Mongabay.co.id

Yunita Lestari Jadikan Popok Bekas Beragam Kerajinan

Yunita Lestari Ningsih, warga Lombokwaru, Kota Malang, berpikir keras cara memanfaatkan popok sekali pakai bekas yang tak bisa hancur dan menumpuk. Foto: Eko Widianto/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Namanya, Yunita Lestari Ningsih. Dia tinggal di Jalan Ikan Tombro Tunjung Sekar, Lowokwaru, Kota Malang , Jawa Timur, cukup asri. Aneka tanaman hias berjajar di depan dan samping rumah. Uniknya, pot bunga, dan wadah tanaman berbentuk vertical garden menempel di tembok itu terbuat limbah popok sekali pakai (diapers).

Saban hari, garasi rumah ketua kader lingkungan RW sejak 2011 ini, berubah jadi workshop untuk mengolah limbah popok sekali pakai itu. Dibantu dua pekerja dia mengolah aneka jenis diapers menjadi kriya seni bernilai ekonomi. Sudah lima tahun dia lakoni ini.

Awal mulai Yunita, memulai daur ulang diapers ini terpicu pengalaman pribadi. Sepekan setelah memiliki momongan, perempuan 41 tahun ini didatangi pemilih tanah kosong di samping rumah. Tanah itu akan ditanami pisang. Saat digali, ada diapers menggunung, sekitar dua gerobak. “Nak, jangan buang popok di sini. Akan ditanam pisang,” kata Yunita menirukan pemilik lahan itu.

Dia meyangkal karena merasa tak menumpuk diapers. Anaknya baru berusia sepekan. Dia teringat, saudaranya di belakang rumah punya anak 12 tahun. Dulu, popok bekas itu ditanam di tanah kosong.

“Ternyata meski ditimbun bertahun-tahun, diapers tak hancur,” katanya.

Dia juga bingung mau membuang diapers bekas ke mana. Saat berjalan ke sungai sejauh 300-an meter dari rumah, dia menemukan tumpukan diapers. Menggunung. Akhirnya, saban hari diapers dia cuci bersih dan disimpan.

Dia pun terus memutar otak agar sampah ini bisa jadi bermanfaat. Akhirnya, muncul ide mengkreasikan diapers jadi aneka bunga. Ada 26 jenis bunga dia hasilkan. Kini, dia fokus megolah diapers jadi aneka barang kreasi bernilai seni.

Selama empat tahun dia juga meneliti pola penggunaan diapers sekali pakai ini. Hasilnya, setiap bayi per hari habiskan dua sampai tiga popok sekali pakai. Setiap balita gunakan diapers sampai usia 3-5 tahun. Pilihan ke diapers karena praktis, tanpa memikirkan dampak terhadap lingkungan.

 

Tas dari diapers bekas buatan Yunita. Foto: Eko Widianto/ Mongabay Indonesia

 

Bank popok bekas

Lantas, melalui Posyandu, kader PKK dan kader lingkungan dia mengajak ibu-ibu untuk bertanggungjawab atas sampah yang dihasilkan. Mengajak mereka mencuci dan mengumpulkan diapers sebagai bahan baku kriya. Sekarang, sebagian warga yang tersebar di Tunjung Sekar, Polowijen, Batu dan Sawojajar mengumpulkan diapers di rumah diapers atau bank popok di setiap posyandu.

Setiap potong diapers dibeli seharga Rp200-Rp300. Hasil penjualan ditabung, rata-rata setiap nasabah mengumpulkan Rp700.000–Rp1,2 juta per tahun. Setiap pekan Yunita mengumpulkan sekitar 4.000 potong diapers bekas. Kemampuan mengolah sekitar 300 potong per hari. Bahan baku terus menumpuk.

Cara mengolah cukup mudah, cuci bersih diapers dari kotoran, direndam air dan ditergen, keluarkan gel, lantas dibilas dengan air mengalir agar higienis. Lalu rendam dengan disinfektan. Sedangkan gel jadi media tanam bunga atau tanaman hias atau jadi bubur kertas dengan digodok selama tiga jam.

Setelah jadi bubur kertas, bias dimanfaatkan buat aneka kerajinan. Lapisan diapers berlembar-lembar disetrika hingga jadi lembaran sesuai kebutuhan. Kini, lembaran diapers ini bisa jadi aneka jenis bunga.

Untuk jadi pot diapers bersih cukup direndam dalam semen dan dicetak berbentuk aneka jenis pot. Termasuk vertical garden dan lapiran tembok artistik. Asbak satu potong diapers Rp10.000. Satu kilogram semen jadi 10 asbak. Vertical gadern per lembar sampai Rp500.000.

Kini, dia ujicoba diapers bekas bahan baku pengganti kulit sintetis jadi menjadi tas maupun dompet. Setelah berbentuk lembaran disetrika dan direndam lalu sikat untuk menghilangkan lem. Lantas dilapisi cat water proof atau cat kayu sesuai keinginan.

Bahan pengganti kulit sintetis ini telah menghasilkan sejumlah tas dan dompet, harga masing-masing Rp150.000 dan Rp75.000.

