- Tiga warga Kota Waringin Timur, Kalimantan Tengah, ditahan. Kuat dugaan, kasus ini erat kaitan dengan perjuangan masyarakat Desa Penyang merebut kembali tanahnya yang dikuasai perusahaan sawit PT. HMBP. Kasus warga dengan perusahaan sudah berlangsung sejak 2006.
- Sejak 2006, masyarakat Desa Penyang dan Desa Tanah Putih telah melakukan berbagai upaya, menuntut kembali tanah mereka dari PT.HMBP. Hasil tinjauan lapangan Panitia Khusus Perkebunan Besar Swasta [PBS] Kelapa Sawit dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah [DPRD] Kabupaten Kotim menunjukkan, perusahaan telah menanam di luar batas HGU, luasnya 1.865,8 hektar, termasuk 117 hektar tanah masyarakat Desa Peyang, Kecamatan Telawang, Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah.
- Tiga warga yang ditahan dan ditetapkan sebagai tersangka adalah Dilik Bin Asap, Hermanus Bin Bison, dan James Watt Bin Atie.
- Walhi akan mendampingi warga agar lahan yang diklaim perusahaan tersebut dikembalikan seluruhnya.
Sabtu [07/3/2020] dini hari, sekitar pukul 02.30 WIB, puluhan polisi berseragam lengkap mendatangi mess Walhi Nasional di kawasan Jalan Tegal Parang Utara, Jakarta Selatan. Mereka memperkenalkan diri kepada petugas yang berjaga, dari Polda Kalimantan Tengah. Mereka mencari Dedi Susanto dan James Watt. Keduanya merupakan warga Desa Peyang, Kecamatan Telawang, Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah.
Dua orang tersebut memang menginap di mess Walhi. Kedatangannya ke Jakarta, mengadu terkait konflik agraria. Sebelumnya, mereka sudah mendatangi kantor Komnas HAM. Jika sesuai rencana, mereka akan mendatangi kantor Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban [LPSK]. Sayang, rencana ini tidak terealisasi. Mereka keburu ditangkap, dan hari itu juga langsung diterbangkan ke Palangkaraya.
Direktur Eksekutif Walhi Kalteng Dimas Novian Hartono dalam acara konferensi pers di Jakarta, Minggu [08/3/2020] mengatakan, kasus dua warga tersebut imbas dari konflik agraria yang berlangsung sejak lama. Mereka berjuang merebut kembali lahan yang diklaim perusahaan sawit, PT. Hamparan Masawit Bangun Persada [HMBP].
“Kasus warga dengan PT. HMBP sudah berlangsung 2005-2006,” kata Dimas.
Baca: Ketika Hutan Gambut di Kotawaringin Barat Itu Berganti Sawit
Awal masalah
Merujuk kronologis yang dihimpun Walhi, konflik berawal pada 13 September 2003. Bupati Kotawaringin Timur saat itu, M. Wahyudi K. Anwar mengeluarkan surat bernomor 647.460.42 tentang pemberian izin lokasi pembangunan perkebunan sawit atas nama PT. Karya Agung Subur Kencana (KASK) di Desa Tanah Putih, Kecamatan Kota Besi, dan Desa Natai Nangka Kecamatan Mentaya Hilir Utara. Luasnya 8.200 hektar.
Saat pergantian pemimpin, Plt Bupati Kotim Suandi, menerbitkan surat keputusan yang mengalihkan izin tersebut ke PT. HMBP di lokasi dan luasan yang sama. Keputusan tersebut dikeluarkan 6 Juli 2005. Sejak awal, warga menolak keberadaan perusahaan tersebut.
“Dulu itu ada pendamping semacam advokat, tapi bukan dari Walhi. Namanya Dias Manthongka,” katanya.
Pada 17 September 2005, muncul surat pernyataan tanah atas nama Yati, Dias Manthongka, Sile Najir dan Artho Purwiro. Menyatakan, menguasai sebidang tanah adat dengan luas 100.000 meter persegi di JL. Sampit Pangkalan Bun Km. 45, Kelurahan Natai Baru, Kecamatan Mentaya Hilir Utara, Kabupaten Kotawaringin Timur [Kotim]. Surat pernyataan tanah tersebut diketahui Kepala Desa Natai Baru.
