Mongabay.co.id

Belajar dari Tragedi Susur Sungai Sempor di Sleman

 

 

 

 

Pada Sabtu, 22 Februari, Lembah Sempor akan menerima serombongan wisatawan yang hendak outbound. Rencana itu batal karena sehari sebelumnya, Jumat, sebagian besar dari 249 siswa SMPN 1 Turi yang mengikuti kegiatan Pramuka dan susur Sungai Sempor diterjang banjir. Sigit, pengelola wisata membenarkan pembatalan itu.

Destinasi wisata Lembah Sempor dalam beberapa tahun terakhir menarik minat wisatawan yang ingin berkegiatan bernuansa alam. Lokasi wisata di Dusun Dukuh, Desa Donokerto, Kecamatan Turi, Sleman, Yogyakarta ini hanya berjarak sekitar 2,5 kilometer dari SMPN 1 Turi.

Pada erupsi Merapi 2010, Turi jadi wilayah terdampak. Banyak petani salak alami kerugian karena kebun tertutup abu tebal vulkanik. Begitupun budidaya pertanian lain. Perlahan mereka bangkit dari keterpurukan ekonomi dampak bencana Merapi. Sebagian menemukan potensi wisata di desa yang bisa dikembangkan untuk menarik penyuka tantangan alam.

Air yang melewati sungai Sempor cukup jernih. Dengan panorama antara lain sawah dan kebun di kanan kirinya. Jarak Desa Donokerto ke puncak Merapi sekitar 15 km. Sungai Sempor merupakan salah satu jaringan sungai yang berhulu di Merapi, bergabung dengan sungai Krasak di sebelah atas.

Pada kecelakaan susur sungai oleh siswa SMP 1 itu, ada 10 siswa jadi korban, 23 luka-luka. Kegiatan Pramuka itu tanpa perencanaan matang, dan pembina tak memberitahukan kegiatan ke pihak sekolah, desa, maupun pengelola.

Dari informasi yang dikumpulkan di lapangan, para siswa itu juga tidak dilengkapi peralatan keselamatan saat kegiatan luar ruang, terutama aktivitas di sungai.

 

Menkopolhukm HAM, Mahfud MD, kala menyerahkan bantuan. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Di beberapa bagian sungai tampak landai dengan sempadan yang mudah diakses. Beberapa bagian lain berbatu terjal, mempunyai palung sana sini, dan tebing tinggi di sisi kanan dan kiri.

Saat susur sungai itu, pembina pramuka—belakangan jadi tersangka –Ihsan Yoppy A meminta siswa memulai susur sungai di bawah jembatan Lembah Sempor, berjalan naik ke atas hingga berakhir di dekat SMPN 1 Turi.

Ada tujuh pembina ikut mengawal kegiatan ini, dua lain juga jadi tersangka, yaitu Danang DS dan Riyanto menunggu di garis finish di sekolah.

Sekitar pukul 15.00, para siswa mulai menyusuri sungai mengarah ke hulu. Setengah jam kemudian datang aliran besar dari hulu karena hujan intensitas sedang di bagias atas. Air menerjang sebagian siswa dan menyebabkan kepanikan.

Seluruh korban adalah perempuan yang saat kegiatan mengenakan seragam Pramuka dengan rok panjang. Pakaian ini menyulitkan para korban menghadapi arus deras sungai. Selain itu, usia mereka masih belia, diduga belum menguasai teknik penyelamatan diri di sungai.

 

Abaikan keselamatan?

Kegiatan susur sungai yang tak melewati persiapan disesalkan banyak pihak. Muchlis, yang membantu pencarian korban saat ditemui di lokasi mengatakan, sebenarnya warga sudah memperingatkan banjir bisa datang sewaktu-waktu.

“Saya dengar dari Pusdalops (Pusat Pengendalian Operasi) Yogyakarta sebenarnya sudah banyak yang memperingatkan, tapi masih nekat. Padahal, ada ruas di atas kanan kiri tebing. Mereka seperti terjebak. Turun tidak bisa, naik tidak bisa,” katanya.

Muchlis adalah Wakil Komandan SAR Sukoharjo. Dia bersama-sama sekitar 800 orang, dari 114 organisasi lain mencaridan evakuasi siswa yang hanyut di Sungai Sempor selama tiga hari, mulai Jumat, 21 Februari berakhir Minggu, 23 Februari.

“Kalau aktivitas di sungai orang harus pakai APD, alat pelindung diri. Harus pakai pelampung, helm. Kalau ada tebing, kita pikirkan jalur evakuasi. Misal, pas di tengah terjadi hipotermia, korban segera bisa dievakuasi. Tidak harus dibawa naik atau turun.”

