Mongabay.co.id

Nasib Orangutan Tapanuli dengan Kehadiran Proyek PLTA Batang Toru

Bayi orangutan tapanuli yang terpantau di ekosistem Batang Toru, Sumatera Utara. Foto: YEL-SOCP/Andayani Ginting

 

 

 

 

Pemerintah Indonesia, beberapa tahun lalu mengumumkan kalau di ekosistem Batang Toru ada satu spesies baru jenis kera besar diberi nama orangutan Tapanuli (Pongo tapanuliensis). Spesies ini bukan orangutan Sumatera atau orangutan Kalimantan, ia hanya ada di hutan Batang Toru, dengan populasi berkisar 800 individu.

Keberlangsungan hidup satwa ini terancam kala rumah mereka menjadi sasaran berbagai keperluan, dari tambang emas, perkebunan sawit, sampai proyek pembangunan pembangkit listrik air, PLTA Batang Toru, yang dikerjakan PT. North Sumatera Hydro Energy (NSHE).

Baca juga: Para Ilmuan Dunia Kirim Surat ke Jokowi Khawatir Pembangunan PLTA Batang Toru

PanEco, sebuah lembaga internasional yang melakukan penelitian dan penyelamatan ekosistem Batang Toru, termasuk penyelamatan orangutan Tapanuli, menyatakan, akan terjadi kepunahan orangutan Tapanuli, kalau perusahaan NSHE tak mitigasi serius untuk menyelamatkan kera besar jenis baru ini dari ancaman kepunahan.

Data dari Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Orangutan Pemerintah Indonesia 2019-2029 menyebutkan, perubahan habitat yang terus terjadi di seluruh ekosistem Batang Toru, akan membuat populasi orangutan Tapanuli berkurang sebesar 1,25%-2,25% dalam kurun 10 tahun ke depan. Kondisi ini berakibat orangutan Tapanuli berkurang sekitar 11-20 pada periode sama.

Lantas apa langkah cepat harus dilaksanakan untuk penyelamatan orangutan Tapanuli ini dari ancaman kepunahan? Bagaimana tanggung jawab perusahaan seperti NSHE?

Ian Singleton, Conservation Director PanEco Foundation, saat temu media usai workshop dengan topik Conservation Initiatives for the Tapanuli Orangutan di Medan, Februari lalu mengatakan, kalau melihat izin kepada NSHE, seluas 1.800 hektar, laporan terbaru yang mereka terima, wilayah terbuka sekitar 370 hektar, yang akan rusak permanen sekitar 86 hektar. Seluas 86 hektar rusak permanen itu, merupakan habitat orangutan Tapanuli.

Menurut dia, sebagian besar kawasan hancur di luar kerusakan permanen, dianggap masih dapat direstorasi kembali.

Baca juga: Walhi Gugat Gubernur Sumut soal Izin Lingkungan PLTA Batang Toru

Kalau ini terjadi dan NSHE mampu mengimplementasikan semua kegiatan mitigasi sesuai rencana, katanya, masih ada harapan bagi orangutan Tapanuli hidup dan berkembang biak di sana.

Terpenting, katanya, pengerjaan proyek dan pembukaan kawasan dengan meminimalisir polusi suara karena dapat menganggu orangutan di seberang jalan maupun seberang Sungai Batang Toru.

Vegetasi kiri-kanan jalan di habitat orangutan Tapanuli, harus terjamin tetap ada. Kemudian orangutan bisa menyeberang dari area proyek ke kawasan hutan yang berbatasan sungai.

Kemudian, desain sutet sistem transmisi PLN juga kondusif untuk orangutan hingga bisa lewat di bawahnya.

“Saya selalu lebih konsen apa yang terjadi dan akan terjadi di luar pengerjaan proyek, khusus bagi keberlangsungan hidup orangutan Tapanuli,” kata Singleton.

 

Paya, orangutan Tapanuli lepas liar ke habitat di ekosistem Batang Toru, Senin (9/12/19), setelah sembuh dari luka-luka diduga kena senjata tajam. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Hal penting harus jadi perhatian, katanya, populasi orangutan yang seberang sungai atau seberang izin NSHE, berada di Cagar Alam Dolok Sibual-buali dan kawasan hutan. Ada sekitar 40 orangutan di sana. Kalau mereka tak ada kontak genetik, katanya, bakal tak bisa berkembangbiak dengan orangutan Tapanuli di blok barat Batang Toru yang punya populasi sekitar 500 individu. Kalau itu terjadi, Singleton bilang, bisa menyebabkan kepunahan jangka panjang karena in breeding.

Untuk itu, katanya, proyek ini penting sekali membuat koridor ke seberang sungai. Kalau NSHE menjalankan mitigasi ini, Singleton berasumsi, orangutan dalam proyek masih bisa melintas ke seberang sungai.