Proses pengaduan dan advokasi terus bergulir. Dias Manthongka beberapa kali mengirim surat aduan ke Bupati Kotim, perusahaan, DPRD Kotim, dan berbagai pihak.
Pada 31 Juli 2009 Bupati Kotim Wahyudi K. Anwar mengeluarkan surat nomor 525/378/VII/EK.SDA/2009 terkait pembukaan lahan di luar izin yang diberikan kepada seluruh pimpinan perusahaan perkebunan sawit. Isinya, melarang kegiatan pada areal di luar izin lokasi dan HGU yang sudah diberikan.
18 Februari 2010, Dias Manthongka bersurat ke Bupati Kotim yang meminta diturunkan tim evaluasi PBS atas nama PT HMBP. Pada 25 Juni 2010, keluar surat serupa ditujukan ke Bupati dan Sekda Kotim dari masyarakat Pondok Damar, Tanah Putih, dan Masyarakat Penyang sebagai pemilik tanah di sekitar HGU PT. HMBP.
Baca: Konflik Masyarakat dengan Perusahaan Terus Terjadi, Bagaimana Penyelesaiannya?
Pada 12 Oktober 2010, Bupati Kotim Wahyudi K. Anwar mengeluarkan surat nomor 525/498/Ek.SDA/X/2010 terkait dengan penyelesaian lahan atas nama Dias Manthongka dan rekan-rekan. Surat ditujukan kepada Direktur PT HMBP. Isinya menerangkan, PT. HMBP telah bekerja di luar HGU dan telah menggarap lahan yang dikuasai Dias Manthongka dan rekan-rekan. Pihak perusahaan juga diminta mengembalikan lahan tersebut.
DPRD Kabupaten Kotim juga mengeluarkan keputusan pada tanggal 4 Januari 2011 terkait pembentukan Pansus menyoal Perkebunan Besar Sawasta [PBS] Sawit di Kabupaten Kotim.
Ada rekomendasi yang ditandatangani 12 anggota dari 7 fraksi menyoal konflik di PT HMBP. Isinya, Pemkab Kotim diminta mengambil berbagai langkah. Diantaranya, mengembalikan lahan atas nama Dias Manthongka dan rekan-rekannya seluas 117 hektar atau dijadikan plasma. Pansus juga meminta tanaman sawit di luar HGU pada kawasan hutan seluas 1.726 hektar dijadikan kebun plasma dan dilengkapi perizinannya.
Pihak HMBP juga diminta mengembalikan fungsi sungai dan danau serta bantaran Sungai Sampit. Juga, membangun areal konservasi minimal 5% dari luas wilayah, serta membangun plasma bagi masyarakat.
Rekomenasi Pansus DPRD Kotim ini kemudian ditindaklanjuti oleh Bupati Supian Hadi dengan surat yang dikeluarkan pada 25 April 2011 bernomor 525/240/Ek. SDA.
Pada 15 Agustus 2011, Supian Hadi juga mengeluarkan surat bernomor 525/423.a/Ek.SDA/VIII/2011 terkait penyelesaian lahan atas nama Dias Manthongka dan rekan-rekannya. Surat tersebut ditujukan kepada Direktur PT HMBP.
Pada 3 April 2012, Gubernur Kalimantan Tengah saat itu, Teras Narang juga menerbitkan surat bernomor 525/340/EK. Isinya, penyelesaian lahan adat atas nama Dias Manthongka dan rekan-rekan dengan PT HMBP.
Gelar masalah tanah antara Dias Manthongka dan rekan-rekannya dengan PT HMBP dilakukan 2 Mei 2012 oleh pihak Badan Pertanahan Nasional [BPN] Kotim dan pihak terkait. Kesimpulannya, tanah yang diklaim oleh Dias Manthongka dan rekan-rekannya berada di luar SHGU No. 35 tanggal 22 September 2006. Direkomendasikan, tanah seluas 117 hektar itu dikembalikan ke pemiliknya atau dijadikan plasma.
