Mongabay.co.id

Rehabilitasi Mangrove Kritis di Bengkulu Belum Terlihat

Hutan mangrove yang sangat penting untuk wilayah pesisir. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

 

Sebaran mangrove di Provinsi Bengkulu semakin menyusut. Penyebabnya, mulai dari alih fungsi lahan untuk permukiman, tambak dan ladang, hingga perambahan mangrove itu sendiri.

Berdasarkan Buku Sebaran Mangrove Kritis Indonesia terbitan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2018, Provinsi Bengkulu termasuk wilayah dengan kerusakan mangrove memprihatinkan, baik di kawasan konservasi maupun di luar.

Dalam buku tersebut dijelaskan, Bengkulu memiliki ekosistem mangrove dengan kondisi baik hanya seluas 4.393 hektar, dari panjang pesisirnya yang mencapai 345 kilometer. Sebarannya mulai dari Kabupaten Mukomuko, Bengkulu Utara, Bengkulu Tengah, Kota Bengkulu, hingga Kabupaten Seluma.

Di Kota Bengkulu, ada empat kecamatan sebagai habitat mangrove, yaitu Gading Cempaka, Kampung Melayu, Muara Bangka Hulu, dan Sungai Serut. Terdata, mangrove di wilayah ini dengan kondisi baik seluas 764 hektar. Namun kawasan kritisnya tak kalah banyak, di luar kawasan konservasi terdata 146 hektar, dan di dalam kawasan 72 hektar. Penyumbang luasan kritis terbanyak di Kecamatan Kampung Melayu, 127 hektar di luar kawasan konservasi dan 67 hektar di kawasan konservasi.

Kondisi rusak lainnya berada di Seluma, ada delapan wilayah yaitu Air Periukan, Ilir Talo, Seluma Barat, Seluma Selatan, Semidang Alasa Maras, Sukaraja, Sungai Serut, hingga Talo Kecil. Total mangrove kritis di luar kawasan konservasi sekitar 80 hektar, sementara di kawasan konservasi seluas 51 hektar. Mangrove kondisi baik sekitar 973 hektar.

Sedangkan kabupaten dengan kondisi mangrove terbaik berada di Bengkulu Utara, 1.900 hektar, tanpa mangrove kritis.

Baca: 7 Fakta Penting Mangrove yang Harus Anda Ketahui

 

Hutan mangrove sangat penting untuk kehidupan masyarakat pesisir. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Dosen Kehutanan Universitas Bengkulu [Unib], Gunggung Sunoaji mengingatkan, kritisnya mangrove akan berpengaruh pada banyaknya karbon dioksida di atmosfer, sehingga mempercepat pemanasan global dan perubahan iklim.

Mangrove memang salah satu tumbuhan yang maksimal menyerap karbon dan mengubahya menjadi karbon organik yang disimpan dalam biomassa tubuhnya, seperti akar, batang, daun, dan bagian lain.

“Jika alih fungsi ekosistem mangrove semakin banyak dilakukan, tentu saja hal itu mempercepat perubahan iklim,” kata dia kepada Mongabay Indonesia, Jumat [06/3/2020].

Selain banyaknya karbon tak terserap, perubahan fungsi hutan mangrove di pesisir juga mempercepat terjadinya abrasi, memperbanyak tumpukan lumpur dan sedimen, hingga gelombang laut yang tidak bisa dibendung.

Baca: Sabuk Hijau Peredam Tsunami yang Hilang [Bagian 3]

 

Tanaman mangrove sangat penting sebagai pemecah gelombang air laut. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Penelitian Gunggung Sunoaji dan Muhammad Fajrin Hidayat berjudul “Peranan Ekosistem Mangrove di Pesisir Kota Bengkulu Dalam Mitigasi Pemanasan Global Melalui Penyimpanan Karbon” di Jurnal Manusia dan Lingkungan Universitas Gajah Mada [UGM] pada September 2016, menunjukkan, kandungan biomassa pada tegakan mangrove di pesisir Kota Bengkulu sebesar 37,06 ton per hektar. Jumlah kandungan karbon tersimpannya sebesar 18,53 ton per hektar.

Artinya, untuk luasan ekosistem mangrove yang berkerapatan sedang sampai tinggi luasnya sekitar 136 hektar. Terdata juga jumlah kandungan karbon tersimpan pada tegakan sebesar 2.532,50 ton karbon.

