Mongabay.co.id

Dukungan Sosial menjadi Kunci Sukses Kebijakan Konservasi Berbasis Lansekap

 

Tulisan sebelumnya: Meninjau Lebih Dekat Pendekatan Lansekap untuk Kelestarian Gambut dan Hutan Kalbar

Untuk mencegah musnahnya spesies dilindungi yang terancam punah, maka pengelolaan konservasi perlu diarahkan pada pengelolaan di tingkat meta-populasi. Yaitu, mempertemukan konektivitas habitat untuk mempertemukan populasi yang terpisah di dalam ruang dalam lansekap yang sama.

Jika hal ini tidak dilakukan, dikhawatrikan populasi kecil dalam habitat terpisah akan terancam oleh hilangnya hutan, terdegradasinya vegetasi alami, dan penggunaan lahan secara intensif untuk kepentingan pertanian dan aktivitas manusia lain (Fischer and Lindenmayer, 2007).

Ditambah lagi, fragmentasi habitat akan berpotensi atas terjadinya perkawinan kekerabatan di tingkat sub-populasi yang berpotensi melemahkan keturunan spesies secara genetik.

Demikian dijelaskan oleh Muller Schwaner Arut Belantikan (MSA) Landscape Manager WWF-Indonesia, Anas Nasrullah beberapa waktu lalu. Dia berpendapat sudah waktunya konservasi spesies terancam punah didorong dengan pendekatan lansekap (landscape) lahan.

Baca juga:   Desa ini Sukses Panen Jagung Tanpa Bakar Lahan Gambut

“Perlu dibahas dan disepakati bersama diantara para pihak. Pendekatan BMP (Best Management Practises) mutlak dilakukan untuk mendapatkan model konservasi ideal bagi kawasan maupun mahluk hidup,” sebutnya.

Kondisi ini jelasnya, semakin sulit bagi spesies-spesies yang memiliki ukuran tubuh yang besar dan memiliki kebutuhan spesifik pada habitat fitur tertentu. Contohnya pada primata yang sangat tergantung keberadaan pohon-pohon yang berukuran besar.

 

Hutan Lindung Mendawak yang berbatasan dengan areal konsesi PT WSL yang masih terjaga ekosistemnya. Foto: Aseanty Pahlevi/Mongabay Indonesia

 

Dia mengapresiasi pihak-pihak seperti PT Wana Subur Lestari (WSL)  dan PT Mayangkara Tanaman Industri (MTI)  yang telah berinisiatif melakukan upaya konservasi lansekap.

Sebutnya hal ini telah menjadi role model pengelolaan lansekap oleh Pemda. Meski demikian untuk seluruh Kalbar, sejauh ini baru lima korporasi yang bergabung dalam merumuskan manajemen konservasi biodiversitas dan dikaji secara ilmiah.

Inisiatif pengelolaan lansekap di Kalbar sendiri dalam beberapa tahun tahun memang mencuat. Konteks pengelolaannya tidak terbatas administratif, tetapi berupaya untuk mengharmoniskan berbagai kepentingan yang ada.

Di wilayah hutan gambut misalnya, berdasarkan penelitian Balai Litbang dan Inovasi KLHK dalam skala bentang alam seluas 135.164 hektar di Kawasan Hidrologi Gambut Sungai Terentang-Sungai Kapuas, Sungai Kapuas-Sungai Mendawak, dan Sungai Kualan-Sungai Laban, memegang peran penting bagi konservasi dua primata endemik, yaitu bekantan (Nasalis larvatus) dan orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus).

Secara hidrologis wilayah gambut ini juga amat berperan penting. Kedalaman maksimal gambutnya mencapai 13 meter, dan dapat menampung air hingga 2,1 miliar meter kubik. Jumlah ini ekuivalen dengan dua kali volume air di waduk Jati Luhur di Jawa Barat.

Karakteristik ekosistem rawa gambut sendiri sangat unik. Baik tumbuhan maupun satwa yang tinggal di dalamnya, merupakan jenis yang mampu hidup dalam kondisi basah, pH asam, tebalnya bahan organik, serta miskin unsur hara.

Studi keanekaragaman vegetasi di lahan gambut pun sebenarnya telah dilakukan sejak dulu. Tercatat peneliti Belanda, Ijzerman, pernah melakukannya pada tahun 1895. Adapun jenis vegetasi yang dijumpai di lahan gambut diantaranya ramin (Gonystylus bancanus), jelutung rawa (Dyera costulata), punak (Tetramerista glabra), bungur (Lagerstroemia speciosa), dan meranti rawa (Shorea pauciflora).

Sedangkan faunanya yang terdiri atas fauna terestrial dan fauna akuatik. Data WWF (2009) mencatat sebanyak 35 spesies mamalia, 150 spesies burung, dan 34 spesies ikan ditemukan di lahan gambut. Fauna endemik yang dilindungi diantaranya buaya sinyulong, langur, orangutan, bekantan, dan beruang madu.

Untuk mengelolanya lansekap gambut, tentu saja diperlukan peran aktif pemangku kepentingan, dimana Pemda dapat berperan sebagai pusat koordinasi. Payung hukum pun perlu diatur, misalnya membuat peraturan desa terkait konservasi, khususnya desa-desa yang berada di kawasan hutan.

“Status kawasan bisa menyebabkan desa tidak bisa membangun infrastruktur karena memerlukan izin,” jelas Anas. Jika tidak, maka warga bisa dianggap melanggar perundangan yang berlaku.

Dengan demikian, kebijakan tidak saja bagus sebagai konsep, tetapi implementasinya dapat dilakukan di tingkat akar rumput.

