Mongabay.co.id

Program Pembiayaan Berkelanjutan: Mencegah Investasi yang Merusak Alam

Instrumen ekonomi lingkungan hidup didefinisikan secara hukum sebagai seperangkat kebijakan ekonomi untuk mendorong Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan setiap pemangku kepentingan ke arah pelestarian fungsi lingkungan hidup. Dengan adanya regulasi terkait insentif dan disinsentif pada kegiatan ekonomi ramah dan tidak ramah lingkungan, selanjutnya diharapkan akan membawa perubahan paradigma dalam pengelolaan lingkungan hidup kita.

Selain itu, upaya ini tidak hanya akan berdampak untuk perlindungan berbagai fungsi lingkungan semata, tetapi juga mampu memberikan peluang bagi penciptaan usaha kegiatan ekonomi baru, perluasan dan peningkatan kualitas  tenaga kerja, serta pengembangan teknologi dan budaya ramah lingkungan.

Tentu saja, dalam hal penciptaan usaha kegiatan ekonomi baru yang lebih ramah lingkungan kegiatan ini haruslah diimbangi dengan pembentukan aturan dan kebijakan pembiayaan keuangan yang mempersyaratkan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pada sistem lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan non-bank.

Ada berbagai macam instrumen dalam upaya pencegahan pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup. Instrumen-instrumen itu diantaranya: instrumen command and control, instrumen pemberdayaan masyarakat, dan instrumen ekonomi lingkungan hidup.

 

Ilustrasi kebakaran lahan. Skema pembiayaan hijau dapat berperan untuk  mencegah investasi yang tidak ramah lingkungan. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Sebagai lembaga yang berwenang mengawasi industri keuangan bank, nonbank hingga pasar modal, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tentunya memiliki peran untuk menyukseskan komitmen tersebut melalui program keuangan berkelanjutan. Program tersebut dilakukan melalui kerja sama berbagai pihak sehingga tercipta dukungan pembiayaan kepada industri yang menerapkan prinsip keuangan berkelanjutan. Program keuangan berkelanjutan tidak hanya berupaya untuk meningkatkan porsi pembiayaan namun juga untuk meningkatkan daya tahan dan daya saing lembaga jasa keuangan.

Arah pengembangan untuk peningkatan daya tahan dan daya saing didasari atas pemikiran bahwasanya keuangan berkelanjutan merupakan sebuah tantangan dan peluang baru, di mana lembaga jasa keuangan dapat memanfaatkan untuk tumbuh dan berkembang dengan lebih stabil.

Peta jalan (roadmap) yang dibuat akan menjadi acuan bagi OJK dan pelaku industri jasa keuangan serta pihak-pihak lain yang memiliki kepentingan untuk mendukung pembangunan berkelanjutan terutama pemerintah, pelaku industri maupun lembaga internasional.

Dalam roadmap Keuangan Berkelanjutan di Indonesia, rencana kerja strategis keuangan berkelanjutan meliputi tiga area yang mencakup: peningkatan supply pendanaan ramah lingkungan; peningkatan demand bagi produk keuangan ramah lingkungan; dan peningkatan pengawasan dan koordinasi implementasi keuangan berkelanjutan.

 

Program Keuangan Berkelanjutan dan Green Banking

Misi utama keuangan berkelanjutan seperti halnya Green Banking ketika pertama kali dicetuskan adalah mengubah paradigma dalam pembangunan nasional dari Greedy Economy menjadi Green Economy. Greedy Economy merupakan istilah di mana fokus ekonomi hanya terbatas pada pertumbuhan ekonomi yang dinilai melalui pertumbuhan GDP, melakukan eksploitasi kekayaan alam, dan aktivitas ekonomi yang bertumpu pada utang.

Sedangkan Green Economy merupakan perubahan pandang terhadap pembangunan ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan The Triple Bottom Line of Twentieth Century Business, yaitu: Profit, People, and Planet.

Namun semua konsep-konsep akhirnya bakal diuji dalam praktiknya. Dalam  laporan berjudul A Review Of Sustainable Finance Reforms In Indonesia (2019) yang dirilis oleh Tuk Indonesia, Jikalahari, Walhi, Rainforest Action Network, dan Profundo menemukan bahwa banyak bank gagal memenuhi kewajiban keuangan berkelanjutannya, bahkan untuk komitmen yang paling minimal.

Laporan ini meninjau lima bank pendana para nasabah yang beroperasi di industri kehutanan dan perkebunan dengan jalan mengevaluasi laporan keberlanjutan bank dan standar operasional nasabah dari bank-bank tersebut. Lima kasus yang ditinjau adalah: 1) Bank Negara Indonesia (BNI) dan Grup Korindo; 2) Bank Central Asia (BCA) dan Grup Salim; 3) BRI dan Grup Sinar Mas; 4) Mandiri dan Astra Agro Lestari; dan 5) Maybank dan Triputra Agro Persada.