Baca juga: Jangan Ada Lagi, Izin Perusahaan yang Mengancam Habitat Orangutan Tapanuli

Dalam pembuatan koridor pun, katanya, harus seperti kondisi alami. Kalau dirancang tak sesuai, kata Singleton, bisa membuat orangutan enggan menyeberang dan bisa berdampak buruk.

“Saya menantang NSHE, agar semua wilayah yang dibuka harus direstorasi dan dikembalikan seperti kondisi semula. Ini penting untuk menjaga populasi dan ancaman kepunahan orangutan Tapanuli di sana,” katanya.

Kalau nanti koridor dibuat sebaik apapun, namun di luar kawasan hutan berubah jadi sawit atau lahan kosong, katanya, orangutan tak akan bisa menyebrang ke Cagar Alam Dolok Sibual-buali.

Dia menegaskan, harus menjaga koridor keseluruhan, bukan hanya satu koridor. Wilayah jelajah satu betina orangutan Tapanuli, katanya, bisa sampai 1.500 hektar. Areal NSHE ada wilayah tak terganggu, tetapi untuk sumber makanan, dipastikan 5-10 tahun ke depan tak ada. Orangutan, katanya, tak akan mati kalau ada rehabilitasi lahan.

Baca juga: Proyek PLTA di Hutan Batang Toru Dibangun untuk Kepentingan Siapa?

Singleton mengatakan, target mereka memastikan orangutan Tapanuli tak punah.“Saya sudah bekerja dengan orangutan selama 31 tahun. Saya bicara di sini bukan untuk NSHE atau PanEco atau untuk siapapun, tapi murni untuk orangutan karena mereka tidak punya suara sendiri. Kalau saya nggak bicara buat mereka untuk apa saya bekerja selama 30 tahun dengan orangutan,” kata Singleton.

PanEco sejak 2004 konsen untuk populasi orangutan Tapanuli, lewat kerjasama dengan pemerintah daerah di ekosistem Batang Toru, yaitu, Kabupaten Tapanuli Selatan Tapanuli Tengah dan Tapanuli Utara.

Selama berada dalam ekosistem Batang Toru, katanya, mereka banyak melakukan berbagai kegiatan penyelamatan habitat orangutan Tapanuli, antara lain, berhasil mengusulkan 80.000 hektar hutan produksi jadi hutan lindung.

Saat ini, katanya, sebagian besar kawasan yang dibuka tempat pembuangan limbah. Selama pengeboran dan tempat pembuangan limbah belum selesai, katanya, belum bisa restorasi. Kalau 18 bulan lagi selesai, katanya, restorasi bisa segera jalan.

“Sejauh ini kerjasama dengan NSHE adalah distribusi survei lapangan. Selain itu memberikan arahan mengenai biodiversity di sana,” kata Singleton.

Emmy Hafild, Senior Advisor NSHE mengatakan, kerterancaman orangutan Tapanuli tentu jadi perhatian mereka.

Dia bilang, ada dua hal NSHE lakukan untuk orangutan Tapanuli. Pertama, adalah obligasi, berarti tanggung jawab konservasi orangutan di area kerja NSHE.

“Nah, itu kami lakukan bersama dengan Unas (Universitas Nasional-red) dan PanEco yang memberikan keahlian mereka kepada kami,” katanya.

 

Ian Singleton, dalam satu kampanye penyelamatan orangutan Tapanuli di Medan. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Kedua, di luar wilayah NSHE, mereka memberikan kontribusi dengan sukarela karena peduli. Dia sebutkan, membuat koridor akan ikut berkontribusi tetapi bukan tanggung jawab. Jadi, katanya, mereka harus mengajak orang lain untuk ikut juga mendukung pembangunan koridor ini.

“Pendidikan masyarakat itu juga kontribusi. Masyarakat yang berbatasan dengan wilayah proyek NSHE itu jadi tanggung jawab kamj. Kalau di luar, itu namanya kontribusi Jadi kami kontribusi,” katanya.

Saat ditanya apa yang sudah dilakukan perusahaan untuk penyelamatan orangutan Tapanuli, katanya, sudah identifikasi habitat orangutan itu ada di mana saja. Kemudian ada berapa banyak kawasan terdampak, baik permanen dan semi permanen.

Yang permanen, katanya, dengan mencari area pengganti, untuk yang restorasi supaya dibuat mirip habitat alami orangutan.

Dia bilang, perusahaan terus mempelajari sifat-sifat dari orangutan Tapanuli ini. “Sekarang ada enam individu kita ikutin. Kita pelajari semua,” katanya.