 

Desa Kampung Baru, yang berbatasan dengan Hutan Lindung Gambut Mendawak. Foto: Aseanty Pahlevi/Mongabay Indonesia

 

Desa Kampung Baru

Di bulan Januari lalu, Mongabay Indonesia berkunjung ke Desa Kampung Baru, Kabupaten Sanggau. Ia unik, karena letaknya yang berada di lansekap hutan lindung gambut. Keberadaannya menjadi ujian bagaimana pendekatan konservasi dapat berjalan dengan memadukan aspek sosial kemasyarakatan.

Berjarak sekitar dua jam dari Kecamatan Tayan, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Kampung Baru berada di pinggir sungai Dawak. Hingga tahun 2013 warga masih mengandalkan transportasi air, sebelum akhirnya sebuah perusahaan tambang membuka jalan darat.

Desa ini terbentuk sekitar tahun 1970-an saat komoditi kayu berjaya di Kalbar. Ada tiga etnis yang dominan, Tionghoa, Dayak, dan Jawa. Desa Kampung Baru terdiri dari empat dusun, dua diantaranya, Dusun Tanjung Jangan dan Dusun Kelapuk, masuk areal konsesi perusahaan.

Masa itu, di sekitar desa dan banyak desa lainnya banyak terdapat perusahaan penggergajian kayu. Saat itu, warga kebanyakan bekerja menjadi buruh tebang kayu di hutan untuk lalu dijual di sawmill. Kejayaan kayu berakhir, setelah pemerintah melakukan operasi penertiban penebangan liar beberapa tahun yang lalu.

Kepala Desa Kampung Baru Agustinus Aleng mengaku, bukan orang asli setempat. Dia pindah ke daerah itu sekitar tahun 1980-an. Saat itu dia bekerja sebagai pekerja kayu.

Saat ini warga desa mayoritas bekerja sebagai petani padi, sayur dan palawija, nelayan sungai, dan sebagian membuka kebun sawit dan karet mandiri. Beberapa orang bekerja di perusahaan tambang dan perusahaan perkebunan yang tak jauh dari desa.

 

Penanda habitat bekantan di area High Conservation Value (Nilai Konservasi Tinggi) di area konsesi PT WSL. Pendekatan lansekap lahan gambut memerlukan komitmen penuh para pihak. Foto: Aseanty Pahlevi/Mongabay Indonesia

 

Aleng sendiri berinvestasi pada rumah walet. “Modalnya paling tidak Rp100 juta lah,” ungkapnya. Selain usaha walet, dia punya beberapa petak sawah yang digarap orang upahan. Dia pun membuka jasa taksi ke Pontianak serta perahu bermotor.

Programnya sebagai kepala desa pun masih berhubungan dengan infrastruktur, yaitu membuat jalan usaha tani. Dia juga sedang mengusahakan agar listrik masuk ke kampung. “Saat ini semua pakai genset, itu pun hidup dari jam 5-9 malam saja.”

Terkait dengan letak wilayah desanya yang berada di wilayah gambut, Aleng tak menampik jika kemiskinan menjadi sebab eksploitasi oleh warga masyarakat. “Disparitas ekonomi warga antara yang mampu dan masih miskin masih tinggi. Ada satu dua yang mampu, tetapi lebih banyak yang masih tergantung pada hasil hutan.”

Aleng berharap program kemitraan yang dijanjikan perusahaan bisa berjalan baik. Dia meminta proram Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat buat desanya bisa segera terealisasi. Termasuk diatur masalah legal tentang hak kepemilikan lahan oleh warga.

“[Karena masuk areal konsesi] warga kami tidak bisa punya sertifikat tanah. Mau cetak sawah pun jadi susah,” ujarnya. Aleng bilang pihaknya pernah mengajukan pelepasan area permukiman dari dalam konsesi, yang baru diluluskan katanya sudah 33 hektar.

Dia mengakui bahwa masyarakat masih menebang kayu. “Tapi sekarang tidak lagi untuk komersil, untuk bangun rumah saja.”

Di sisi lain, pemegang konsesi berupaya untuk melakukan program pemberdayaan masyarakat dan menjadikan masyarakat sebagai mitra kerja.

Seperti yang dikemukan oleh Tsuyoshi Kato, President Director PT WSL, saat dijumpai Mongabay Indonesia beberapa waktu lalu. Pihak perusahaan jelas Kato berkomitmen untuk melakukan upaya pemberdayaan masyarakat.

Dia menyebut goal program kemitraan masyarakat adalah memberdayakan dan mengubah pola pikir masyarakat yang selama ini masih lekat mengandalkan kayu. “Masih ada yang berpikir kayu sebagai komoditas instant, saat itu ditebang, langsung dapat uang,” jelasnya

Untuk itu pihaknya sedang melakukan riset pemanfaatan sumberdaya ekonomi yang dapat dikembangkan oleh masyarakat. Sebutnya, pihak perusahaan sedang mendata sisa sekam padi di kampung yang bisa dijadikan media tanam bibit tanaman HTI.

Rangkaian pelatihan budidaya ikan tawar dan produksi hasil hutan non kayu dan pertanian pun sedang digagas oleh perusahaan. Hasilnya jika telah berproduksi, nanti dapat dibeli oleh pihak perusahaan.

Berkaca dari Kampung Baru, maka masyarakat yang berada di dalam wilayah lansekap konservasi gambut harus dilibatkan sebagai subyek sosial.

Selama masyarakat bisa diyakinkan untuk berubah, menjadi sejahtera, dan mereka menjadi bagian dari solusi persoalan, maka tujuan konservasi pun akan dapat dicapai.

 

 

Exit mobile version