Mongabay.co.id

Krisis Iklim Picu Kasus Demam Berdarah Tinggi di Jambi

Lahan-lahan ini dulu hutan, kini hilang. Orang Rimba, pun makin terjepit. Foto: Warsi

 

 

 

 

Malam itu, medio Februari, Bambang, warga Jambi,  terlihat panik saat terima telepon istrinya. Dia buru-buru meninggalkan kantor dengan telepon genggam masih menempel di telinga.

“Anak panas tinggi, mau dirujuk ke rumah sakit. Takutnya DBD (demam berdarah-red),” katanya.

Kota Jambi, jadi daerah paling rawan kasus demam berdarah di Jambi. Sejak 2011 hingga Februari 2020, sudah 67 orang meninggal karena gigitan nyamuk aedes aegypti. Kecamatan Kota Baru dan Paal Merah daerah paling rentan.

Baca juga: Iklim dan Lingkungan Ubah Perilaku Nyamuk Demam Berdarah, Dampaknya?

Januari 2020, penderita demam berdarah di Kota Jambi mencapai 202 orang dan bertambah 75 orang sampai tengah Februari. Dua anak meninggal dunia.

“Januari yang meninggal anak 11 tahun, Februari ini umur 4,5 tahun, warga Eka Jaya,” kata Safri, Kepala Seksi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Dinas Kesehatan Kota Jambi.

Pemerintah Kota Jambi merespon serangan demam berdarah dengan fogging. 366 kali fogging pada 183 titik selama 2019. Aksi ini belum cukup dibanding kasus demam berdarah mencapai 698, tiga kali lipat dibanding kejadian 2018, bahkan hampir lima kali lebih banyak dari kasus 2017.

Nyamuk-nyamuk di Kota Jambi, mulai kebal terhadap bahan aktif malapion yang digunakan terus-terusan untuk obat fogging. Nyamuk mulai resisten. Pemkot Jambi mengganti malapion dengan sipermetrin yang terbukti lebih ampuh. Fogging hanya mampu membunuh nyamuk dewasa, tidak termasuk jentik.

Pada 2020, Pemkot Jambi kembali menganggarkan 130 titik untuk fogging. Kata Safri, angka itu bisa bertambah mengikuti kasus demam berdarah.

Serangan demam berdarah juga terjadi di Muaro Jambi. Pada Januari 2020 tercatat 114 kasus dan tiga orang dilaporkan meninggal. Dua korban meninggal lain ditemukan di Tanjung Jabung Barat. Lebih 100 orang terserang demam berdarah. Di dataran tinggi Kabupaten Kerinci dan Kota Sungai Penuh juga ditemukan kasus demam berdarah.

Demam berdarah menjadi ancaman serius. Dinas Kehatan Jambi mencatat, kasus demam berdarah meningkat dua kali lipat. Sepanjang 2019 ditemukan 2.229 pasien demam berdarah dengan korban meninggal 16 orang, 11 warga Kota Jambi.

“Pada 2018 itu ada 831 kasus, tiga orang meninggal,” kata Eva Susanti Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2PL) Dinas Kesehatan Jambi.

Eva bilang, setiap musim hujan kasus demam berdarah bisa dipastikan meningkat. Lingkungan kotor, banyak genangan air dianggap jadi sebab ledakan kasus demam berdarah.

Menurut BMKG, Jambi memiliki dua puncak musim hujan, Maret hingga April dan November hingga Desember.

 

Suhu rata-rata di Jambi meningkat 1,1 derajat selsius dibanding tiga dekade terakhir. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

 

Krisis iklim

Dinas Kesehatan tak ingin menyebut tingginya kasus demam berdarah karena perubahan iklim, tetapi lebih pada perilaku manusia yang tak bersih. Meski dipicu banyak faktor, Sukmal Fahri, akademisi kesehatan lingkungan di Sekolah Tinggi Kesehatan Harapan Ibu (Stikes HI) Jambi, mengakui ada korelasi peningkatan suhu dengan hidup nyamuk.

Dia bilang, suhu cenderung memanas ikut memicu ledakan populasi nyamuk dengan mempercepat masa inkubasi ekstrinsik. “Biasanya masa bertelur nyamuk 12 hari, karena peningkatan suhu berubah bisa cuma tujuh hari,” katanya.

