Mongabay.co.id

Ahli Nuklir Bicara Limbah Radioaktif di Perumahan Batan

LOkasi temuan radioaktif. Foto: Barita

 

 

 

Pertengahan Februari lalu, Serpong, Tangerang Selatan, Banten, heboh karena temuan radioaktif. Ada limbah Celium 137 di lahan kosong Perumahan Batan Indah, Serpong. Selang beberapa hari, tepatnya, Senin (24/2/20), polisi dan Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten), menyegel satu rumah di komplek itu yang ternyata berisi berbagai bahan radioaktif termasuk Celium 137. Pemilik rumah, inisial Su, merupakan pegawai Batan.

Batan pun hingga kini masih terus membersihkan titik-titik yang masih terpapar zat radioaktif.

Clean up tinggal membersihkan di beberapa titik yang masih dianggap paparannya melebihi di atas ambang batas,” kata Heru Umbara, Kepala Biro Hukum, Humas, dan Kerja Sama Batan, kepada kala rapat lintas sektoral di Puspemkot Tangsel, seperti dikutip dari situs tangerang7.com, Kamis (5/3/20).

Baca juga: Misteri Limbah Radioaktif di Komplek Perumahan Batan Indah

Pada hari keenambelas hari pekerjaan clean up di area terdampak radiasi zat radioaktif fokus pada pengerukan di beberapa titik.Di mana, hasil coring masih menunjukkan paparan di atas ambang batas.

Kalangan akademisi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) pun menyikapi temuan limbah radioaktif ini.

Agus Budhie Wijatna, kepada Mongabay, dosen Fakultas Teknik jurusan Teknik Nuklir dan Teknik Fisika UGM ini mengatakan, Cesium kemungkinan ada di tiga tempat. Pertama, di teras reaktor. Kedua, industri atau medik. Ketiga, di alam karena ledakan senjata nuklir.

Baca juga: Kasus Radioaktif di Perumahan Batan Indah Cermin Pengawasan Lemah

Kalau dari reaktor biasa pelepasan selalu disertai Cesium 134 dan Strontium 90. Ketika reaktor bocor, bisa teridentifikasi.

Bersama koleganya, Februari lalu dia mengadakan pertemuan dengan sejumlah awak media guna merespon paparan radioaktif di Serpong ini.

Temuan limbah hanya Cesium 137, berarti bukan dari reaktor nuklir. “Dari industri atau medik. Ini akan jadi tanggung jawab keamanan.”

 

Tim sedang pembersihan limbah radioaktif. Foto: Barita News Lumbanbatu/ Mongabay Indonesia

 

Lain hal kalau sumber radiasi itu dari reaktor, maka tanggung jawab utama itu di Bapeten. Ada prosedur keselamatan sangat ketat terkait nuklir. Bapeten bertugas mengawasi prosedur ini.

Soal asal bahan, Bapeten punya data keberadaan sumber radioaktif impor. Importir harus mendapatkan izin dari Bapeten. Badan ini juga berwenang memeriksa apakah importir punya fasilitas pendukung atau tidak.

Saat tak lagi digunakan dan berwujud limbah nuklir, katanya, akan titip ke Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (PTLR). PTLR di bawah Batan adalah unit kerja yang berwenang mengelola limbah nuklir.

“Ketika sudah tidak digunakan maka status adalah limbah. Kalau sebagai limbah, harus dititipkan ke PTLR.”

 

Khawatir penyimpanan limbah radioaktif

Kalau limbah radioaktif seperti dari rumah sakit atau industri, dan lain-lain, katanya, harus tersimpan aman. Yang punya fasilitas penyimpanan limbah nuklir itu Batan. “Persoalannya, ketika industri atau rumah sakit menitipkan di sana, harus bayar juga,” kata Agus.

Kondisi ini, mengundang kekhawatiran limbah nuklir tidak tertangani sebagaimana mestinya.

Temuan Cesium 137 di area publik menimbulkan sejumlah pertanyaan terkait keselamatan dan keamanan nuklir di Indonesia, dampak bagi lingkungan, serta asal usul bahan radioaktif itu.