Komnas HAM juga menindaklanjuti persoalan ini, pada 9 Maret 2011, mengeluarkan surat bernomor 570/K/PMT/III/2011 yang ditujukan kepada Direktur PT. HMBP. Isinya mendesak perusahaan mengembalikan lahan yang telah digarap tanpa hak, juga membayar kompensasi.
Pada 15 Oktober 2019, muncul surat pernyataan dari Manajer Legal PT. HMBP M. Wahyu Bima Dhakta dan Supervisor Legal M. Arif Hidayat. Isinya, bersedia menyerahkan atau memitrakan lahan seluas 117 hektar tersebut.
“Kami curiga, Dias Manthongka tidak menjelaskan semuanya kepada warga. Dia cuma menunjukkan dokumen foto copy-an kepada warga tanpa ada penjelasan sudah sejauh mana kasusnya. Warga merasa, surat pernyataan dari legal manajer perusahaan itu menyatakan, menyerahkan lahan tersebut atau kemitraan. Surat ditulis tangan dan ditandatangani di atas materai. Warga merasa memiliki hak atas lahan tersebut,” papar Dimas.
Pasca-menerima salinan surat, warga beberapa kali panen massal. Tapi, pada 17 Februari 2020, terjadi penangkapan dua warga dengan tuduhan melakukan pencurian tandan sawit. Tak terima, warga demo. Mereka membuat hinting pali, semacam portal yang menutup akses jalan.
“Jadi, sebelum ada peristiwa penangkapan di Jakarta, sempat ada penangkapan warga di Kalteng. Dua orang berbeda, dengan tuduhan pencurian buah sawit,” lanjutnya.
Baca juga: Lahan Terampas Sawit, Beginilah Nasib Warga Desa Biru Maju
Surat panggilan
Setelah penangkapan tersebut, pada 26 Februari 2020, Polda Kalteng menerbitkan surat panggilan pertama, atas nama Untung, James Watt, dan Dedi Sasanto. Mereka bertiga berangkat ke Palangkaraya. Namun, setibanya di Palangkaraya, terjadi penangkapan terhadap 11 warga yang menjaga pemblokiran jalan, atau hinting pali. Penangkapan terjadi 27 Februari 2020. Semua diamankan di Polres Kotim.
“Karena mendengar warga ditangkap, akhirnya Pak Dedi, Untung, dan James membatalkan ke Polda sebagai saksi. Fokus menangani teman-teman yang ditangkap. Untung ke Kotim, sementara James dan Dedi di Palangkaraya. Di hari yang sama, dalam perjalanan menuju Kotim, Untung ditangkap,” terang Dimas.
Dimas bilang, sebelas warga dibebaskan dengan jaminan hinting pali dilepas. “Untung dimintai keterangan dan akhirnya juga dibebaskan. Tetapi di waktu bersamaan, 27 Februari, kantor Save Our Borneo [SOB] didatangi tiga mobil polisi yang mencari James dan Dedi.”
Keduanya langsung ke Banjarmasin dan terbang ke Jakarta. “Mereka sudah ke Komnas HAM. Rencana mau ke LPSK, tapi keburu ditangkap.”
Dimas mengatakan, Untung mengaku membawa surat panggilan kedua untuk James dan Dedi dari Polda Kalteng. Namun, surat tersebut tidak pernah diterima. Sebab, pihak Polda menegaskan surat tersebut harus disampaikan langsung.
“Informasi terakhir, Dedi dibebaskan karena dianggap tidak terbukti bersalah. Sementara James ditetapkan tersangka. Tuduhannya, menyuruh dua orang yang sebelumnya ditangkap untuk memanen sawit di lahan perusahaan. Meskipun, saat pemanenan, James maupun Dedi tidak di lokasi,” paparnya.
Berdasarkan keterangan Dedi, yang pertama diperiksa saat di Polda Kalteng adalah James Watt, 17.00 – 20.00 WIB. Setelahnya, giliran Dedi pukul 20.30 – 21.30 WIB. “Pertanyaan yang diberikan sama, yatu sekitar 28 pertanyaan. Tapi, penyidik saya hanya satu sementara Pak James ada tiga orang. Selesai pemeriksaan, Pak James dibawa ke Polres, saat saya tanyakan ke mereka,” tutur Dedi kepada Mongabay Indonesia [08/3/2020] di Kantor Save our Borneo [SOB] Kalteng.