Namun, besaran biomassa dan kandungan karbon tersimpan di pesisir Kota Bengkulu itu lebih kecil dari kandungan yang tersimpan pada ekosistem mangrove di pesisir Kabupaten Seluma. Di kabupaten ini kandungan biomassa sebesar 229,39 ton per hektar, sedangkan yang tersimpan sebesar 114,70 ton per hektar.

“Mangrove memang tumbuhan yang paling banyak menyimpan karbon dibanding tumbuhan tropis lainnya,” kata Gunggung.

Di pesisir Kota Bengkulu, terdata sembilan jenis mangrove yang hidup. Ada Rhizophora apiculata, Sonneratia alba, Bruguiera gymnoriza, Xylocorpus granatum, Avicennia alba, Hibiscus tiliaceus, Acrostishum aureum, Bruguiera gymnoriza dan Rhizophora apiculata.

Pada ekosistem mangrove di tanah berpasir umumnya ditumbuhi Sonneratia sp., dan di tanah berlumpur yaitu jenis Avicennia sp., dan Rhizophora sp.

Baca: Penyu Enggan Datang ke Teluk Sepang

 

Mangrove dengan perakarannya yang melindungi area pesisir pantai. Foto: Ahmad Supardi/Mongabay Indonesia

 

Menurut Gunggung, perhitungan kandungan karbon tersimpan pada tegakan mangrove dengan cara menghitung biomassa, yang terbentuk melalui proses fotosintesis. Kuncinya, semakin tua umur suatu tegakan, akan semakin banyak cadangan karbon tersimpan.

“Jenis kayu keras akan lebih banyak menyimpan karbon dibanding kayu lunak,” jelasnya

Dengan demikian, kandungan karbon setiap vegatasi mangrove akan berbeda satu sama lain. Semakin tinggi massa jenis kayu, semakin banyak kandungan biomassa.

“Yang menghentikan proses penyerapan karbon pada mangrove adalah penebangan atau matinya pohon. Makanya, jangan tebang mangrove!” tegasnya.

Baca juga: Bengkulu Tidak Ingin Salah Arah Kembangkan Ekowisata

 

Mangrove memberi banyak manfaat bagi kehidupan manusia. Foto: Ahmad Supardi/Mongabay Indonesia

 

Penebangan mangrove semakin masif

Pegiat Komunitas Mangrove Bengkulu, Regen Rais mengakui kerusakan mangrove sangat masif terjadi di Bengkulu. “Proses penebangan ini lebih cepat dan lebih banyak dari upaya penanaman,” kata dia kepada Mongabay Indonesia.

Seharusnya, penanaman dan perawatan mangrove saat ini harus menjadi perhatian warga dan pemerintah. “Semua pihak harus dilibatkan, menjaga kelestarian mangrove,” lanjutnya.

Dari catatan Komunitas Mangrove Bengkulu, penyusutan luasan ekosistem mangrove terjadi sebelum tahun 2000-an. Saat itu banyak permintaan kayu mangrove untuk dijadikan arang. Lalu berkembang lahannya digunakan untuk permukiman, pertambakan, hingga kebun sawit.

Tahun 2002, di Kota Bengkulu tercatat ada 1.000 hektar hutan mangrove, yang tersebar di TWA Pantai Panjang dan Pulau Baai, di wilayah Sumber Jaya dan Teluk Sepang, Kelurahan Kandang, Kecamatan Kampung Melayu. Namun, ketika didata kembali 2007, telah berkurang menjadi 533 hektar.

Tahun 2011, pemantauan kembali dilakukan oleh komunitas ini. Hasilnya, kondisi mangrove baik hanya terdata sekitar 193 hektar, yang berada di kawasan konservasi.

Kasus perusakan massal mangrove terjadi puncaknya ketika pembabatan dan penimbunan 10 hektar hutan mangrove di Pulau Baai, Kelurahan Teluk Sepang, Kecamatan Kampung Melayu, pada Agustus 2017.

“Pembabatan dan penimbunan itu, alasannya untuk pembangunan tapak Pembangkit Listrik Tenaga Uap [PLTU] Batubara,” jelasnya.

Perlindungan terhadap ekosistem mangrove perlu dilakukan dengan menetapkan sebagai kawasan lindung. Pemerintah perlu membuat regulasi untuk menyelamatkan ekosistem mangrove yang berperan terhadap perlindungan pesisir pantai. Salah satu strateginya, membentuk kawasan hutan lindung mangrove yang tidak dapat diganggu.

“Mangrove penting sekali untuk keamanaan pesisir barat Sumatera dan terhadap perubahan iklim dunia,” tegas Regen.

 

 

Exit mobile version