Demam berdarah karena gigitan nyamuk yang terinfeksi virus dangue. “Nyamuk kalau sudah terinfeksi virus dangue, sampai keturunan ketujuh akan masih tertular.” Nyamuk bisa menghasilkan 200-300 butir telur sekali bertelur.

Celakanya, resistensi pada obat fogging juga ikut berdampak pada pengembangbiakan nyamuk lebih cepat. Sukmal bilang, nyamuk akan hidup kembali setelah beberapa menit disemprot obat.

“Makin bertambah kuat resistensi terhadap racun, juga menyebabkan siklus berkembangnya cepat,” katanya.

Hasil penelitiannya, pengembangbiakan nyamuk ditemukan di pegunungan di ketinggian 1.000 mdpl di Kerinci dan Kota Sungai Penuh, Jambi. Sukmal bilang, nyamuk mulai beradaptasi  karena suhu pegunungan tak lagi dingin. Secara general, katanya, suhu di Indonesia naik 0,1 derajat celsius dalam kurun waktu 10 tahun terakhir.

Bukan hanya ledakan populasi nyamuk, peningkatan suhu dapat memicu peningkatan serang ISPA, tubercolosis paru. Sukmal bilang, basil paru berasal dari iklim tropis. “Basil akan akan adaptasi, efeknya bagi pengobatan yang tidak tuntas dia akan lebih resisten.”

Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Klimatologi Muaro Jambi mencatat, pada 2019 suhu rata-rata di Jambi meningkat 1,1 derajat selsius dibanding tiga dekade sebelumnya yang rata-rata 26 derajat selsius.

“Naik satu derajat itu sudah banyak sekali pengaruhnya,” kata Sri Utami Forecaster BMKG Stasiun Klimatologi Muaro Jambi.

Meningkatnya suhu bumi ikut memengaruhi siklus musim. Pada 2019, musim kemarau datang lebih awal dari biasanya. Sedang musim hujan di Jambi mundur hingga tiga dasarian.

“Harusnya awal Oktober dasarian dua, kemarin mundur hingga November.”

Wilayah Kumpeh mengalami hari panas terpanjang dengan 74 hari tanpa hujan, terhitung mulai 12 Juli hingga 23 September. Panas ikut memperparah kebakaran hutan dan lahan di Muaro Jambi.

Sri Utami mengatakan, kebakaran berkontribusi pada perubahan iklim. Salah satu tanda, musim datang sulit diprediksi.

Rudi Syaf, Direktur KKI Warsi menyebut, apa yang terjadi di Jambi adalah tanda awal bencana iklim serius. Banyak faktor menyebabkan krisis iklim, karena pelepasan emisi karbon kelewat parah.

“Trasnportasi, penggunaan energi fosil, hilangnya hutan semua menghasilkan emisi karbon,” katanya.

 

Karhutla antara lain penyebab krisis iklim. Petugas BPBD Batanghari berusaha memadamkan api yang membakar lahan gambut. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Tiga dekade terakhir Jambi kehilangan 1,5 juta hektar tutupan hutan. Sesuai SK menteri Pertania No.767 tahun 1982, luas kawasan hutan di Jambi mencapai 4.187.000 hektar. Lima tahun berikutnya menyusut 1,2 juta hektar.

Rudi menyebut, alih fungsi hutan besar-besaran dilakukan untuk program transmigrasi pada 1980-an di Jambi.

Pengurangan kawasan hutan terus terjadi hingga 1999. Sesuai keputusan Menteri Kehutanan luas kawasan hutan di Jambi 2,1 juta hektar. Pada 2014, luas kawasan hutan di Jambi kembali menyusut, tinggal 2,09 juta hektar.

Kehilangan hutan membuat emisi karbon yang dilepas di udara sulit diserap. Kebakaran hutan dan lahan gambut pada 2019 makin memperparah kerusakan bumi.

Data KKI Warsi menunjukkan, sepanjang 2019 terdeteksi 30.947 titik panas atau 13.000 lebih sedikit dibanding kebakaran 2015. Setidaknya 157.137 hektar hutan dan lahan di Jambi habis terbakar dan menyebabkan kerugian lingkungan Rp12 triliun.

