Mongabay.co.id

Perempuan Adat Terdampak Berlapis Kala Wilayah Hidup Hilang

 

 

 

 

Meiliana Yummy, perempuan adat Rakyat Penunggu Kampung Menteng Medan, pekan lalu, berjalan pasti memasuki Gedung DPRD Sumatera Utara. Sejumlah aktivis perempuan mendampingi Yummy. Mereka ingin menyampaikan berbagai permasalahan perempuan adat, terlebih kala hutan dan lahan hilang, serta hak-hak mereka yang harus mendapatkan perlindungan negara.

Terlihat peneliti Hutan Rakyat Institute (HaRI), Wina Khairina juga pengurus Aliansi Masyakarat Adat Nusantara (AMAN) Sumut dan AMAN Tano Batak.

“Hak perempuan adat dalam mendapatkan kedaulatan dan ruang kelola yang terus terjepit dan rentan tersingkirkan di wilayah adatnya,” katanya.

Yummy, sosok perempuan adat yang jadi motor penggerak, dan selalu meneriakkan lantang menuntut perlindungan terhadap perempuan.

Bersama para aktivis perempuan adat, dia mengumpulkan para perempuan untuk diskusi dan memberikan gambaran bagaimana para perempuan adat yang tersingkirkan dan pendidikan rendah, rentan di eksploitasi. Tidak jarang juga dia bawa bendera merah putih, sambil mengibarkan di depan kantor pemerintahan maupun gedung wakil rakyat.

Di nusantara ini, banyak komunitas adat terpaksa kehilangan ruang hidup. Izin-izin dari pemerintah kepada pebisnis atau klaim sepihak negara terhadap kawasan hutan berada di wilayah hidup mereka. Kondisi tambah sulit kala pengakuan dan perlindungan bagi mereka minim. Perempuan adat, merasakan dampak berlapis krisis ini.

 

 

Menurut dia, perempuan adat rentan tersingkirkan dari wilayah adat  yang beralih jadi konsesi tambang, perkebunan sawit, hutan tanaman industri (HTI) dan lain-lain. Dengan begitu, perempuan tidak dapat menjalankan peran sebagai penjaga ketahanan hidup keluarga dan komunitas.

Pemenuhan kebutuhan pangan rumah tangga dan rumah tangga komunitas pun, sebagian atau sepenuhnya tergantung pihak luar alias tak lagi bisa terpenuhi dari pekarangan, kebun atau hutan mereka.

Isu lain, soal hak perempuan adat atas pengetahuan. Tanah hilang, menyebabkan banyak pengetahuan perempuan lenyap. Perempuan kesulitan menemukan bahan baku dari tanah, baik bahan baku anyaman, bahan pewarna alami, serta kehilangan tempat memperaktikkan pengetahuan bertani. Mereka tak lagi jadi penyimpan benih di komunitasnya.

Sumber pengetahuan dan sumber penghidupan hilang, seiring kehilangan hutan dan tanah.

Hak perempuan adat atas rasa aman dan bebas dari kekerasan, macam prostitusi, maupun perdagangan manusia, merupakan isu penting yang patut jadi perhatian berbagai pihak .

Dia bilang, perempuan adat usia sekolah rentan terjebak kemiskinan dan kurir narkoba. Bisnis prostitusi hadir di kampung-kampung, bersamaan dengan kemunculan industri ekstraktif skala besar. Dalam kondisi serba sulit, perempuan adat kadang tidak memiliki banyak pilihan, karena pekerjaan hilang seiring hilang tanah dan hutan.

 

Perempuan Adat Pandumaan Sipituhuta. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Yummy contohkan, di Kampung Menteng, dia acap kali berhadapan dengan para pria berbadan kekar, mencoba mencari mangsa para perempuan yang rentan jadi korban prostitusi.

Partisipasi perempuan adat dalam pembangunan juga cenderung terabaikan. Industri ekstraktif, katanya, telah memisahkan perempuan dan suara perempuan hingga tak mampu menentukan nasib mereka sendiri.

Dalam internal komunitas pun perempuan adat masing banyak alami ketidakadilan. Dia contohkan, hak perempuan adat atas waris. Dalam banyaktradisi, perempuan adat tak mendapatkan hak waris. “Ini wujud ketidakadilan dari tradisi yang mendiskriminasi perempuan adat.”