Dia menyayangkan, korban berjatuhan, terlebih para korban adalah siswa yang tengah melakukan kegiatan Pramuka, antara lain bertujuan mengembangkan pengenalan dan kecintaan terhadap lingkungan.

“Membandingkan dengan kejadian kecelakaan di sungai sebelum ini, jatuhnya korban jiwa sampai 10 orang itu banyak. Satu nyawa saja sudah tidak ternilai harga,” katanya lagi. Sebagai relawan SAR, dia kerap dimintai bantuan mengevakuasi dan mencari korban, misal, pada peristiwa gempa di Palu beberapa waktu lalu.

Aji Rachmat, Andalan Kwarda Yogyakarta yang juga membantu evakuasi dan pencarian korban mengatakan, gerakan Pramuka mengambil pelajaran mahal dari peristwa itu.

“Kami memetik pelajaran sangat berharga dari kasus ini. Kejadian yang seharusnya tak terjadi andai mengikuti prosedur pelaksanaan alam terbuka. Ini juga menunjukkan, Gerakan Pramuka perlu pembenahan internal dari sisi penyelenggaraan outdoor activities, peralatan, pendampingan hingga risk managemen,”

Menurut dia, Kwarda Yogayakarga akan memantapkan standar operasional prosedur risk management di tingkat Kwarda, Kwarcab, hingga Gudep yang diturunkan dari SK Kwarnas 2007 tentang manajemen.

“Kami juga evaluasi dan pemantauan kompetensi pembina di Gugus Depan hingga kualitas pembina di lapangan dapat terjaga,” katanya.

Menurut dia, susur sungai salah satu bentuk kegiatan menarik, menantang dan berorientasi kembali ke alam.

“Jadi, susur sungai bisa dilakukan dalam latihan Pramuka, hanya harus disiapkan dengan baik, memperhitungkan medan dan cuaca, pendampingan yang benar dan persiapan peserta yang tepat.”

Karangan bunga di depan SMP 1 Sleman. Foto: NUswantoro/ Mongabay Indonesia

 

 

Belajar dari sungai

Peristiwa susur sungai yang membawa korban tidak seharusnya disikapi dengan menjauhkan siapapun dari sungai. Sebab sungai bagai urat nadi yang menopang kehidupan. Mengirim air dari mata air dan limpasan hujan di hulu di pegunungan hingga hilir dan bertemu laut di muara.

“Sungai sebagai ekosistem harus kita jaga, hormati. Kita uri-uri. Ruang sungai berupa palung, sempadan, hulu, hilir, semua harus dirawat dan dilindungi. Sesuai UU, kewajiban pertama adalah negara yang direpresentasikan oleh pemerintah pusat sampai ke daerah,” kata Totok Pratopo, pegiat Sungai Code di Yogyakarta.

Saat hal itu belum maksimal dilakukan pemerintah, katanya, warga negara baik individu maupun kolektif wajib mengambil peran.

“Ini mengingat pentingnya fungsi ekologi sungai bagi kelangsungan hidup.”

Tindakan kongkrit pada tingkat individual, katanya, jangan membuang sampah sembarangan.

“Kelola sampah dan limbah cair di rumah sendiri, di RT, di RW, di kampung. Hingga ada jaminan air yang mengalir dari rumah, kampung, bebas sampah dan limbah.”

Juga dengan mengelola atau tahan air hujan sebanyak mungkin di rumah atau kampung dengan memperbanyak jugangan, biopori dan sistem pemanfaatan air hujan (SPAH). “Tanam dan pertahankan tanaman yang sudah ada di pinggir sungai.”

Sungai merupakan bagian penting daerah aliran sungai (DAS) dan kota secara integral bagian dari itu. Dengan mengesampingkan kota dari manajemen pengelolaan sungai, katanya, tidaklah mungkin.

“Keseluruhan kawasan, termasuk kota adalah bagian dari DAS. Maka pengelolaan kota juga berpengaruh terhadap kualitas sungai.”

Menurut dia, susur sungai seperti yang dilakukan Pramuka SMPN 1 Turi pada dasarnya bagus dan bermanfaat. Susur sungai bisa rutin, misal, oleh petugas dari Dinas Pekerjaan Umum, Balai Sungai. Tujuannya, mengetahui perubahan-perubahan morfologi sungai.

“Uji kualitas air sungai dengan pengambilan sampel di hulu, tengah dan hilir. Ada atau tidak pencemaran, dan seserius apa pencemaran jika ada. Itu biasa dilakukan.”