Menurut Rudi, kerugian besar itu dampak dari kebakaran lahan gambut mencapai 101.418 hektar, lebih buruk dibanding 2015 seluas 90.363 hektar. “Hampir 25% (kebakaran) berada di gambut dalam lebih dari empat meter,” katanya.

Menurut pria berambut perak ini, setiap satu hektar hutan dapat menyimpan 280-360 ton karbon (carbon stock). Untuk itu, perlu upaya serius mengurangi produksi karbon dan penyerapan karbon, salah satu dengan menjaga hutan.

Bambang Irawan, Peneliti Collaborative Research Center (CRC) sekaligus Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Jambi berkata, lahan gambut mampu menyimpan karbon lebih banyak dibanding hutan di lahan mineral.

“Banyak penelitian menyebutkan, ada 6.000 ton kandungan karbon dalam kawasan gambut per hektar. Kalau itu terbakar dan dikalikan pada jumlah luas lahan yang terbakar itu kan jumlah yang sangat masif.”

 

Nyamuk Aedes aegypti penyebab demam berdarah. Foto: Paul I. Howell, MPH; Prof. Frank Hadley Collins/Centers for Disease Control and Prevention [CDC]/Image Number: 9534 via Britannica.com

 

Hasil penelitian CRC di Jambi terkait perubahan iklim, belum bisa memastikan apa penyebab suhu bumi meningkat. Menurut Bambang, ada banyak faktor dan perubahan hutan menjadi lahan terbuka bukanlah faktor utama.

“Karena iklim, suhu tidak bisa kita batasi dengan wilayah teritori, tapi sebagai akademisi saya percaya bahwa kerusakan hutan, kebakaran hutan dan lahan, perlahan akan mempengaruhi perubahan iklim dan peningkatan suhu rata-rata.”

Peningkatan suhu juga dipengaruhi kecepatan angin, kelembapan udara, curah hujan yang cenderung sedikit saat terjadi El-Nino.

Hasil penelitian CRC pada 2013, menujukkan, pelepasan karbon dari aktivitas masyarakat di Jambi dalam skala rumah tangga, termasuk transportasi lebih tinggi dibanding tingkat nasional.

Pelepasan karbon, katanya, berhubungan dengan kesejahteraan. Makin kaya seseorang cenderung melepaskan karbon lebih banyak dibanding penduduk miskin. “Orang kaya ini mobil tidak satu, bisa dua, tiga dan seterusnya, orang yang lebih kaya cenderung makan lebih bervariasi, ini yang kita hitung.”

Dari aktivitas rumah tangga, penduduk miskin di Jambi rata-rata melepas karbon 0,7052 ton, sementara rata-rata penduduk miskin nasional hanya 0,4593 ton. Untuk penduduk ekonomi menengah di Jambi, 1,8725 ton, dibanding rata nasional 1,1179 ton. Penduduk kaya di Jambi, 2,4781 ton dan rata-rata nasional 1,7228 ton.

“Tapi kalau rata-rata orang paling kaya di Jambi dibanding yang paling kaya nasional, pelesapan karbon di Jambi lebih rendah.”

Jambi yang tidak memiliki transportasi umum memadai juga dianggap sumber masalah. “Di Jerman, orang lebih suka naik kereta atau dibanding mobil sendiri. Banyak juga di sana pakai sepeda.”

Bambang menjelaskan, polusi dari penggunaan transportasi punya pengaruh besar pada peningkatan suhu. Kandungan karbon yang terlepas dari pembakaran mesin akan tersimpan di atmosfer di atas wilayah tertentu. Hal itulah yang menyebabkan suhu di titik padat transportasi cenderung lebih tinggi.

“Kalau bicara tentang suhu, harus banyak hal yang harus diperbaiki, dari sektor industri, transportasi, penggunan bahan bakar fosil harus dikurangi, dan hutan yang menjadi peyerap karbon juga harus diperbaiki.”

 

 

Keterangan foto utama: Deforestasi antara lain penyebab krisis iklim.  Hutan di Jambi, juga rumah Orang Rimba, terkikis, menjadi peruntukan lain, seperti perkebunan sawit, dan lain-lain. Foto: Warsi

 

Exit mobile version