Untuk itu, katanya, penting mendorong perempuan adat bebas dari segala bentuk kekerasan, baik fisik dan seksual di dalam maupun luar rumah.

Yummy juga menyoroti pernikahan adat beralaskan agama leluhur banyak ditemukan dalam komunitas adat di Indonesia.

Dalam kacamata negara, pernikahan adat ini, tidak diakui sebagai pernikahan formal ataupun sah, hingga tidak mendapatkan akte nikah dari negara. Kondisi ini, katanya, menyebabkan anak-anak yang lahir dari pernikahan adat, pada posisi rentan.

Mereka tak akan mendapatkan sertifikat kelahiran, karena orangtuanya tidak mempunyai akte nikah. Hal ini kemudian berujung pada kesempatan mereka mengakses pendidikan formal terbatas, baik di dalam negeri maupun luar.

Dia menilai, perhatian pemerintah lemah hingga perlu ada aturan mengikat yang melindungi para perempuan adat, di Sumatera Utara.

Berbagai perlindungan kepada komunitas adat, lebih spesifik terhadap perempuan adat ini, katanya, perlu jelas dalam aturan dan bisa masukkan dalam peraturan daerah masyarakat adat yang sedang digodok di DPRD Sumut. Dia berharap, berbagai masukan agar ada perlindungan bagi perempuan-perempuan adat terakomodir dari perda itu.

“Kami harap perempuan adat juga dimasukkan secara khusus. Ini penting,” kata Yummy.

Sekjen AMAN, Rukka Sombolinggi mengatakan, perempuan adat di berbagai daerah hampir mengalami nasib sama.

Bicara tentang situasi perempuan adat selalu mengalami diskriminasi berlapis. Diskriminasi sebagai perempuan, di dalam keluarga dan sebagai perempuan adat. Dia bilang, masih banyak aturan dan tradisi yang mendiskriminasi perempuan adat.

Paling berat bagi perempuan adat, kata Rukka, ketika mengalami persoalan seperti perampasan wilayah adat, maka mereka dan anak-anak terdampak paling buruk.

Ketika terjadi kekeringan karena hutan habis ditebang, misal, perempuan adat yang banyak menjalankan fungsi domestik, harus mencari sumber mata air lebih jauh. Kalau wilayah tercemar, perempuan pula yang pertama kali mendapatkan dampak terpapar dari residu racun.

“Mereka berurusan paling banyak dengan air untuk mencuci pakaian, cuci piring dan mandi. Itu yang kemudian terjadi pada perempuan adat,” katanya.

Pada sisi kebijakan negara, saat ini di level internasional tak membicarakan spesifik soal perempuan adat, namun perempuan pedesaan. Jadi, instrumen HAM untuk perempuan belum bisa seutuhnya menyentuh perempuan adat.

Pada sisi representasi legislatif pemenuhan kuota 30%, tampak sulit bagi perempuan adat. Dengan situasi perempuan adat dari wilayah-wilayah yang alami berbagai kondisi sulit termasuk akses pendidikan, katanya, maka berat bersaing dengan istri bupati, istri gubernur, istri politisi.

“Jadi, situasi perempuan adat sendiri sudah jadi penghambat bahkan ketika ada pemberlakuan khusus seperti kuota,” kata Rukka.

Kini, DPR masukkan lagi Rancangan Undang-undang Masyarakat Adat, dalam program legislasi nasional 2020, setelah sempat dua periode gagal masuk tahap paripurna pengesahan.

Rukka pun mendesak, segera pengesahan UU Masyarakat Adat. Di dalam UU ini, katanya, harus tegas dan terang benderang mengakui hak hak perempuan adat dan memastikan perlindungan terhadap perempuan adat.

 

Keterangan foto utama: Perempuan adat rentan tersingkirkan dari wilayah adat yang beralih jadi konsesi tambang, perkebunan sawit, hutan tanaman industri (HTI) dan lain-lain. Dengan begitu, perempuan tidak dapat menjalankan peran sebagai penjaga ketahanan hidup keluarga dan komunitas. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version