK  yang saat ini sedang dibangun dan dikembangkan untuk menunjang pemanfaatan biogas yang berasal dari tinja santri. Foto: M Dafi Yusuf

 

Perihal keamanan, -berbeda dengan gas LPG, maka biogas ia jamin tak akan meledak karena lebih sedikit membutuhkan sedikit udara. Instalasi biogas pun dijamin awet untuk 15 tahun.

“Biogas telah melalui proses purifikasi terlebih dahulu. Jadi dijamin aman jika tak merubah bangunan yang telah kita buat,” ucapnya. “Biogas memang sangat cocok jika dibangun di tempat-tampat yang mempunyai keramaian yang tinggi. Misal seperti pesantren, sekolah, terminal. Hal itu disebabkan, semakin digunakan maka akan semakin bagus. Selain itu, melalui biogas lebih ramah lingkungan, itu yang paling penting.”

Santri Ponpes API Khoirul Umam pun ujarnya mengaku senang dengan dibangunnya biogas di pesantrennya. Seorang santri bernama Khoirul Umam mengaku senang dengan dibangunnya biogas di pesantrennya. Menurutnya, dengan dibangunnya biogas dapat mengurangi limbah tinja santri. “Karena penasaran saya ingin mempraktikannya di rumah. Ini merupakan ilmu baru,” kata lelaki asal Demak itu.

 

* M. Dafi Yusuf, penulis adalah wartawan Akurat.co dan alumni pondok pesantren. Tulisan ini didukung oleh Mongabay Indonesia.

 

Exit mobile version