Bapeten di akhir Januari lalu dengan alat yang baru dimiliki memeriksa wilayah Pamulang, Perumahan Dinas Puspitek, Kampus ITI, Perumahan Batan Indah, dan Stasiun Kereta Api Serpong. Meski di sekitar Serpong yang ada reaktor nuklir kecil tidak ada radiasi, justru saat alat melewati perumahan berjarak tiga kilometer dari reaktor menunjukan radiasi tinggi.

Terkait bahan radioaktif yang ditemukan, Bapeten sudah melakukan sejumlah langkah. Cesium diketahui akan mencair pada suhu lingkungan yaitu 28 derajat celsius, dan larut dalam air.

Selain pemeriksaan kesehatan warga yang potensial terkena radiasi, Bapeten bersama Batan, juga membersihkan dengan mengeruk tanah yang terkontaminasi dan memasukkan ke dalam kontainer khusus. Sejumlah pohon yang terkontaminasi juga ditebang. Bapeten dibantu instansi terkait seperti Detasemen Kimia, Biologi, Radioaktif (KBR) Brimob.

 

Pintu masuk komplek. Sekitar 200 meter masuk komplek itulah tempat limbah radioaktif ditemukan. Foto:Barita News Lumbanbatu/ Mongabay Indonesia

 

Haryono Budi Santoso, pakar nuklir UGM, menerangkan, dalam dunia nuklir dikenal istilah material nuklir khusus atau special nuclear material (SNM) untuk persenjataan. Di luar itu disebut sumber radioaktif. Meski demikian, kejadian di Perumahan Batan Indah di Serpong dengan radiasi kecil tetap terpantau secara internasional.

“Sejak 911 kekhawatiran dunia tentang nuklir tidak lagi di safety tapi di security. Penyalahgunaan sumber radiasi, karena berpotensi menciptakan chaos public, misal, ditempatkan di sembarang lokasi. Sifatnya ini sabotase,” katanya.

Untuk itu, perlu mendesak Bapeten untuk mengungkap kejadian itu sengaja atau tidak. Kalau sengaja, berlandaskan motif ekonomi atau sabotase.

International Atomic Energy Agency (IAEA) punya data base, yang memasukkan laporan-laporan peristiwa pencurian. “Itu ada dalam internasional data base. Semua peristiwa nuklir itu dipantau.”

Untuk itu, katanya, kalau yang melakukan dan alasan pembuangan sumber radioaktif tak terungkap maka reputasi Bapeten dipertaruhkan. Lebih jauh, katanya, berdampak ke tantangan eksistensi nuklir Indonesia makin berat.

“Kita kuatkan Batan dan Bapeten agar kinerja menjadi bagus. Jangan dimatikan. Karena kalau dimatikan sama saja kita bunuh diri. Perluas transparansi, tingkatkan komunikasi publik,” katanya. Dia memuji Bapeten cepat melakukan tindakan yang diperlukan.

Secara teoritis, katanya, kontaminasi radioaktif karena ketidak sengajaan atau kesengajaan, yang terkait aspek keselamatan (safety) dan keamanan (security). Ketidaksengajaan, berarti ada kegagalan teknologi, bencana alam atau human error. Kalau peristiwa Serpong, jelas bukan bencana alam, bukan pula kegagalan teknologi.

“Kalau perspektif kesengajaan, biasa ada dua. Pertama, sabotase, kedua pencurian. Sabotase pasti ada motifnya. Kalau pencurian, paling besar alasan ekonomi. Kasus (pencurian) ini tidak hanya terjadi di satu tempat saja, itu sudah berulang kali terjadi.”

Dia mencontohkan, salah satu kasus pencurian di Brazil. Sebuah barang berukuran besar dari logam dicuri lalu digergaji karena alasan ekonomi. Padahal, di dalamnya ada Cobalt, sumber radioaktif. Akhirnya, radiasi menyebar ke satu kota tanpa sengaja.