Berbagai masalah tata kelola telah dicermati dalam kasus-kasus yang melibatkan pemberian fasilitas keuangan oleh lima bank tersebut. Ada indikasi yang kuat bahwa telah terjadi secara sistematis, putusnya kaitan antara isu-isu yang disampaikan oleh bank dalam laporan keberlanjutan mereka dengan dampak langsung dari kegiatan operasional nasabah bank tersebut.

Bank yang damati belum berhasil mengungkapkan risiko utama lingkungan, sosial dan tata kelola, seperti: pengembangan perkebunan ilegal, pelanggaran hak atas tanah, munculnya secara berulang risiko kebakaran di perkebunan, perusakan hutan dan lahan gambut, indikasi terjadinya penghindaran pajak, dan pelanggaran peraturan perundangan ketenagakerjaan.

Hal ini menunjukkan dua kemungkinan; (i) bahwa bank tidak menyadari bahwa dirinya telah terpapar risiko tersebut, atau (ii) bank telah gagal mengungkapkan dan mengelola risiko tersebut dengan baik.

Siapa seharusnya yang dimintai tanggung-jawab atas modal-modal yang berpartisipasi dalam perusakan alam ini? Pandangan kita tertuju pada OJK. Sesuai dengan undang-undang, OJK memiliki mandat untuk mengatur dan mengawasi sektor jasa keuangan, memastikan kestabilan kondisi keuangan Indonesia dan melindungi kepentingan konsumen serta masyarakat luas.

Sesuai Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 51/POJK.03/2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan bagi Lembaga Jasa Keuangan, Emiten, dan Perusahaan Publik (disebut POJK Keuangan Berkelanjutan), dalam implementasinya, bank secara bertahap harus mengadopsi dan menginternalisasikan 8 (delapan) prinsip Keuangan Berkelanjutan ke dalam visi, misi, rencana strategis, dan program kerja.

Implikasinya, bank tidak lagi menjalankan strategi dan operasi bisnis dengan cara business as usual (BAU) tetapi dijalankan sebagai bagian dari implementasi Keuangan Berkelanjutan.

Prinsip ketiga dari delapan prinsip tersebut ialah Prinsip Pengelolaan Risiko Sosial dan Lingkungan Hidup, yang mana menyebutkan, setiap bank harus memiliki prinsip kehati-hatian dalam mengukur risiko sosial dan lingkungan hidup dari aktivitas penghimpunan dan penyaluran dana. Aktivitas tersebut termasuk identifikasi, pengukuran, mitigasi, pengawasan, dan pemantauan.

Risiko sosial dan lingkungan hidup dalam aktivitas bank mencakup dampak sosial dan lingkungan hidup yang bersifat negatif dari proyek atau kegiatan yang dibiayai.

Pada prinsip ke tujuh (yaitu: Prinsip Pengembangan Sektor Unggulan Prioritas) juga ditekankan, bahwa dalam menetapkan prioritas sektor, setiap bank harus mempertimbangkan sektor-sektor unggulan prioritas yang telah ditetapkan oleh Pemerintah melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan Jangka Panjang (RPJMN dan RPJP). Hal ini dilakukan untuk mendukung pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan, termasuk penanganan perubahan iklim.

Beranjak masih maraknya kasus perusakan alam dalam industri kehutanan maupun perkebunan, OJK harusnya meningkatkan upayanya dalam menjalankan mandat undang-undang dengan cara memperketat regulasi secara signifikan, menerbitkan pedoman teknis yang sudah diperbaiki, dan memberlakukan sanksi yang tegas terhadap pelanggaran oleh lembaga jasa keuangan.

Standar pengungkapan keberlanjutan harus dievaluasi, beserta dengan proses manajemen risiko-risiko lingkungan, sosial dan tata kelola. Harus ada koordinasi kebijakan yang lebih baik dalam tata kelola sumber daya alam serta penegakan hukum akan membantu melindungi masyarakat dan wilayah alam Indonesia dari bisnis yang tidak bertanggung jawab.

Secara bersama-sama, upaya tersebut dapat memperkuat integritas dan kepercayaan dunia terhadap sektor ekonomi utama Indonesia. Pada akhirnya pendapatan negara dapat dioptimalkan dan kebijakan pembangunan ekonomi inklusif dapat dicapai dengan terus menjaga kualitas lingkungan negeri ini bagi generasi masa depan.

 

*Alek Karci Kurniawan, penulis adalah Spesialis Hukum dan Kebijakan Komunitas Konservasi Indonesia dan penulis buku Konflik Konservasi. Artikel ini merupakan opini penulis.

 

Exit mobile version