Tahun 2020, dibuka dengan berbagai kejadian bencana alam, terutama banjir yang melanda di beberapa wilayah di Indonesia. Kejadian banjir berturut turut yang melanda Jakarta dan sekitarnya pada bulan Januari dan Februari 2020 ini merupakan akibat dari curah hujan ekstrem yang jarang terjadi.
Pada awal musim penghujan tahun ini, BMKG mencatat cuaca ekstrem terjadi di wilayah Indonesia. Misalnya curah hujan 377 mm/hari di Halim Perdana Kusuma, Jakarta Timur, pada Rabu, 1 Januari 2020, merupakan rekor baru curah hujan tertinggi sepanjang adanya pengukuran dan pencatatan curah hujan di Jakarta dan sekitarnya sejak pengukuran pertama kali dilakukan tahun 1866 pada zaman kolonial Belanda.
baca : BMKG : Curah Hujan Paling Ekstrem Dalam Sejarah Jadi Pemicu Banjir Jakarta

Disaat Indonesia mengalami curah hujan ekstrem, di belahan bumi lainnya seperti di Australia, Spanyol dan California, beberapa tahun terakhir justru terjadi kemarau panjang yang mengakibatkan kebakaran hutan yang terparah yang pernah ada.
Badan meteorologi dunia (WMO) mencatat meningkatnya suhu rata-rata tertinggi sepanjang sejarah yang terjadi selama tahun 2017 dan 2018. Seiring dengan meningkatnya pemanasan global akibat emisi gas rumah kaca, para ilmuwan meyakini bahwa cuaca ekstrem seperti kemarau panjang hingga hujan deras akan semakin sering terjadi.
Cuaca ekstrem atau peristiwa iklim ekstrem adalah cuaca yang tidak terduga, parah, atau di luar kebiasaan musim di suatu lokasi. Berganti-gantinya cuaca dari ekstim kering dan kembali ke ekstrem basah merupakan fenomena yang dinamakan climate whiplash.
Di Amerika utara, Daniel Swain peneliti di University of California Los Angeles (UCLA) memperkirakan, climate whiplash akan meningkat 25% pada akhir abad ini. Di Eropa penampang lingkaran pohon menunjukan kenaikan variabilitas iklim yang signifikan dalam 60 tahun terakhir.
Sedangkan di daerah tropis, kejadian badai tropis dan angin puting beliung juga meningkat intensitasnya. Perusahaan asuransi Munich-Re memperkirakan bahwa bencana alam telah menyebabkan kerugian lebih dari 90 miliar USD di seluruh dunia pada tahun 2015. Kehilangan nyawa manusia, warisan budaya dan keanekaragaman hayati juga meningkat namun tidak dapat dinilai dengan uang.
baca juga : BMKG: Perubahan Iklim Picu Cuaca Ekstrem

Ekosistem di Indonesia lebih rentan terhadap variabilitas iklim karena tidak terbiasa dengan perubahan suhu udara yang besar. Selama ini suhu udara maksimum dan minimum di Indonesia hanya berbeda 10 derajat celcius. Curah hujan tahunan di Indonesia secara historis relatif tinggi dibanding wilayah bumi yang lain membuat kita lebih rentan terhadap kemarau panjang.
Tahun 2015 terjadi kemarau panjang di Indonesia, yang mengakibatkan kebakaran hutan dan lahan terbesar selama ini. Kebakaran hutan ini melepaskan karbon dioksida yang akan menambah lagi efek gas rumah kaca.
Sebelum tahun 2020 ini di tahun 2002, 2007 dan 2013, Jakarta juga mencatat kejadian banjir besar yang memakan banyak korban. Jika tidak tidak diantisipasi dampak climate whiplash akan semakin meluas ke berbagai sektor kehidupan.
perlu dibaca : Penelitian: Indonesia, Negeri Paling Awal di Dunia Akan Alami Dampak Ekstrem Perubahan Iklim
Dampak dari climate whiplash ini di Indonesia antara lain adalah :
- Berkurangnya produktifitas pertanian dan peternakan karena bergesernya awal musim hujan dan kemarau, banjir yang merusak panen, atau suhu udara yang tinggi. Climate whiplash dapat juga memicu munculnya hama tanaman. Seperti yang terjadi di Afrika yang sekarang sedang dilanda serangan berjuta-juta belalang yang menghabiskan tanaman pangan.
- Berkurangnya produksi perikanan karena cuaca ekstrim membuat berkurangnya jumlah hari melaut, kenaikan suhu membuat berpindahnya ruaya ikan, coral bleaching dan berkurangnya populasi ikan tertentu.
- Meningkatkan biaya untuk mendapatkan air bersih. Ketika kemarau panjang sumber air bersih semakin jauh dari pemukiman dan kualitas air menurun karena pupuk dan pestisida. Akibatnya angka kemiskinan dapat bertambah.
- Meningkatnya risiko penyakit menular seperti DBD dan Malaria akibat betambahnya populasi dan sebaran nyamuk. Penyakit menular juga dapat meningkat ketika ada banjir.
- Meningkatkan risiko kebakaran hutan, dengan adanya climate whiplash ini curah hujan yang tinggi akan membantu tumbuhnya rumput dan semak-semak yang ketika musim kemarau akan menjadi kering dan rawan terbakar.
- Meningkatnya intensitas banjir dan longsor. Dampak turunan dari banjir yang semakin ekstrim ini adalah meningkatnya premi asuransi bencana, meningkatnya jumlah keluarga miskin di daerah langganan banjir, kerusakan jalan dan jembatan, berkurangnya minat investor untuk menanamkan modal.
baca juga : Perubahan Iklim Ternyata Berdampak pada Kedaulatan Pangan

Dari semua dampak itu, sudah saatnya kita mulai berbenah dan bersiap. Misalnya dalam pembangunan infrastruktur. Konsekuensi dari climate whiplash adalah berubahnya asumsi dasar untuk perhitungan rancang bangun prasarana seperti drainase, irigasi, jalan, dan jembatan. Banjir periode ulang 10 tahunan hingga 20 tahunan akan semakin tinggi. Salah satu akibatnya studi kelayakan dari proposal Giant Sea Wall di pantai utara Jakarta patut dipertanyakan lagi.
Konsekuensi lain adalah perlunya dikaji ulang rencana tata ruang wilayah berdasarkan risiko baru yang muncul. Area yang dulunya masih dianggap aman untuk permukiman harus dikaji ulang. Perlu adanya upaya untuk melakukan pemantauan dampak perubahan dan variabilitas iklim pada daerah-daerah yang kerentananya tinggi.
Pemerintah pusat dan daerah tidak cukup jika melakukan mitigasi bencana banjir dan kekeringan secara biasa (business as usual) diperlukan terobosan inovatif yang dapat menjawab tantangan baru climate whiplash ini. Diperlukan strategi ketangguhan terhadap iklim yang mecakup berbagai sektor terdampak dan melibatkan para ilmuwan, pihak swasta dan lembaga non pemerintah. Diperlukan pula fasilitas pendanaan adaptasi perubahan iklim yang tepat guna dan responsif.
***
Keterangan foto utama : Warga menonton luapan air di Bendung Katulampa, Bogor pada Rabu (1/1/2020) sore. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia
***
*Raphael Anindito, konsultan independen ketahanan iklim. Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis.