Mongabay.co.id

Omnibus Law dalam Teropong Persoalan Ekologis

Dalam tahun ini Pemerintah memprioritaskan pembahasan dan pengesahan RUU Omnibus Law untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Ada tiga hal yang disasar pemerintah, yakni UU perpajakan, cipta lapangan kerja, dan pemberdayaan UMKM.

Omnibus Law sendiri dimaknai sebagai suatu Undang-Undang (UU) yang dibuat untuk menyasar satu isu besar yang mungkin dapat mencabut atau mengubah beberapa UU sekaligus sehingga menjadi lebih sederhana. Dengan Omnibus Law maka akan terjadi penyederhanaan perizinan mulai dari izin lokasi, IMB, hingga izin lingkungan untuk syarat investasi. Hal yang penting diantisipasi adalah terkorbankannya sektor lingkungan.

 

Dampak dan Tantangan Lingkungan

Pemerintah telah merilis draft RUU Cipta Kerja sebagai bagian dari Omnibus Law. Banyak catatan diberikan publik atas draft tersebut. Salah satunya menyangkut kepentingan ekologi.

Setidaknya ada sepuluh hal yang menjadi proteksi lingkungan dalam Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) yang bakal terhapus di Omnibus Law RUU Cipta Kerja (Kartodihardjo, 2020).

Pertama, upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL) tidak lagi diperlukan sebagai bagian dari proses pengambilan keputusan izin penyelenggaraan usaha, seperti tertera dalam pasal 1 angka 22. Kedua, Pasal 1 angka 35 tentang kewajiban industri mendapatkan izin lingkungan dihapus dan diubah menjadi persetujuan lingkungan.

Baca juga: Menyoal Omnibus Law, Jangan Hanya Pentingkan Urusan Pengusaha

Ketiga, Sembilan kriteria usaha yang berdampak penting dihapus (pasal 1 angka 35). Keempat, dalam perubahan pasal 24, selain menunjuk lembaga dan/atau ahli bersertifikat, pemerintah bisa melakukan sendiri uji kelayakan lingkungan hidup, yang didasarkan pada dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal), untuk menentukan kelayakan lingkungan hidup dalam penerbitan izin berusaha.

Kelima, dalam penyusunan Amdal, masyarakat yang diizinkan terlibat dalam penyusunannya hanya mereka yang terdampak. Tak ada lagi pemerhati lingkungan hidup dan/atau masyarakat yang terpengaruh, seperti bunyi pasal 26 sebelum diubah.

Keenam, menghapus pasal 29, 30, 31 mengenai Komisi Penilai Amdal. Untuk kegiatan yang wajib memenuhi standar UKL-UPL, pemerintah pusat langsung menerbitkan Perizinan Berusaha ketika sudah ada pernyataan kesanggupan korporasi mengelola lingkungan hidup.

Ketujuh, tidak ada lagi penegasan bahwa kelayakan lingkungan hidup harus diakses dengan mudah oleh masyarakat seperti pasal 39 UU PPLH. Kedelapan, pengawasan dan sanksi administratif seluruhnya dijalankan oleh pemerintah pusat, seperti perubahan Bab XII pasal 72 hingga 75.

Kesembilan, jenis-jenis sanksi administratif ditiadakan dengan mengubah pasal 76. Delegasi kepada peraturan pemerintah hanya akan berisi tata cara pengenaan sanksi tersebut. Terakhir, tidak ada celah atau pintu masuk bagi warga negara menggugat lembaga lain yang merusak lingkungan seperti tercantum dalam pasal 93 UU PPLH, sebagai konsekuensi dihapusnya izin lingkungan.

 

Pengendara dengan menggunakan masker karena asap kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) saat melintas di salah satu jalan raya di Dumai, Provinsi Riau beberapa waktu lalu. Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Selanjutnya berdasarkan catatan di atas, dapat diprediksi adanya potensi melemahkan pengaturan lingkungan hidup ke depan. Pertama, perubahan pasal-pasal di atas masih berpotensi menimbulkan perbedaan interpretasi karena tidak adanya penjelasan isi pasal-pasal tersebut. Kedua, tidak ada norma dan arahan untuk pengaturan yang lebih operasional dari pasal-pasal tersebut terhadap aturan di bawahnya, misalnya dalam bentuk Peraturan Pemerintah.

Ketiga, dengan banyaknya kewenangan Pemerintah Pusat serta luasnya cakupan bidang lingkungan hidup, kapasitas pemerintah tidak memadai dengan tuntutan tanggung jawabnya yang sangat besar.

Potensi pelemahan ekologis di atas justru terjadi di saat kondisi lingkungan kini menghadapi segudang permasalahan krusial. Permasalahan ini mengkhawatirkan bagi keberlanjutan pembangunan. Merosotnya kualitas lingkungan dapat dicermati dari banyak sektor.

Baca juga: Omnibus Law Jangan Sampai Perparah Krisis Iklim

Pertama adalah persampahan. Jenis sampah paling membahayakan dan volumenya banyak adalah bersumber dari plastik. Plastik menjadi dilema bagi manusia di kehidupan modern ini. Keberadaannya  dibutuhkan tetapi sampahnya membahayakan.

Pengelolaan yang optimal adalah kunci. Jika dapat dikelola, maka sampah akan berubah dari musibah menjadi berkah. Butuh pendekatan komprehensif mulai dari kesadaran individu hingga komitmen politik.

Indonesia merupakan negara kedua di dunia penghasil sampah plastik terbesar ke laut (KLHK, 2016). Peringkat pertama ditempati China dengan 262,9 juta ton sampah plastik. Jumlah sampah kantong plastik terus meningkat signifikan dalam 10 tahun terakhir.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2016) memperkirakan volume sampah di Indonesia pada 2019 akan mencapai 68 juta ton. Dari angka tersebut, 14 persen atau sekitar 9,52 persen di antaranya adalah sampah plastik.

Sekitar 9,8 miliar lembar kantong plastik digunakan oleh masyarakat Indonesia setiap tahunnya. Sebesar 95 persen kantong plastik hanya menjadi sampah, sedangkan plastik sulit diurai oleh lingkungan.

Kedua adalah polusi udara. Banyak perkotaan yang telah tercemar udaranya. Kondisi paling buruk adalah Jakarta, bahkan terburuk sedunia. Jakarta kerap dinominalisakan menjadi kota paling berpolusi di dunia versi data AirVisual. Air Quality Index (AQI) Jakarta berada pada kisaran angka 188. Artinya kualitas udara di Jakarta tidak sehat.

Kualitas udara juga tercemar pada daerah-daerah yang terjadi kebakaran hutan dan wilayah sekitarnya, seperti di Kalimantan dan Sumatera.

Ketiga adalah kemiskinan. Dari sisi geografis, jumlah penduduk miskin paling banyak mendominasi di Pulau Jawa sebesar 15,31 juta jiwa. Sedangkan sisanya tersebar di Sumatera sebesar 6,31 juta jiwa, Bali dan Nusa Tenggara 2,18 juta jiwa, Sulawesi 2,19 juta jiwa, Maluku sebanyak 1,53 juta jiwa, dan Kalimantan 0,99 juta jiwa.

Sebanyak 63 persen penduduk miskin Indonesia berada di perdesaan dan mayoritas adalah petani dan nelayan. Kemiskinan sebagian disebabkan rendahnya daya dukung lingkungan.

 

Lubang tambang yang begitu dekat permukiman di Samarinda, Kalimantan Timur menyebabkan ancaman serius bagi keselamatan nyawa anak-anak. Omnibus Law berpeluang menutup pintu masuk gugatan warga negara bagi pihak-pihak yang merusak lingkungan, sebagai konsekuensi dihapusnya izin lingkungan. Foto: Jatam Kaltim

 

Komitmen Politik Ekologi

Pemerintah mesti menjalankan dan membuktikan adanya komitmen politik ekologi. Politik ekologi secara umum terbagi atas lingkungan internal dan eksternal (Almond, 2012). Kepemimpinan politik ramah ekologi mestinya hadir mulai secara substansial maupun faktual.

Secara substansial terkait komitmen politik hijau kontestan menuju pembangunan yang lestari dan berkelanjutan. Sedangkan secara faktual mesti dibuktikan ke depan.

Beban agenda untuk menjawab tantangan lingkungan selama lima tahun ke depan memberikan konsekuensi perbaikan kinerja pemerintah.  Beberapa hal mesti diupayakan pemerintah ke depan

Pertama, stakeholder politik penting melakukan evaluasi kinerja pemerintah sebelumnya. Hasil evaluasi menjadi bahan perbaikan ke depan. Pengisian kabinet mesti mempertimbangkan kapasitas, kualifikasi pendidikan, pengalaman, dan kepedulian masing-masing. Kementerian bidang lingkungan penting diisi oleh wajah yang melek dan peduli lingkungan.

Kedua, pemerintah mesti memiliki jiwa pembelajar yang cepat. Pasca-pelantikan Jokowi-Makruf langsung menjalankan tugas dan menghadapi permasalahan lapangan. Wajah baru dalam kabinet penting cepat belajar, baik dalam hal konseptual maupun faktual. Sekat partai politik dan sekat psikologis mesti disingkirkan demi pengabdian kepada rakyat.  Pemerintah penting memahami konsepsi pengelolaan lingkungan terpadu dan isu lingkungan.

Ketiga, mitra pemerintah penting koordinatif dan memberikan data akurat terhadap pemerintah.  Masyarakat, baik individu maupun komunitas dan LSM penting mengajukan tuntutan agenda lingkungan ke depan. Pengawasan dari rakyat penting dilakukan sebagai penyeimbang menuju optimalisasi kinerja.

Prioritas investasi dari Omnibus Law tetap harus dijalankan dengan tidak mengorbankan kelestarian lingkungan. Semua elemen mesti bergandengan tangan dalam agenda perbaikan mutu lingkungan hidup di negeri ini.

 

Ribut Lupiyanto, penulis adalah Deputi Direktur C-PubliCA (Center for Public Capacity Accelaration). Artikel ini adalah opini dari penulis.

 

Exit mobile version