Yunita bekerjasama dengan perajin tas. “Tahan lama, awet. Ini tas saya tahan sampai lima tahun,” katanya.

Sedangkan limbah potongan kecil disulap menjadi bantal dan guling. Setiap potong dijual Rp15.000. Kelebihan batal guling bekas diapers awet dan bisa dicuci. Kreasi diapers bekas ini mengantarkan Kelurahan Tunjungsekar jadi nominator 10 desa kampung bersinar Pemerintah Kota Malang dan juara II Otonomi Award Jawa Pos.

 

Vertical garden dari popok sekali pakai bekas. Foto: Eko Widianto/ Mongabay Indonesia

 

Menggunakan merek Cantuka Kreatif, Yunita membuat aneka vertical garden, pot bunga dan bunga pajangan. Kini, sekitar 10 orang bersama-sama mengolah diapers. Dia juga tengah menularkan keterampilan melalui kader PKK dengan membuat aneka jenis bunga. Untuk pot dan vertical garden bersama karangkaruna setempat.

Omset penjualan setiap bulan mencapai Rp6 juta-Rp 8 juta, dengan keuntungan sekitar 50%. Yunita terus menjaga kualitas kriya dan pengerjaan cepat serta harga yang bersaing dengan produk pabrikan.

 

Diapers itu sampah residu

Prigi Arisandi , Ketua Kajian ekologi dan konservasi lahan basah Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton) mengapresiasi langkah Yunita. Sebenarnya, kata Prigi, sampah popok atau diapers merupakan kategori residu. Sesuai UU Nomor 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah, katanya, residu hingga penanganan menjadi tanggung jawab pemerintah.

Sampah dikelompokkan jadi tiga, yakni, sampah bahan berbahaya dan beracun (B3) seperti lampu dan baterai, sampah organik yang diolah menjadi kompos, sampah daur ulang seperti aneka plastik, dan sampah residu yang tak bisa diolah untuk daur ulang. Lantaran sampah itu berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan.

Secara teknis, katanya, diapers ditangani di Tempat Pembuangan Sampah (TPA) dengan teknik sanitary landfill. “Seharusnya tak dimanfaatkan. Sampah residu secara lingkungan dan kesehatan bahaya,” katanya.

Ia juga tak bisa ditangani dengan cara open dumping, lantaran gel akan melubar menembus tanah dan mencemari air tanah dan sungai jadi harus ada perlakuan khusus. Dia menekankan prinsip kehati-hatian dalam menangani popok sekali pakai, tak boleh sembrono. “Pemerintah lalai, membiarkan sampah diapers.”

Prigi mengapresiasi niat baik Yunita, tetapi secara UU tak boleh karena penanganan limbah residu jadi tanggungjawab negara. Dia mengajak masyarakat sebagai konsumen menolak memakai popok sekali pakai dan kembali gunakan popok kain.

“Tolak membeli produk popok sekali pakai. Sampahnya tak bisa ditangani sembarangan,” katanya.

Pemerintah, kata Prigi, seharusnya mengevaluasi atau mengingatkan tak boleh mengolah diapers karena sesuai peraturan tak boleh. Hasilnya, kata Prigi, tak sebanding dengan dampak kesehatan dan lingkungan.

“Pemerintah lalai menangani diapers.”

 

Beragam vas bunga dan bunga-bunga dari diapers bekas. Foto: Eko Widianto/ Mongabay Indonesia

 

Sediakan kontainer khusus

Untuk menangani residu, seharusnya pemerintah menyediakan kontainer khusus menampung residu. Lantas residu ditangani di TPA. Dia mencontohkan, penanganan sampah di Amerika Serikat yang menyediakan kontainer sampah dengan warna berbeda sesuai peruntukan.

Kontainer sampah berwarna biru untuk menampung sampah daur ulang, berwarna hitam untuk sampah residu, tempat sampah hijau khusus sampah komposting.

Berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Timur terdapat 800.000 bayi usia 0-3 tahun. Kalau setiap bayi gunakan popok rata-rata empat pokok setiap hari, total 3,2 juta popok per hari. Sekitar 1,2 juta popok dibuang ke aliran sungai.

Dua warga Jawa Timur, yakni Mega Mayang Mustika dan Riska Darmawanti mengajukan gugatan hukum atas masalah diapers yang mencemari Sungai Brantas. Keduanya menggugat melalui mekanisme hak gugat warga negara (citizen lawsuit) di Pengadilan Negeri Surabaya.

Mereka menggugat Gubernur Jawa Timur, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dan Kepala Balai besar Wilayah Sungai Brantas yang bertanggungjawab atas pengelolaan sumber daya air. Majelis Hakim PN Surabaya menolak gugatan lantaran dianggap belum sempurna pada Desember 2019. Kini, diajukan kasasi ke Mahkamah Agung.

 

Keterangan foto utama: Yunita Lestari Ningsih, warga Lombokwaru, Kota Malang, berpikir keras cara memanfaatkan popok sekali pakai bekas yang tak bisa hancur dan menumpuk. Foto: Eko Widianto/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version