Mereka juga memeriksa aset sungai seperti bendung, tanggul, dan bangunan sungai lain. Pada saat sama juga penilaian status lingkungan sungai lewat keragaman hayati, baik flora maupun fauna yang ditemui.

“Petugas juga bisa memeriksa potensi kebencanaan sungai baik berupa banjir, ancaman lahar, maupun longsor.”

Susur sungai, kata Totok, sebenarnya tak selalu harus melewati palung atau badan sungai. Bisa juga melewati sempadan sungai hingga kalau dianggap berbahaya bisa dipilih jalur lain.

Menurut dia, susur sungai perlu mempertimbangkan beberapa hal, seperti tujuan, apakah untuk olah raga, lintas alam atau pengenalan alam, pengukuran morfologi, identifikasi sumber pencemar, identifikasi flora fauna atau sekadar leisure untuk wisata. Semua itu, katanya, akan terkait waktu, jarak tempuh, dan hal lain yang harus disiapkan.

“Jika untuk durasi dan jarak jauh atau lama, mutlak diperlukan pemandu lapangan, pengawas hulu, peta kawasan sungai. Peralatan dasar juga harus disiapkan seperti tali, pelampung, senter, jas hujan, peluit.”

Peserta susur sungai, katanya, juga harus mengenakan pakaian sesuai, yang tidak berpotensi membahayakan diri mereka saat berkegiatan.

Lewat Sekolah Sungai yang dia kelola bersama-sama pegiat lingkungan dan pemerhati sungai, mengenalkan sungai sebagai sebuah ekosistem. Juga, membangun kesadaran pentingnya melestarikan DAS, dan menumbuhkan kelompok masyarakat peduli sungai.

“Para guru dan Pembina Pramuka di tingkat Kwarcab, Kwarda sebaiknya sekolah sungai dulu setelah kejadian ini. Kami sudah dua kali mengadakan khusus untuk guru-guru SD, SMP, SMA di kota Yogyakarta,” katanya.

Dia berharap, persitiwa memilukan di Sungai Sempor tidak menyurutkan sekolah untuk aktif menjaga dan mengenal lingkungan sungai.

“Sekolah Sungai yang kami selenggarakan turun ke sungai untuk durasi dan jarak yang pendek. Lokasi mudah diakses, naik dan turun ke sungai dengan pendampingan,” katanya, sambil menambahkan keselamatan sebagai hal utama dalam kegiatan.

Kecelakaan yang menyebabkan korban jiwa berjatuhan, saat kegiatan Pramuka ini mendapat perhatian sejumlah pejabat pemerintah.

Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan HAM Mahfud MD menyerahkan bantuan kepada keluarga korban yang diterima wakil keluarga. Penyerahan bantuan dilaksanakan di SMPN 1 Turi pada Sabtu, 22 Februari lalu.

Di tempat berbeda, Menteri Sosial Juliari P Batubara juga menyerahkan bantuan kepada keluarga korban, menjenguk korban selamat, dan meninjau tenda Pusdalops yang didirikan tak jauh dari lokasi kejadian.

Gubernur Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono X pada Jumat malam, 21 Februari langsung mendatangi SMPN 1 Turi dan menemui keluarga korban.

Korban jiwa dalam peristiwa naas itu atas nama Nur Azizah, Latifah Zulfa, Sovie Aulia, Arisma Rahmawati, Khoirunnissa Nurcahyani Sukmania, Evieta Putri Larasati, Fanesha Dida Amalia, Nadine Fadila Khasanah. Dua jenazah korban jiwa yang ditemukan Minggu pagi, 23 Februari, atas nama Yasinta Bunga dan Zahra Imelda.

Penemuan dua korban terakhir sekaligus menutup operasi pencarian yang berlangsung selama tiga hari. Sebanyak 239 siswa Kelas 7 dan 8 yang mengikuti kegiatan dinyatakan selamat.

Agus Riyanto, mewakili keluarga Fanesha Dida Amalia, mengatakan, ikhlas menerima musibah yang dialami keponakannya. Jenazah sempat tertukar dengan korban lain.

Vanesa dikenal sebagai sosok pendiam, pandai, dan rajin belajar. Dia selalu mendapat ranking di sekolah sejak sekolah dasar.

“Tidak ada firasat apa-apa. Hanya seminggu sebelum dia meninggal dia mencuci semua boneka koleksinya,” kata Riyanto.

Dia berharap, peristiwa ini menjadi pelajaran bagi siapapun untuk berhati-hati saat melakukan kegiatan di luar ruang, terutama di sungai.

 

 

Exit mobile version