 

 

 

Batas aman

Dalam dunia nuklir ada ketetapan batas aman untuk publik, yaitu, seberapa batas aman seseorang terkena radiasi. Besarnya di angka satu milisivert (mSv) per tahun. Batas aman ini dibedakan untuk pekerja yang berhubungan dengan nuklir atau sumber radiasi sebesar 5-20 mSv per tahun.

Andang Widi Harto, Ketua Program Studi S1 Teknik Nuklir UGM menjelaskan, angka ini merupakan akumulasi radiasi yang diterima seseorang dalam jangka waktu setahun dan bukan sekali papar.

“Sederhananya, berapapun publik terkena radiasi asal setelah dihitung selama satu tahun kalau kurang dari satu mSv maka tidak ada masalah atau tidak berbahaya.”

Untuk pekerja nuklir, katanya, angka yang diizinkan lebih besar lagi. “Artinya, pada dosis itu sebetulnya juga tak terjadi bahaya terhadap kesehatan. Karena publik harus dilindungi lalu batas diperkecil, agar ada kepastian publik tidak menerima paparan.”

Agus mengatakan, seseorang yang difoto rontgen akan menerima paparan radiasi 0,1 mSv sekali foto. Kalau memakai computerized tomography (CT) Scan sekali foto besaran paparan radiasi mencapai 10 mSv.

“Bandingkan dengan batas dosis administratif yang hanya satu mSv. Ini kehati-hatian dari para pengguna teknologi nuklir agar setiap langkah yang diambil ada kepastian aman. Batas administrasi adalah batas pengaturan penggunaan, kalaupun ini dilampaui belum melampaui batas biologisnya.”

Namun, katanya, tak ada teknologi tanpa risiko. Untuk itu, katanya, harus ada kepastian apakah teknologi lebih besar manfaat atau sebaliknya.

“Di dalam praktikum itu kami sudah biasa gunakan Cesium 137. Pak Haryono ini adalah mahasiswa angkatan 81, beliau selama satu semester 14 kali harus bersentuhan dengan Cesium 137, dan tetap sehat dan bahagia sampai sekarang. Saya sendiri mahasiswa angkatan 79,” katanya.

Begitupun dengan mahasiswa nuklir lain yang melakukan praktikum dan menggunakan bahan radioaktif Cesium 137. Mereka juga melakukan hal yang sama yang dipakai oleh industri untuk mengukur ketebalan bahan, level permukaan, mendeteksi kebocoran pipa. Agus pun menghitung, dalam praktikum itu mahasiswa hanya terpapar 0,0289 mSv per jam.

Ester Wijayanti, dosen lain pengajar nuklir lain menjelaskan, dampak radiasi juga bisa dikendalikan dengan cara melokalisir sumber. Jadi, apa yang dilakukan Bapeten dengan melokalisir kawasan terdampak sudah benar.

“Ada daerah dilokalisir, tidak ada orang bisa masuk. Kemudian warga yang tinggal di Perumahan Batan bisa melakukan aktivitas seperti biasa. Tidak merasakan apa-apa karena memang jarak jauh dari sumber itu. Itu salah satu cara kita memproteksi diri.”

Alexander Agung, Kepala Laboratorium Teknologi Energi Nuklir UGM menerangkan, jarak juga jadi faktor penentu besar kecil paparan radiasi.

“Bahan radioaktif akan memancarkan radiasi gamma. Dosis yang diterima berkurang berbanding terbalik dengan jarak. Katakanlah dosis satu mSv. Kalau saya mundur 10 meter, dosis jadi 1/100-nya jadi 0,01 mSv. Artinya, kalau sumber itu sudah dilokalisir, dan orang-orang itu berada di luar jangkauan pancaran radiasi, bisa dipastikan dosis yang diterima masyarakat jauh lebih rendah,” katanya.

Para pakar sepakat, paparan tinggi di lokasi yang tidak semestinya itu seharusnya tak terjadi. Dalam pengelolaan nuklir, katanya, penting transparansi hingga publik terlindungi.

 

 

Keterangan foto utama: Titik temuan limbah radioaktif Celium 137 di dalam Komplek Perumahan Batan Indah. Foto: Barita News Lumbanbatu/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version