Dedi menyebut, pada panggilan pertama surat terlambat datang dari tanggal pemeriksaan. Sementara surat kedua, dia tidak pernah menerima sama-sekali.
Direktur Eksekutif Save Our Borneo [SOB], Safrudin mengatakan, ditetapkanya tiga orang sebagai tersangka [Dilik Bin Asap, Hermanus Bin Bison, dan James Watt Bin Atie] diduga kuat, erat kaitanya dengan perjuangan masyarakat Desa Penyang merebut kembali tanahnya yang dikuasai PT. HMBP.
“Sejak 2006, masyarakat Desa Penyang dan Desa Tanah Putih telah melakukan berbagai upaya, menuntut kembali tanah mereka dari PT.HMBP. Hasil tinjauan lapangan Panitia Khusus Perkebunan Besar Swasta [PBS] Kelapa Sawit dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah [DPRD] Kabupaten Kotim menunjukkan, perusahaan ini telah menanam di luar batas HGU, luasnya 1.865,8 hektar,” ujarnya.
Ditambahkan Safrudin, karena pihak perusahaan sejak 2010 tidak mau melaksanakan semua rekomendasi itu, kami berharap ada legitimasi dari pengadilan yang menyatakan 117 hektar lahan tersebut dikembalikan ke warga.
“Kami akan terus mendorong warga, untuk melakukan gugatan perdata. Kami dari koalisi juga, telah menyiapkan penasehat hukum untuk mendampingi warga Penyang. Sudah ada yang bersedia antara lain Kairos Law & Firm, LBH Palangaka, dan beberapa pengacara dari Jakarta,” katanya. Saat ini, kata Safrudin, seharusnya semua berkas sudah dilimpahkan ke kejaksaan, karena Dilik dan Hermanus sudah ditahan lebih dari 20 hari.
Dilihat utuh
Kepala Divisi Advokasi Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan [KontraS] Arif Nur Fikri mengatakan, penangkapan warga harusnya dilihat dari serangkaian peristiwa secara utuh. Pihak Kepolisian harusnya tidak melihat dari kasus tuduhan pencurian tandan sawit semata.
“Konflik agraria ini sudah ada rekomendasi Komnas HAM, DPRD, Bupati dan BPN Kotim bahwa 117 hektar itu harus diserahkan ke warga. Dalam prosesnya, kami menduga Dias Manthongka tidak memberikan informasi utuh kepada warga. Padahal di 2017, Dias memberikan surat kepada kecamatan dan ditembuskan ke PT. HMBP untuk mendirikan koperasi tani yang itu juga tak melibatkan warga,” ujarnya.
Menurut Arif, ia sudah menanyakan perihal Dias Manthongka ke warga. Dias baru bertemu warga dua kali, 2011 dan 2019, juga keberadaannya saat ini tidak jelas. “Ini jadi problem. Kalau lahan 117 hektar sudah diklaim Dias, mengapa pihak perusahaan yang melaporkan warga?” tegasnya.
Aktivis Greenpeace Indonesia Arie Rompas mengatakan, konflik agraria yang terjadi merupakan kasus lama yang tidak pernah diselesaikan pemerintah. “Hal yang menjadi persoalan, aparat kepolisian tidak menjalankan fungsinya untuk menegakkan keadilan. Polisi menjalankan fungsinya berdasarkan laporan perusahaan yang jelas-jelas melakukan tindakan ilegal.”
Manajer Hukum Lingkungan dan Litigasi Walhi Eksekutif Nasional Ronald M Siahaan mengatakan, Walhi akan mendampingi warga agar lahan yang diklaim perusahaan dikembalikan seluruhnya.
“Berdasarkan catatan, lahan warga yang diklaim perusahaan seluas 1.865,8 hektar, sudah termasuk 117 hektar yang diklaim Dias Manthongka. Selain itu, ada kawasan hutan yang sudah ditanami sawit dan harusnya dikembalikan ke KLHK. Ditambah lahan percontohan Dinas Perkebunan Kotim yang juga diklaim PT. HMBP,” tegasnya.