Emmy bilang, masyarakat Tapanuli Selatan sudah lama hidup bersama orangutan. Belakangan, banyak orangutan datang ke kebun memakan buah-buahan. Masyarakat tidak membunuh atau memburu atau memakan orangutan.

Untuk PLTA Batang Toru, pembangunan konstruksi dan akses panel sudah selesai. Pembersihan lahan semua sudah selesai.

Dalam bentang ekosistem Batang Toru sendiri, ada banyak perusahaan, yang juga terlibat dalam kerusakan kawasan.

Selain NSHE, ada pertambangan emas, pabrik pulp, perkebunan sawit dan lain-lain.

“Kami sudah mengundang perusahaan-perusahaan itu untuk melakukan hal sama seperti kami lakukan, yaitu meminimalisir kerusakan ekosistem Batang Toru dan dampak terhadap orangutan Tapanuli, termasuk habitatnya.”

 


Jalan terus

Ketika ditanya soal akan ada evaluasi terhadap proyek PLTA dari International Union for Conservation of Nature (IUCN) dan sejumlah kalangan, Emmy bilang, tak peduli pada siapapun yang ingin proyek ini batal. Menurut dia, yang bisa memerintahkan NSHE berhenti hanya pemerintah, kalau tidak mereka akan jalan terus.

“Kita sudah undang IUCN untuk membahas soal proyek ini, dan nasib orangutan Tapanuli ke depan. Tetapi tidak hadir karena kita dianggap tidak mengikuti saran mereka. Kami tidak peduli. Mereka meminta kita berhenti dulu kemudian mereka datang, nggak bisa gitu, kita nggak mau!” kata Emmy, seraya bilang, yang mereka peduli adalah memiliki data ilmiah mengenai orangutan Tapanuli.

Mengapa NSHE menggandeng FanEco? Emmy bilang, mereka yang sudah memahami dan penelitian bertahun-tahun di ekosistem Batang Toru. Perusahaan sendiri, katanya, tidak memiliki keahlian itu.

 

***

Orangutan Tapanuli, spesies kera besar baru setelah orangutan Sumatera dan Kalimantan, hanya ada di ekosistem Batang Toru, terletak di tiga kabupaten, yakni Tapanuli Selatan, Tapanuli Utara dan Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.

Kondisi satwa ini terus terjepit karena habitat tergerus, gara-gara antara lain, deforestasi, alih fungsi lahan jadi perkebunan sawit, pertambangan, hingga proyek listrik pembangkit listrik air.

Konflik manusia dan orangutan Tapanuli pun mulai muncul, antara lain berujung pada upaya pembunuhan, seperti kasus Paya. Paya, adalah orangutan yang berhasil diselamatkan dengan wajah penuh luka dari benda tajam dan bekas peluru senapan. Beruntung Paya selamat setelah mendapatkan perawatan Pusat Karantina Orangutan di Desa Batumbelin, Sibolangit. Beberapa pekan lalu, Paya pulang ke ekosistem Batang Toru.

Data Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam (BBKSDA) Sumut, 13 Januari 2020, satu oangutan Tapanuli terlihat di pinggir jalan lintas Sibolga, Desa Dolok Nauli, Kecamatan Adiankoting.

Pada 15 Januari 2020, evakuasi dengan cara menembakkan obat bius. Dari pemeriksaan kesehatan orangutan oleh dokter hewan Tengku Jeni Adawiyah, diketahui orangutan itu yang pernah evakuasi pada 13 November 2019 di hutan lindung Adiankoting.

Orangutan diperkirakan kalah bersaing mencari pakan, hingga masuk ke kawasan penduduk. Orangutan itu dalam keadaan sehat, berjenis kelamin jantan, berat 60 kg diperkirakan berumur 24 tahun.

Data Walhi Sumut, rumah orangutan Tapanuli sudah ratusan hektar hancur untuk proyek NSHE. “Saya pernah bilang, orangutan Tapanuli itu tidak mengetahui mana hutan produksi, mana APL (alokasi penggunaan lain-red), mana hutan lindung. Yang jelas, kalau itu wilayah jelajah ya akan berada dan melintas serta menghabiskan waktu disitu sepanjang hari,” kata Dana Tarigan, Direktur Walhi Sumut Dana kepada Mongabay, di Medan, belum lama ini.

“Pemerintah bilang gak ada konflik, itu salah besar. Ini buktinya.”

 

Keterangan foto utama: Orangutan Tapanuli terancam kala habitat mereka terus berubah menjadi berbagai keperluan, antara lain, tambang emas, perkebunan sawit,  sampai pembangunan PLTA Batang Toru. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 Perlu ada koridor untuk penyeberangan prangutan Tapanuli dari proyek PLTA Batang Toru. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version